Share

3. PERTARUNGAN SENGIT

"Ah, pemuda tampan, kau akan menjadi milikku," kata Dewi Laba-laba Hitam dengan suara seraknya, seraya merentangkan empat lengan labanya.

Ekawira menatap dengan mata yang penuh tekad. "Aku tidak akan menyerahkan diriku begitu saja, Dewi."

Pertarungan pun dimulai. Dewi Laba-laba Hitam melancarkan serangan pertamanya, sebuah tendangan keras yang ditujukan ke arah dada Ekawira. Dengan refleks cepat, Ekawira menangkis dengan kedua tangannya. Meski terdorong beberapa langkah mundur, dia tetap tegak berdiri.

"Kau cukup cepat, pemuda," ujar Dewi Laba-laba Hitam, meraih ekornya yang panjang dan mengayunkannya menuju Ekawira. Namun, Ekawira berhasil menghindar dengan melompat ke samping.

Tak lama kemudian, Dewi Laba-laba Hitam mengeluarkan serangan pukulan bertubi-tubi dengan keempat lengannya. Ekawira berusaha menghindar dan menghalau setiap pukulan dengan tangannya. Hentakan demi hentakan membuat tanah di sekitar mereka bergetar.

Walaupun Ekawira mampu bertahan dengan kekuatannya, tenaganya mulai menipis. Dewi Laba-laba Hitam melihat peluang dan mempercepat serangannya. Dia mengeluarkan ilmu kanuragan yang mengerikan, memanfaatkan energi gelapnya untuk menyerang.

"Kau akan menyerah sekarang!" teriak Dewi Laba-laba Hitam, melepaskan gelombang energi hitam menuju Ekawira.

Dengan tenaga yang hampir habis, Ekawira mencoba menahan serangan tersebut dengan kedua tangan. Dia merasakan panas yang menyengat dan kekuatan tubuhnya mulai melemah.

Tenaga Ekawira mulai menipis, setiap gerakan yang dia lakukan terasa berat. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat bercucuran di wajah tampannya. Akhirnya, dengan tenaga yang benar-benar habis, Ekawira jatuh ke tanah dengan berat.

Dewi Laba-laba Hitam melihat kesempatan ini dengan senang hati. Dengan langkah arogan dan tersenyum licik, dia mendekati Ekawira yang terkapar di tanah. Rambut hitam legamnya bergerak pelan-pelan seiring angin malam, mencerminkan ketenangan dirinya.

"Hei, pemuda tampan," ujar Dewi Laba-laba Hitam dengan suaranya yang menggoda. "Lihatlah dirimu sekarang, apa kau masih ingin melanjutkan pertarungan ini?"

Ekawira menatap Dewi dengan mata yang terpejam lemah. "Sampai kapanpun aku tidak akan menyerahkan diriku pada makhluk sesat seperti dirimu,” gumamnya dengan susah payah.

Dewi tersenyum puas, merasa bahwa kemenangan sudah hampir di genggamannya. "Aku bisa menghentikan seranganku jika kau bersedia menjadi kekasihku. Pikirkanlah, pemuda tampan seperti kau akan menjadi teman yang sempurna di ranjangku."

Ekawira membuka mata lebar-lebar, terkejut dengan tawaran Dewi. Dia mengumpulkan sedikit tenaganya untuk duduk menatap Dewi dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan menjadi milikmu dengan cara seperti itu, Dewi. Aku lebih baik mati dalam pertarungan daripada menjadi kekasihmu dengan paksa."

Dewi Laba-laba Hitam menghela nafas dengan kesal, akan tetapi dia tetap berusaha memikat Ekawira. "Pikirkan lagi tawaranku, pemuda. Aku bisa memberimu kekuatan dan kenikmatan yang tak terbatas."

Ekawira menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan tenaganya. "Aku memilih kebebasan daripada menjadi tawananmu, Dewi."

Dengan penuh keteguhan hati, Ekawira menolak tawaran Dewi Laba-laba Hitam, si siluman yang penuh godaan. Meskipun dalam kondisi yang lemah, tekadnya untuk melawan dan menjaga kehormatannya tetap tak tergoyahkan.

Ekawira kembali bangkit dan menantang sang dewi untuk kembali bertarung mempertaruhkan harga dirinya.

Sang dewi yang terlihat marah melihat kesombongan di mata Ekawira lantas akan mengeluarkan jurus pamungkasnya ke arah pemuda itu.

Namun, di saat-saat terakhir, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Sebuah cahaya terang muncul dari dalam diri Ekawira, menghalau energi gelap Dewi Laba-laba Hitam. Mata Ekawira berkilauan seperti dipenuhi dengan kekuatan baru.

Dengan tenaga baru yang dimilikinya, Ekawira melancarkan serangan balik. Dewi Laba-laba Hitam terkejut melihat perubahan Ekawira, akan tetapi dia tetap berusaha bertahan.

Pertarungan antara kekuatan alami dan kekuatan supernatural berlanjut, di mana kekuatan dan keberanian Ekawira menjadi kunci untuk menghadapi Dewi Laba-laba Hitam.

Mereka berdua kini saling berhadapan, atmosfer hutan menjadi tegang. Ekawira mengambil sikap bela diri, siap menghadapi serangan berikutnya.

Dewi Laba-laba Hitam dengan lincah melompat, berusaha menjebak Ekawira dengan jaring laba-labanya. Jaring-jaring itu berputar cepat, mengelilingi Ekawira. "Terjebaklah kau, pemuda!" seru Dewi dengan nada mengejek.

Namun, dengan kecepatan kilat, Ekawira memotong jaring-jaring tersebut dengan satu pukulan keras. Dia kemudian melompat ke udara, menghindari serangan berikutnya dari Dewi Laba-laba Hitam.

Ketika mendarat, Ekawira mengejar Dewi Laba-laba Hitam dengan serangan bertubi-tubi. Dia melepaskan serangkaian pukulan dan tendangan yang cepat dan kuat. Dewi berusaha menghalau dengan keempat lengannya, akan tetapi beberapa pukulan berhasil menjangkaunya, membuatnya terdorong mundur.

"Kau tidak akan bisa menang, Dewi!" seru Ekawira dengan semangat.

Tak mau kalah, Dewi Laba-laba Hitam mengeluarkan serangan rahasia. Dia menghembuskan semburan racun dari mulutnya, menuju Ekawira. Ekawira dengan cepat mengambil sehelai daun besar dari tanah dan menggunakannya sebagai perisai, menahan serangan racun tersebut.

"Kau memang pandai, pemuda," ujar Dewi dengan nada kagum, meski wajahnya tampak frustrasi.

Merasa tertantang, Ekawira kini memutuskan untuk mengeluarkan kekuatan penuhnya. Dia mengumpulkan energi di telapak tangannya dan melepaskannya dalam serangan yang dahsyat. Gelombang energi tersebut bergerak cepat, menghantam Dewi Laba-laba Hitam dan membuatnya terjatuh ke tanah.

Namun, Dewi Laba-laba Hitam segera bangkit kembali dengan marah. Dia mengeluarkan serangan-serangan yang lebih ganas, menggabungkan ilmu kanuragan dan sihir hitamnya. Ekawira terdesak, akan tetapi dia tidak menyerah.

"Dewi, aku akan mengakhiri ini sekarang!" seru Ekawira, mengumpulkan seluruh energinya untuk serangan terakhir.

Dengan kecepatan yang mengejutkan, Ekawira meluncur menuju Dewi Laba-laba Hitam, melepaskan serangan yang penuh kekuatan. Serangan tersebut mengenai Dewi dengan tepat, membuatnya roboh ke tanah dengan keras.

Dengan nafas tersengal-sengal, Ekawira menatap Dewi Laba-laba Hitam yang terkapar. "Kau kalah, Dewi.”

*

Adiwilaga, guru dari Ekawira, berdiri tegap di tengah lapangan terbuka, melawan sosok mengerikan yang berdiri di hadapannya: Tengkorak Iblis, siluman dengan kekuatan mistis yang menakutkan. Adiwilaga, meski berpengalaman dan berilmu tinggi, merasakan ketegangan di udara.

Tengkorak Iblis menggerakkan tangannya dengan gesit, mengeluarkan suara mendesis yang menyeramkan. "Adiwilaga, akhirnya kau akan mati di tanganku. Kau tidak akan bisa melarikan diri kali ini," kata Tengkorak Iblis dengan suara seram.

Adiwilaga memegang pedangnya dengan erat, siap untuk melawan. Dia melancarkan serangan pertamanya dengan penuh keberanian, akan tetapi Tengkorak Iblis dengan mudah menghindar dan membalas dengan serangan cepat.

Dengan kecepatan yang luar biasa, Tengkorak Iblis melepaskan jurus rahasia yang dia miliki. Tubuhnya berputar-putar seperti pusaran angin, sementara tangan dan kakinya bergerak dengan presisi tinggi. Cahaya gelap berputar di sekitar tubuhnya, menandakan kekuatan yang mematikan.

Adiwilaga mencoba menghindari serangan tersebut, akan tetapi naas, dia terjebak dalam pusaran energi hitam yang dikeluarkan oleh Tengkorak Iblis. Dengan pukulan yang cepat dan akurat, Adiwilaga ditumbangkan oleh Tengkorak Iblis. Tubuhnya terhempas ke udara sebelum jatuh dengan berat ke tanah, pedangnya terlepas dari genggaman dan terjatuh beberapa meter dari tempat dia terbaring.

Suasana menjadi hening, hanya suara nafas tersengal-sengal Adiwilaga yang terdengar. Tengkorak Iblis menghampiri Adiwilaga dengan langkah yang mantap, merasa puas dengan keberhasilannya.

"Kau kalah, Adiwilaga," ujar Tengkorak Iblis dengan suara yang penuh kemenangan, sambil menginjak tangan Adiwilaga.

"Aku mungkin kalah kali ini, namun semangatku tidak akan pernah padam," kata Adiwilaga dengan suara parau tapi terdengar tegas.

Dengan kepala yang berat, Adiwilaga kembali jatuh ke tanah, menyerah pada kelelahan setelah pertarungan sengit melawan Tengkorak Iblis.

Ekawira tiba di tempat pertarungan, melihat gurunya, Adiwilaga, terkapar di tanah dengan kekuatan yang sudah habis. Ekawira merasa sedih dan marah melihat kondisi gurunya. Namun, mata Adiwilaga yang terpejam bergetar pelan, menunjukkan bahwa dia masih memiliki sedikit tenaga.

Dengan mata yang sayu tapi penuh tekad, Adiwilaga mengangkat tangannya ke udara. "Pedangku...," gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Seolah ditarik oleh sebuah kekuatan magis, pedang yang terjatuh beberapa meter dari tempat Adiwilaga terbaring mulai bergetar dan berkilauan. Terbang dengan kecepatan tinggi, pedang tersebut melayang menuju tangan Adiwilaga yang terangkat ke udara. Dengan usaha terakhir, Adiwilaga berhasil menangkap gagang pedang tersebut.

Ekawira melihat adegan tersebut dengan mata yang penuh haru. "Guru! Aku di sini, aku akan membantu," serunya, berlari mendekati Adiwilaga.

Adiwilaga tersenyum lemah, menatap Ekawira dengan mata yang penuh kasih sayang. "Ekawira, ambillah pedang ini. Gunakanlah untuk melindungi yang benar dan membawa kedamaian."

Dengan usaha terakhir, Adiwilaga mengangkat pedang itu dan menyerahkannya kepada Ekawira. "Pedang ini kini milikmu, anak muda. Jadilah pendekar yang berani dan bijaksana."

Dengan perasaan campur aduk antara kesedihan dan keberanian, Ekawira menerima pedang dari tangan gurunya yang terkulai lemah. Dia berjanji dalam hati untuk menggunakan pedang tersebut dengan bijaksana dan menghormati ajaran Adiwilaga.

Ketika menyentuh pedang itu sesuatu seperti keluar dari dalam benda tajam tersebut. Ada aliran tenaga dan cahaya yang menyelinap masuk ke dalam raga Ekawira bersamaan dengan sang guru menghembuskan nafas terakhirnya.

“Guruuuuuuuuuu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status