ADARA
Bab 1.“Menikahlah dengan Sandra, Ray!” ucap Yasmin tiba-tiba sesaat setelah menyudahi makannya.
Hampir saja Rayyan tersedak minuman mendengar ucapan sang mama barusan.Namun, ia tetap menuntaskan minuman di gelasnya, memberi hak pada kerongkongan dan perutnya setelah diisi dengan makan malam.
Rayyan sejenak menatap Yasmin dengan tatapan serius, lalu perlahan tawanya tumpah sudah. Semakin lama tawanya semakin keras dan jenaka seolah ucapan Yasmin adalah lelucon baginya. Bahkan Fahira, sang adik mencubit lengan Rayyan menyadarkan lelaki itu untuk menghentikan tawanya.“Pelankan tawanya, Ray!” kata Damar yang duduk di kursi utama.Rayyan manggut-manggut, perlahan mulutnya terkatup seraya membuat gerakan menarik ujung bibirnya dengan tangan. Pertanda ia akan diam.“Umurmu sudah mau masuk tiga puluh, apa nggak pengen punya keluarga kecil?” tanya Yasmin.“Iya, Ma. Pengen lah. Ray masih normal.”“So?” Yasmin menaikkan sebelah alisnya.“So what?” Rayyan bertanya balik.“Menikahlah dengan Sandra,” ulang Yasmin lagi.“Why Sandra, Ma?” Kembali Rayyan bertanya. Sepertinya ucapan mama kali ini sangat serius.Namun, jika pun ingin menikah, tentu bukan Sandra orangnya, karena ia tak bisa melihat gadis itu sebagai orang lain, melainkan teman.
“Karena kami sudah sepakat menjodohkan kamu dan Sandra sejak kalian masih kecil.”Rayyan ingin tertawa lagi. Namun, ia tahan sebaik mungkin. Lelaki itu lebih memilih untuk menjelaskan dan membuat mamanya paham dibandingkan tertawa yang akan melukai hatinya.Ini bukan zaman Siti Nurbaya, di mana soal cinta dan pernikahan bisa diatur oleh orang lain. Ini zaman modern, di mana hati seseorang adalah miliknya, dan ia berhak untuk menentukan ke mana pelabuhan terakhirnya.“Ini zaman milenial, Ma. Mana ada jodoh-jodohan kayak zaman mama.”Yasmin mengangguk. Ia tahu Rayyan mungkin tak bisa menerima, tapi tak ada yang tahu jika belum mencoba. “Keluarga lain mungkin tidak bisa, tapi keluarga kita harus. Setiap permintaan adalah perintah untukmu, Ray!”Rayyan menggeleng lagi. Cinta dan pernikahan bukan bahan percobaan yang bisa dites cocok atau tidak, lalu pergi meninggalkan. Namun, cinta soal kamantapan hati, bukan keraguan di awal. Meskipun nanti saat mengarungi bahtera rumah tangga akan ada kerikil tajam yang menghalangi jalan, itu dalam perjalanan, bukan di awal saat memutuskan. Dan ... menikah adalah keputusan bukan ujian try out.“We just friend, Ma!” jelas Rayyan agar Yasmin mengerti.“Pokoknya kamu cuma boleh nikah sama Sandra. Batasi pergaulanmu dengan gadis lain!” bentak Yasmin tak tahan dengan semua bantahan dan sikap keras kepala anak sulungnya.Yasmin menatap tajam pada Rayyan, mencoba memberi penekanan agar ia menuruti semua keinginannya.Damar yang duduk di sampingnya, membelai tangan sang istri untuk menenangkan. Sementara Fahira sedikit terkejut dan mulai takut dengan ekspresi sang mama.Rayyan sejenak menatap mamanya, lalu menarik diri dan bangkit dari meja makan mewah itu. Ia melangkah pelan untuk naik ke tangga menuju kamarnya.Rayyan tak ingin terjadi perdebatan lebih jauh dengan sang mama. Sebab itu ia lebih suka pergi dari situasi yang sudah tidak memungkinkan."She's not my type, Ma!" lirih Rayyan kecewa sambil berjalan pelan ke arah tangga.
“Jika Sandra bukan tipe kamu, lalu gadis seperti apa yang kamu inginkan, seperti Natalie?” teriak Yasmin mengikuti langkah kaki Rayyan.Mendengar nama Natalie membuat telinga Rayyan terasa panas. Gadis itu merupakan mantannya. Gadis yang pernah menorehkan luka dan kecewa dalam dirinya. Natalie menjalin hubungan dengan Rayyan, terlihat saling mencintai. Namun, nyatanya hanya Rayyan yang terlalu serius, karena Natalie ketahuan memiliki hubungan dengan lelaki lain. Tak sebatas hubungan biasa, tapi lebih intim seperti suami istri.“Why Sandra, Ma?” Entah sudah berapa kali Rayyan bertanya pada mamanya.“Karena cuma dia yang bisa bikin taraf hidup kamu lebih baik. Asetnya banyak, tak hanya cantik dan berprofesi dokter, tapi juga mengelola perusahaan peninggalan orangtuanya. Paham?”Rayyan menggeleng. Bukan ia tak paham. Namun, ia tak habis pikir mengapa mamanya lebih memilih mengumpulkan harta seolah sedang hidup dalam serba kekurangan. Padahal hidupnya bergelimang harta, dan kebahagiaan hati lebih penting dari itu semua.“Tidak ada yang salah jika menikah karena bisnis, Ray. Mama dan papa dulu juga menikah karena bisnis, tapi aman-aman saja.” Suara Yasmin mulai sedikit melemah.“Ray udah punya calon, Ma!” jawab Rayyan yang membuat semuanya kaget.Setelah mengatakan itu, perlahan Rayyan menapaki anak tangga. Meninggalkan mereka yang masih mencerna jawaban Rayyan sesaat lalu.“Siapa namanya? Dari keluarga mana?” tanya Yasmin dengan suara yang lantang sebelum Rayyan benar-benar tiba di ujung tangga. Kemarahannya kembali terpancing, karena jika Rayyan sudah memiliki pilihan akan lebih sulit untuk melanjutkan rencananya.Rayyan kembali berhenti dan menoleh ke belakang.
“Dara, Ma. Adara namanya.” Rayyan berucap dengan senyum yang merekah.
Ray terbayang-bayang tawa lepas Dara. Bualannya dengan teman-teman kerja. Bahkan saat Ray menutup mata akan tidur, hanya Dara yang terlihat di matanya yang tertutup.Hati Rayyan kembali terisi setelah beberapa lama kosong karena Natalie.“Dia beda, Ma. Ray benar-benar ingin menikahinya.” Jawaban Ray seolah mengcover semua alasan kenapa ia memilih gadis itu. “Siapa orangtuanya, anak pimpinan perusahaan mana?” tanya Yasmin sangat penasaran, masih dengan nada tak terima.Kali ini tak hanya Yasmin, tapi Damar dan Fahira juga ikut penasaran.“Mama akan tau saat aku membawanya ke sini.”Yasmin mulai merasakan panas dalam dadanya mendengar setiap ucapan Rayyan. Ia menarik napas panjang mencoba menenangkan diri.Damar juga ikut memikirkan tentang nama yang disebutkan Rayyan. Belum pernah ia dengar nama gadis itu di kalangan pebisnis. Namun, ia tak ambil pusing karena Rayyan sudah dewasa dan bisa menentukan pilihannya sendiri. Ia lebih memberi kebebasan untuk anak-anaknya memilih.Sementara Fahira langsung mengekori Rayyan dan masuk ke dalam kamarnya. Namun, langkahnya terpaksa harus berhenti dengan jerit tertahan karena secara cepat Rayyan menutup pintu kamarnya.“Aww, Mas Ray!” rintih Fahira menahan geram karena Rayyan memang sengaja ingin menjedorkan kepalanya dengan pintu.“Sana tidur!” kata Rayyan dari dalam kamar.“Nggak bisa! Kasih tau dulu siapa gadis itu. Minimal kasih liat fotonya.” Fahira merengek sambil terus menekan handel pintu.“Anak-anak nggak boleh tau!” sahut Rayyan.“Justru nggak boleh bikin anak-anak penasaran.”Dengan malas, Rayyan membuka pintu dan langsung disambut wajah nyengir Fahira. Keduanya memang dekat, meskipun mereka berbeda ayah. Rayyan anak Yasmin dan mendiang suaminya, sementara Fahira anak Damar dan Yasmin..
Yasmin merasa gundah. Hatinya benar-benar tak tenang, hingga saat akan tidur pun, ia masih memegang ponselnya, mengetikkan nama yang disebutkan Rayyan berulang kali. Yasmin mencoba mencari tahu lewat media, dan hampir saja ia membanting ponselnya karena tak ada informasi yang ia temukan tentang gadis itu.
Biasanya setiap pejabat, CEO dan pemilik perusahaan pasti ada nama dan informasi garis keluarga yang dimuat di internet.Adara. Yasmin berulang kali menyebut nama itu, dengan rasa penasaran yang semakin memuncak.Bab 2ADARA*Matahari senja terlihat semerah saga, masih terasa panasnya meski hari telah hampir magrib. Seorang gadis baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke sebuah cafe.Adara namanya, orang-orang kerap menyapa Dara.Gadis itu menatap bangunan yang lebih banyak didominasi oleh dinding kaca, hampir sama seperti bangunan tempat ia bekerja. Meskipun ia telah terbiasa dengan segala suasana cafe, tapi kali ini rasanya berbeda.Dara menarik napas panjang, ia melihat penampilannya sendiri yang setidaknya masih sedikit rapi meski beberapa jam yang lalu ia berjuang dengan peluh keringat. Saat temannya datang menggantikan shift kerja, Dara langsung pamit dari cafe tempatnya bekerja dan menuju tempat tujuan selanjutnya.“Maaf, siapa ini?” tanya Dara setelah ia memberi salam. Pagi tadi, ia mendapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal di ponselnya.“Saya mamanya Rayyan, bisa bertemu sebentar?”Dara bergeming di tempatnya berdiri. Gadis itu masih berada di dalam kamarnya, baru saja ak
Bab 3ADARA*Dara menatap amplop tebal di depannya. Sejenak gadis itu diam, lalu menyunggingkan senyum sinisnya pada wanita itu. Ini bukan untuk pertama kali ia direndahkan seperti itu."Apa ibu selalu menyelesaikan semua hal dengan uang?" tanya Dara penuh penekanan.Wanita paruh baya itu tersenyum, menatapnya tajam. "Saya hanya menyelesaikan apa yang perlu saya selesaikan. Saya hanya melindungi apa yang perlu saya lindungi."Benar seperti dugaan Dara. Saat wanita itu menelepon, ia menebak sesuatu akan terjadi padanya. Sesuatu seperti sekarang ini, direndahkan dengan uang seolah segala hal di dunia ini bisa selesai dengannya. Seolah semua hal di dunia ini hanya senilai uang semata."Jangan pernah bilang kalau kamu itu anak yang terlahir tanpa ayah, Dara! Dengarkan, Om! Tidak ada lelaki yang akan menikahimu jika mereka tau kamu tak punya wali nikah." Paman Dara selalu mengatakan seperti itu. Namun, Dara tak bisa membenarkan perkataan pamannya."Katakan saja sebagai anakku. Biar aku ya
Bab 4ADARA.Dara sedang menahan isak tangisnya, lalu terdengar sebuah ketukan pintu kamarnya.“Dara … nenek sakit lagi.” Dara mendengar kakeknya memanggil.Gadis itu segera menghapus air matanya, meski tak bisa ia sembunyikan hidung dan matanya yang memerah.Dara membuka pintu, mendapati sang kakek yang berdiri khawatir di depannya. Segera ia menuju ke kamar nenek untuk melihat keadaan wanita tua itu.Di sebuah ruangan sebelum sampai di kamar nenek, Dara melihat ibunya, Liana. Kembali air dari sudut matanya menetes kala melihat ibunya sedang tertawa sediri dengan sebuah buku dan pulpen di depannya. Liana selalu meminta buku dan pulpen untuk menulis apa saja yang ia tulis, lalu tertawa atau menangis setelah itu. Tulisan acak seperti anak yang sedang belajar menulis.Pemandangan itu selalu menyoyak hati Dara. Ia berjanji pada diri sendiri suatu hari akan membawa ibunya berobat dan sembuh. Namun, kenyataan dan mimpinya tak sesuai dengan harapan. Untuk memenuhi kebutuhan harian saja Dar
Bab 5ADARA.“Minum dulu, Nek!” Dara mengangsurkan segelas air putih di dekat mulut neneknya.Nenek mengela napas lega, ia merasa sedikit tenaga setelah minum obat. Dara berhasil pulang setelah memberikan beberapa pukulan untuk preman jalanan, setelah itu ia lari tunggang langgang sampai di rumah.Ia tak menceritakan semua itu pada siapa pun, karena itu sama saja menyusahkan orang-orang rumah. Apalagi kondisi nenek memang tak sehat. Kakeknya pun sudah tidak muda lagi untuk terus menerus mendengar beban kabar buruk.“Nenek istirahat ya.” Dara menarik selimut sebatas dada untuk neneknya. Perempuan tua itu mengangguk, lalu mulai memejamkan mata.“Kalau ada apa-apa, panggil Dara ya, Kek.” Gadis berusia dua puluh tahun itu berpesan. Seperti biasa, mengingatkan sang kakek bahwa saat neneknya kambuh ia harus memanggilnya di dalam kamar, bahkan jika gadis itu tak terjaga dari tidurnya.Lelaki senja bernama Suryadi itu mengangguk, dengan sudut mata yang hampir saja mengeluarkan air mata. Ia t
Bag 6 . Seperti biasa saat senja menyapa, Dara akan kembali ke rumahnya. Ia akan pulang bersama Ayu karena gadis itu menawarkan akan mengantarkannya ke rumah. Hanya Ayu satu-satunya teman yang paling mengerti keadaan Dara. Gadis itu tak ikut menghakimi hidup Dara seperti yang orang lain lakukan. Saat Dara mengeluh tak ada uang, ia bersedia mengantar jemput agar temannya itu tak harus jalan kaki untuk pulang. Padahal rumah mereka berbeda arah. Bahkan Ayu sering menjadi tempat Dara meminjam uang, tanpa batas kapan harus mengembalikan. Ayu hanya merasa lebih beruntung dari Dara, jadi ia hanya ingin berbaik hati dengan gadis itu untuk rasa syukurnya. Saat Dara keluar dari cafe, ia melihat Rayyan sudah tercekat di depan pintu. Dara menatapnya dengan tatapan bertanya, melihat wajahnya kembali ia mengingat perlakuan ibu Rayyan waktu itu. Merendahkan harga dirinya dengan begitu ke ji. "Aku tunggu di motor, ya," ucap Ayu yang langsung meninggalkan Dara dan Rayyan untuk berbicara berdua. D
Bag 7.Semua menatap curiga pada Dara karena cincin itu terjatuh dari dalam tasnya. Dara sendiri, wajahnya tampak pias karena ketakutan. Tak mungkin cincin itu ada dengan sendirinya di tas Dara.Yasmin mendekat dan menatap tak suka pada Dara, lalu ia berjongkok untuk mengambil cincin yang terpelanting tak jauh dari kaki Dara."Tolong jelasin kenapa ini ada di kamu?" tanya Yasmin penuh penekanan.Dara diam, ia tak mampu berkata. Wajahnya mendadak pucat disertai degup jantung yang bertalu. Sejenak ia menggeleng menatap Rayyan yang berdiri di sampingnya, tapi lelaki itu malah menatapnya meminta penjelasan."Begini ya kelakuan kamu yang sebenarnya. Datang ke rumah orang dan merasa punya kesempatan untuk mencuri." Yasmin mencerca semakin menjadi-jadi. Sementara yang lain hanya menatap Dara dan menunggu penjelasannya."Perempuan pencuri tak layak menjadi menantu di rumah ini! Ray terlalu berharga untuk bersanding dengan pencuri seperti kamu!" Yasmin melayangkan telunjui tepat di depan mata
Bab 8 Setelah pertemuan malam itu, Rayyan tak berani menemui Dara. Ia malu pada gadis itu, juga malu pada diri sendiri karena sempat tersirat prasangka buruk untuk Dara. Gadis cantik itu juga tampak sangat menghindari Rayyan, karena tahu persis posisi mereka jauh berbeda. Jangankan untuk menikah dan hidup bersama, untuk menjalin hubungan pertemanan saja, Dara merasa memiliki sekat yang tak bisa ditembus. Rayyan merupakan seorang dokter spesialis penyakit dalam, anak dari pengusaha terkenal yang keluarganya juga memiliki rumah sakit swasta di Jakarta pusat, tempat Rayyan bekerja. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan Dara. "Kusut amat wajahnya, kenapa Ray?" tanya Sandra yang baru saja selesai memeriksa pasien yang baru saja melahirkan. Ia melewati ruang kerja Rayyan dan melihat temannya sedang melamun. Sandra langsung duduk di depan Rayyan, karena melihat wajah yang tampak tertekuk itu. Rayyan meletakkan kembali ponselnya. Wajah itu terlihat kusut karena beberapa kali ia
Bab 9."Li, balikin ya. Itu punya anak Bu Asih, kasian besok dia sekolah."Seorang lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu membujuk. Sementara Liana yang dibujuk hanya tersenyum mengelus seragam SMA yang kini ada di tangannya. Herman, abang Liana duduk berdekatan dengan adik satu-satunya itu, ia ingin memberi pengertian bahwa seragam itu bukan miliknya. Herman ingin membangunkan kesadaran Liana, bahwa kini sudah berpuluh tahun berlalu, dan ia tak layak lagi mengenakan seragam SMA seperti dulu."Bu Asih, sabar dulu ya. Saya akan coba minta baik-baik." Herman berkata pada pemilik seragam itu.Suryadi dan Halimah ikut membujuk Liana, tapi mereka tak tahu caranya agar perempuan itu mengerti. Biasanya saat Halimah membujuk, wanita itu akan diam dan menurut, karena satu-satunya orang yang bisa ia kenali hanyalah Halimah, ibunya.Liana akan merasa aman jika Halimah berada di sampingnya, dan akan menjerit jika disentuh oleh lelaki termasuk ayah dan abangnya. Trauma yang ia alami telah me