Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.
Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.
“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.
“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.
Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.
Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Mereka, para anggota Cincin Hitam mulai bergerilya mencari titik temu tentang kasus yang membelenggu mereka, dapatkah mereka berhasil? Simak terus kelanjutannya, yah
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi
***Violet, ia datang melihatku bangun tanpa sehelai benang apa pun yang menempel. Wanita maniak pria atletis itu pasti sangat berhasrat ketika melihat tubuhku yang ia dambakan sejak lama.“Aku … biasa tidur dengan bertelanjang,” ucapku.“Oh apa itu kebiasaan atau memang suhu di ruangan ini cukup panas?” tanya Violet.Aku bangkit dari atas kasur dan memakai celana dalam dan celana pendek untuk menutupi daerah privasiku. Violet masih menunggu di ruang tengah dengan kedua lirikan mata yang masih memandang ke arah tonjolan di antara selangkanganku.“Apa kamu mau aku membantumu?” tanya Violet, dengan wajah malu-malu menunjuk kearah selangkanganku.“Tidak perlu. Apa ada urusan penting sampai kamu datang kemari?” tanyaku.“Oh iya, Aku datang ingin membawakanmu dokumen terkait identitas dari Budi. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lihat di dalamnya,” ucap Violet sambil
***“Apa hubunganmu dengan mereka?” tanya pria tersebut, dengan wajah yang cukup memar karena beberapa kali kupukul dengan keras.“Kurasa kau tidak perlu tahu urusanku dengan mereka. Kau hanya perlu menjawab apa kau berada di balik pendanaan ilegal ini?”Aku tidak perlu bertanya lebih jauh lagi, ototku lebih banyak bereaksi dibandingkan otakku. Jika ia masih enggan menjawab, aku bisa saja menghantam wajah pria busuk itu dengan kepalan tanganku.“Aku tidak perlu memberitahumu tentang itu, lagi pula kalian tidak akan bisa pulang ketika menginjakan kaki di rumah ini.” Pria itu mengancam dengan wajah yang menegang, kedua matanya melotot tajam kearahku mencoba mengintimidasi hati nuraniku untuk mengampuninya.“Tuan Revan, ini percuma.”Violet datang setelah mendengar keriuhan di balik pintu ruang kerja Budi. Wanita itu menduga kalau orang di tempat ini mulai curiga karena Budi yang tak lekas datang
***Mereka membawaku masuk ke sebuah gang sempit, di dekat pertokoan besar yang tersambung dengan rute jalan utama Ibukota. Mereka berjalan dibelakang dengan beraturan, tak ada satu orang pun yang kukenali dari mereka semua.“Siapa kalian?” tanyaku berkali-kali. Namun, mereka masih diam membisu seolah-olah mengacuhkanku.Beberapa langkah dari gerbang awal gang tersebut, mataku berjumpa dengan sebuah rumah kecil, sempit dan kumuh tepat di belakang pertokoan megah Jakarta. Rumah itu tampak kosong dan sunyi, seperti tak ada tanda kehidupan di dalamya.“Tunggu di sini.”Dua dari lima orang di belakangku mulai masuk ke rumah tersebut, mereka menyalakan senter dan mulai mencari sesuatu yang tak kuketahui.Datang setelah 5 menit berlalu, mereka membawa sepucuk surat yang tampak berdebu. Surat tanpa tujuan pengirim, hanya ada prangko kuno yang terpasang dan diduga berasal dari tahun 90-an.“Ia menitipkan ini pada
***Tiara datang ke kontrakanku tepat pukul 7 malam, ia masih mengenakan seragam detektifnya dan terlihat keringat mulai mengalir dari ujung kepalanya. Entah kenapa, aku sangat suka melihatnya bermandikan keringat seperti itu.“Apa kamu berlari untuk datang ke sini?” tanyaku sembari menjulurkan handuk kering padanya.“Entahlah, rasanya tubuhku ini sangat gerah sejak tadi siang.”“Mungkin kamu jarang berolahraga belakangan ini,” ledekku, ia mencubit pelan pinggangku dan berjalan dengan anggun masuk ke kamar.Kuraih beberapa sayuran dan daging dari plastik belanjaan, aku sempat membelinya di swalayan terdekat sepulangnya aku dari restoran Jepang. Kubeli kol, sawi, bawang, cabe, dan sayuran lainnya, sengaja kubeli banyak variasi karena kupikir Tiara sangat menyukai sayur-sayuran.“Mandilah, aku akan mempersiapkan makan malam,” ucapku.Tiara mengiyakan dari balik pintu kamar, terdengar suara
***Nathan ikut bersama kami untuk bertemu dengan Sutan. Selama di perjalanan, Violet tak hentinya terus menggoda pria tampan tersebut, hingga Nathan berkeluh kesah padaku tentang sikap wanita yang duduk di sampingnya.“Dia wanita paling cerdas dan licik di Cincin Hitam, anggap saja sebagai salam perkenalan darinya.”Nathan melongo sambil terus mencoba menjauh dari Violet, entah kenapa aku merasa kasian padanya, ia tipe pria yang sama sekali tidak suka ketika dirinya digoda, tapi ia juga tipe pria yang tak bisa kasar pada wanita. Sungguh momen dilematis yang sangat membingungkan.“Violet, di mana posisi Sutan sebenarnya?” tanyaku, wanita itu segera teralihkan dan mulai membuka peta di ponselnya.Ia mengirimkan kepadaku sebuah peta yang menunjukan koordinat dari pesan enkripsi yang sudah Violet buka, terlihat pesan singkat yang berisi “Bertemu, bayar, lupakan”. Aku yakin, pesan ini pasti ditujukan kepada pelanggan
*** Cukup lama kami berlindung di balik batu dan pohon, menghindari peluru-peluru panas yang keluar dari senapan mereka. Sungguh sambutan yang tak terduga kami dapatkan malam itu. “Apa kita akan terus bersembunyi di sini? Atau kita akan pergi melawan?” tanya Nathan, ia mengeluarkan revolver dari saku celananya, begitu juga dengan dua buah granat peledak yang tengah ia pegang. “Tunggu! Kita jangan menyerang mereka, mereka justru tengah memancing kita, apakah kita bersenjata atau tidak,” ucapku dengan banyak memikirkan segala kemungkinan dari kejadian yang telah terjadi. Nathan mengangguk, ia menurunkan kembali revolvernya dan menyimpan dua buah peledak itu ke dalam saku jasnya kembali. Ia tengah berlindung tepat di depan kananku, bersama Violet yang berada di dalam genggamannya, sedangkan Reno terpisah dengan kami, ia berlindung seorang diri di balik pepohonan dengan wajah tegangnya. “Sial! Kami akan kehabisan waktu jika terus bersembunyi seper