Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri.
Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu.
Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
"Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya.
"Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah.
Bulir bening mulai meredupkan pandangannya. Tampak jelas dari raut wajah Pandu, ia merasa berat jika harus berpisah dengan sang ayah. Meskipun semua itu permintaan ayahnya, agar Pandu bisa meraih cita-cita dan impiannya.
Wira Karma tersenyum-senyum memandangi wajah putra semata wayangnya itu. Kemudian, ia kembali berkata sedikit memberikan nasihat kepada putranya, "Kau harus ikhlas dan rela meninggalkan Rama di sini! Ingat, Nak! Cita-cita yang kau inginkan akan segera tercapai. Jangan sia-siakan kesempatan ini!" tandas Wira Karma.
"Iya, Rama," jawab Pandu lirih, suaranya hampir tidak terdengar.
"Kau harus seperti Rama! Kelak kau akan menjadi senapati yang gagah berani," tegas Wira Karma menyemangati putranya.
Terpancar sebuah harapan besar dari raut wajah pria paruh baya itu. Sejatinya, Wira Karma memang sangat menginginkan agar Pandu mendapatkan tempat di istana dengan kedudukan tinggi. Seperti apa yang pernah ia alami sepuluh tahun silam yang berhasil menjadi seorang panglima prajurit tertinggi selama 25 tahun di istana kerajaan Genda Yaksa, serta mendapatkan gelar dari raja terdahulu sebagai Senapati Guna Yaksa Pratama.
"Baiklah kalau memang seperti itu, aku akan segera berangkat ke istana memenuhi panggilan sang raja. Jika aku sudah berhasil dan mendapatkan jabatan tinggi, aku pasti akan menjemput Rama dan Paman Damara, agar kalian ikut bersamaku tinggal di istana!" tegas Pandu mulai menyetujui apa yang diinginkan oleh ayahnya.
Mendengar perkataan dari putranya, Wira Karma langsung tersenyum dan segera memeluk erat tubuh putra semata wayangnya itu, sambil berurai air mata penuh keharuan.
"Rama sangat menyayangimu, Pandu," desis Wira Karma mengenai telinga Pandu.
"Iya, Rama. Aku pun demikian," sahut Pandu lirih.
"Percayalah, kau adalah kesatria yang dibutuhkan oleh kerajaan ini. Doa Rama selalu menyertaimu Pandu. Jadilah punggawa yang jujur, berani, dan bertanggung jawab atas segala urusan kerajaan! Rama sangat berharap, kelak kau akan menjadi seorang senapati seperti Rama dan mendiang pamanmu," kata Wira Karma penuh kelembutan.
Bola matanya berkaca-kaca, terpancar dari wajah dan sikap pria paruh baya itu. Ada sebuah rasa bangga terhadap putranya, tidak teras air matanya menetes membasahi wajah hingga jatuh ke pundak Pandu.
"Rama jangan sedih! Aku akan menjaga nama baik Rama. Kelak jika aku sudah menjadi seorang punggawa kerajaan, apa yang Rama inginkan pasti akan segera terwujud," tegas Pandu memandangi wajah ayahnya.
"Rama menangis bukan karena sedih. Air mata ini sebagai ungkapan rasa bahagia Rama, karena kamu sudah menuruti keinginan Rama!" kata Wira Karma tersenyum lebar berusaha menutupi rasa sedih yang melanda jiwa dan pikirannya kala itu.
Mendengar ucapan ayahnya, Pandu kembali memeluk erat tubuh sang ayah. Tanpa terasa air matanya pun menetes.
"Terima kasih, Rama. Selama ini, Rama sudah merawatku dengan baik, dan mendidik putramu ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan," ujar Pandu melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
Lantas memandangi wajah sang ayah yang sudah dipenuhi guratan-guratan di keningnya sebagai tanda kematangan usianya.
"Sebelum berangkat ke istana. Alangkah baiknya kau berkunjung terlebih dahulu ke rumah gurumu! Minta doa dan izin darinya, agar kau mendapatkan kesuksesan seperti apa yang telah kau cita-citakan!" saran Wira Karma kepada putranya.
"Baik, Rama. Besok aku akan berangkat ke desa Baliung untuk menemui guru," jawab Pandu tersenyum lebar tak hentinya memandangi wajah sang ayah.
Wira Karma tampak semringah setelah mendengar kesiapan putranya untuk berangkat ke istana, dalam rangka memenuhi undangan sang raja untuk mengabdikan diri menjadi seorang punggawa kerajaan.
"Terima kasih, Dewa. Kau telah mengabulkan doa dan harapanku selama ini," ucap Wira Karma dalam hati.
Setelah itu, Pandu pamit kepada sang ayah. Ia hendak menemui Damara yang tengah berada di saung yang ada di ladang milik ayahnya.
"Aku mau menemui Paman Damara sebentar, Rama," kata Pandu lirih.
"Sebaiknya, kamu bawakan pamanmu makanan! Tadi Rama sudah masak pisang rebus."
"Baik, Rama." Pandu bangkit dan langsung melangkah menuju ruang dapur hendak mengemas pisang rebus yang akan dibawanya ke tempat Damara.
Sudah hampir satu pekan, Damara menempati gubuk tersebut atas izin dari Wira Karma yang merasa iba terhadap Damara. Karena selama ini, pendekar paruh baya tersebut tidak memiliki tempat tinggal di desa itu.
Setelah mengemas pisang rebus, Pandu pamit kepada ayahnya dan segera melangkah menuju ladang tempat keberadaan Damara.
"Aku harus menyampaikan kabar baik ini kepada Paman Damara," desis Pandu sambil melangkah menuju ke arah ladang.
Ketika, ia sudah tiba di perkebunan rempah-rempah. Tiba-tiba saja, terdengar suara teriakan seseorang yang memanggil namanya.
"Pandu! Tunggu aku!"
* * *Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya. "Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut. Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?" Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?" "Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati. Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara. "Aku pikir Reksa Pati mau
Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran