Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya.
"Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut.
Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?"
Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?"
"Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar.
"Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati.
Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara.
"Aku pikir Reksa Pati mau ikut," gerutu Pandu sambil terus melangkah menuju arah ladang.
Setibanya di depan gubuk tempat tinggal Damara, Pandu langsung mengucapkan salam, "Sampurasun, Paman!"
"Rampes," sahut Damara langsung keluar dari dalam gubuk tersebut.
"Pandu ... Paman kira siapa. Silahkan duduk!" sambut pria paruh baya itu tersenyum lebar menatap wajah Pandu.
"Iya, Paman." Pandu langsung melangkah ke arah beranda gubuk tersebut, kemudian duduk di atas bebalean yang ada di beranda gubuk.
"Ini ada makanan untuk Paman dari rama!" kata Pandu menyerahkan sebuah bungkusan kepada Damara.
Damara tampak senang sekali, dan langsung meraih bungkusan tersebut dari tangan Pandu.
"Apa ini, Pandu?" tanya Damara mengamati bungkusan itu.
"Pisang rebus, dan ada sedikit uli singkong buatan Rama," jawab Pandu lirih.
"Terima kasih, Pandu. Kau dan ramamu memang baik sekali," desis pria paruh baya itu semringah.
Damara langsung membuka bungkusan itu, kemudian meraih sepotong uli singkong, dan langsung memakannya. Damara sangat suka sekali dengan makanan tersebut.
"Ramamu memang tahu kesukaan Paman," kata Damara sambil terus mengunyah makanan khas tersebut.
"Rama sengaja merebus pisang dan membuatkan uli singkong itu untuk Paman Damara—"
"Ya, karena dia tahu makanan ini adalah kesukaan Paman," potong Damara sambil tersenyum lebar.
Pandu hanya tersenyum saja melihat Damara yang tengah menikmati makanan yang ia bawakan itu.
"Tidak biasanya, sore-sore seperti ini kau main ke sini. Apakah ada hal penting, Pandu?" tanya Damara sambil menatap wajah Pandu.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya ingin mengabarkan sesuatu saja kepada Paman. Sekalian mengantarkan makanan ini," jawab Pandu lirih.
Damara tampak penasaran dengan apa yang dikatakan oleh pemuda tampan itu. Lantas, ia bertanya lagi, "Tentang apa, Pandu?"
Pandu menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan dari pria paruh baya itu, "Tiga hari lagi aku akan berangkat ke istana. Raja mengundangku untuk segera menghadapnya."
Damara mengerutkan kening sambil meluruskan dua bola matanya ke wajah Pandu. "Raja memintamu datang ke istana?" desis Damara mengerutkan kening.
"Benar, Paman. Kata rama, raja menginginkan aku untuk segera bergabung menjadi bagian punggawa kerajaan," terang Pandu.
"Baguslah kalau memang seperti itu. Tapi, apakah kau sudah siap segalanya?"
"Aku sudah siap segalanya, Paman. Karena menjadi punggawa kerajaan adalah cita-citaku sejak kecil," tegas Pandu menjawab pertanyaan dari Damara.
Damara tampak kagum dan merasa bangga terhadap Pandu. Meskipun, ia hanya sebatas paman angkat. Namun, Damara sudah menganggap Pandu sebagai keponakannya sendiri.
"Paman senang mendengar kabar ini. Semoga kau bisa seperti ramamu, dan juga mendiang pamanmu. Mereka berhasil menjadi punggawa kebanggaan raja di dua kepemimpinan yang berbeda."
"Terima kasih, Paman."
Damara terus memberikan wejangan kepada Pandu. Ada banyak hal yang ia sampaikan kepada Pandu yang berupa nasihat agar Pandu bisa menjalankan tugas sebagai prajurit yang jujur dan baik.
Setelah hampir satu jam Pandu berbicara panjang lebar dengan Damara. Maka, Pandu pun segera mengakhiri perbincangan tersebut.
"Mohon maaf, Paman. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, karena sore ini juga aku akan segera berangkat ke desa Baliung untuk menemui guruku."
"Berhati-hatilah di jalan! Dan sampaikanlah salam Paman kepada gurumu!"
"Baik, Paman. Aku akan menyampaikan salam Paman kepada guruku." Pandu bangkit dan langsung pamit kepada Damara.
Pandu bergegas melangkah meninggalkan saung tersebut. Ia hendak pulang terlebih dahulu sebelum berangkat ke desa Baliung.
Setibanya di rumah, Pandu langsung berganti pakaian dan segera menyiapkan keperluan serta bekal makanan untuk diperjalanan.
"Kamu mau berangkat sekarang ke desa Baliung?" tanya Wira Karma kepada putranya.
"Iya, Rama," jawab Pandu sambil mengelus-elus kuda kesayangannya.
"Sebaiknya kamu berhati-hati! Jalur menuju ke desa Baliung sangatlah rawan!" pesan Wira Karma kepada putranya.
"Iya, Rama," jawab Pandu.
"Sebaiknya, kamu berangkat sekarang mumpung masih terang!"
Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada ayahnya. Ia langsung naik dan duduk di atas pelana kudanya, Pandu segera memacu derap langkah kuda kesayangannya berlalu dari hadapan sang ayah.
"Hiya ... hiya!" Pandu terus memacu kudanya yang berlari kencang menuju ke arah timur meninggalkan desa tempat tinggalnya.
Ketika sudah menginjak kawasan hutan yang ada di wilayah perbatasan desa, Pandu dikejutkan dengan munculnya dua sosok bayangan yang terbang mengikuti jejak langkah kudanya.
"Siapa mereka?" desis Pandu mulai mengurangi kecepatan laju kudanya.
Tiba-tiba saja, dua sosok bayangan itu langsung melesat mendahuluinya, kemudian mereka mendarat sempurna di depan jalan menghadang laju langkah kuda yang ditumpangi oleh Pandu.
Seketika, Pandu pun segera menghentikan langkah kudanya, dan langsung meloncat turun. Dua bola matanya tajam memandangi dua orang pria itu.
"Siapa kalian? Kenapa kalian menghadang perjalananku?!" bentak Pandu.
* * *Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te