Alpha kembali ke kantor usai makan siang. Saras sedikit lega kala Alpha tidak bertanya lebih jauh lagi perihal dirinya dan Bastian. Setidaknya Saras bisa tenang hingga semua barangnya tersimpan dalam koper, lalu bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Biarlah Saras menjadi gelandangan lagi asalkan ia tidak ditemukan oleh Bastian. Yang paling penting Alpha dan Gani tidak boleh terlibat.Usai makan malam bersama Gani, Saras mulai merapikan barang-barangnya. Sedangkan Gani pergi ke kamarnya untuk bermain dengan robot-robot dan mainan baru yang entah ia dapat darimana.Helaan napas panjang keluar dari mulut Saras. Akhir-akhir ini hidupnya penuh dengan ujian. Setelah perusahaan bangkrut, lalu keluarga dan suami yang berubah drastis dan kini harus hidup luntang lantung. Agak lucu sebetulnya. Saraswati yang dulunya bisa membeli seluruh dunia mendadak tidak bisa makan. Hidupnya berubah begitu cepat. Karena kelalaiannya, Saras harus menderita dan hidup seperti gelandangan. Bahkan untuk mengabari
Saras berada di posisi serba salah. Sebetulnya ia bisa pergi tanpa harus peduli pada Gani yang sejak tadi duduk di sudut ruang tamu sembari menekuk lutut. Tadi bocah itu menangis, meminta Saras untuk tetap di sini karena ia bisa kesepian lagi jika Saras pergi. Tapi Saras tidak bisa. Ia mendadak tidak tega. Dari arah pintu masuk, Alpha berlari menghampiri Saras yang berdiri sembari menggenggam gagang koper yang siap diseret. Nafas pria itu tak beraturan, seperti sehabis berlari dari Anyer ke Panarukan.Melihat kedatangan Alpha, Gani yang tadinya tidak bergerak langsung berlari memeluk kaki pria itu. Tangisnya masih ada, tapi tak bersuara. Tangis seperti itulah yang membuat hati Saras terasa teriris.Seumur hidup, Alpha tidak pernah berada di situasi seperti ini. Anaknya menangis karena tidak ingin seseorang yang sama sekali tidak dia kenal pergi meninggalkannya. Gani tidak pernah bersikap seperti ini. Bahkan pada pembantu-pembantu sebelumnya yang jauh lebih lama bekerja di rumah ini.
Saras terbangun kala mendengar suara riuh yang berasal dari dapur. Melirik jam di dinding, ternyata masih pukul setengah enam pagi. Siapa yang bangun sepagi ini dan membuat keributan? Apa mungkin Alpha? Atau...Gani? Atau mungkin saja ada perampok yang terjebak di rumahnya dan sedang mencari barang berharga di dapur?Memikirkan hal itu, kantuk Saras langsung hilang. Ia buru-buru turun dari ranjang. Menyambar bantal guling, lalu melangkah tergesa-gesa menuju dapur. Lampu ruang tengah masih belum dinyalakan. Begitu juga dengan lampu di ruang tamu. Besar kemungkinan pelaku keributan di dapur adalah perampok. Kalau Alpha, tak mungkin pria itu membiarkan rumah dalam keadaan gelap seperti ini.Lantas dengan hati-hati, Saras menginjakkan kakinya di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ruangan itu tidak gelap. Lampu bersinar terang, membuat Saras bisa melihat dengan jelas sosok bertubuh tegap yang berdiri menghadap kompor. Seorang pria dengan tubuh bagian atas yang terekspos dengan jelas.
Rasanya sudah sangat lama Alpha tak melihat Bastian secara langsung. Ia hanya melihat Bastian lewat layar televisi dan melihatnya dari tampak jauh ketika pria itu tak sengaja berkunjung ke kantor tempatnya bekerja. Sejauh ini, identitas asli Alpha masih terjaga dengan aman. Ia tetap dianggap sebagai budak gila uang yang akan selalu diinjak-injak. Bahkan oleh manusia angkuh yang kini berdiri di hadapannya."Selamat pagi, Alpha," sapa Bastian diiringi senyuman."Pagi," sahut Alpha seadanya. Mereka memang berteman, tapi Alpha tetap membatasi diri agar Bastian tidak terlalu semena-mena terhadapnya. Lagipula Alpha tidak begitu suka dengan Bastian. Berteman dengan Bastian hanya akan membuat diri sendiri tersakiti.Bastian tidak memberikan basa-basi. Dia langsung mengeluarkan sebuah brosur, lalu menunjukkannya pada Alpha. "Lo pernah liat perempuan ini di sekitar sini?"Brosur itu berisi foto Saras dan himbauan bahwa perempuan itu tengah dicari. "Gue pernah liat dia lari-lari di sekitar sini
Gani duduk di atas kursi dengan lutut berdarah. Tak hanya lutut, siku dan dahinya juga turut mengeluarkan cairan kental merah. Sedangkan Saras berjongkok di hadapan Gani, mengobati luka tak seberapa di lutut bocah itu. Hanya berupa goresan yang tak mengoyak dalam daging Gani. Tidak ada yang perlu ditakutkan sebetulnya. Sebab Gani tidak menangis. Bocah itu tampak santai saja seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan masih sempat menggoyang-goyangkan kakinya.Saras cukup bersyukur. Ia pikir Gani akan merengek lalu menangis sepanjang hari sembari berseru tidak ingin kakinya diamputasi. Namun nyatanya, anak itu tidak mempermasalahkan apa yang baru saja ia alami.Namun mama Alpha masih heboh dan histeris melihat cucu satu-satunya terluka. Wanita itu berkali-kali menawarkan Gani untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi Gani menolak, katanya ia tidak suka dengan dokter di rumah sakit. Saras juga berusaha meyakinkan bahwa luka akibat berlari-lari diatas a
Alpha berdiri di atas balkon yang mengarah pada ruang tengah. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan pandangan tertuju pada perempuan berkemeja putih dengan tambalan berwarna hitam di bagian punggung. Saras ternyata tidak membuang kemeja rusak itu. Alpha tidak percaya Saras bangga memakai kemeja dengan tambalan yang cukup besar. Mungkin Saras kehabisan baju. Sebab setelah Alpha liat, baju Saras tidak pernah berganti. Hanya itu-itu saja.Akan tetapi tujuan Alpha berdiri di sini bukan untuk menilai penampilan Saras. Ia sedang memikirkan, apakah ia perlu turun dan menghampiri perempuan itu untuk mengucap maaf seperti yang diperintahkan mama. Alpha merasa dirinya tidak salah. Gani terluka karena pembantu yang seharusnya bertugas menjaganya bersikap lalai. Seharusnya Saras tidak mengiyakan ucapan mama kala wanita itu menyuruh Saras masuk dan membiarkan Gani berada dalam pengawasan mama. Seharusnya Saras bersikeras untuk menjaga Gani.Tampaknya perempuan itu memang tidak berbakat men
Alpha tidak tau kekuatan seperti apa yang telah menggerakkan hatinya sehingga pada siang ini dia membawa Saras serta anak tunggalnya ke sebuah mall besar. Tadinya Alpha ingin membawa Saras ke toko baju. Dia merasa terganggu dengan pakaian Saras. Perempuan itu terlihat sangat menyedihkan dengan kemeja dan tambalan berwarna hitam itu. Alpha seakan berdosa jika membiarkan Saras memakai baju tidak layak.Mereka belum turun dari mobil. Alpha masih menimbang-nimbang apakah dia ikut turun dan mengantar Saras ke toko baju seakan-akan dirinya adalah suami perempuan itu atau menunggu di sini saja. Mendadak Alpha enggan turun dari mobil. Agaknya saat ini Alpha menyesal karena memutuskan tidak membawa mama. Dan seharusnya sejak awal Alpha tidak membawa Saras beserta dirinya ke mall ini."Kita nggak turun, pa?" Gani menoel lengan Alpha. Diperhatikan sejak tadi, Alpha banyak melamun."Iya, kita turun," jawab Alpha seraya melepas sabuk pengamannya.Gani tersenyum, ikut melepas sabuk pengaman yang me
"Ini mahal banget, pak. Nggak ada yang murah? Gaji saya nggak mau dipotong cuma karena beli baju seharga dp rumah baru, pak," ujar Saras setelah melihat berapa harga kemeja yang kini melekat di tubuhnya. Alpha menghela napas pelan. Seberapa mahal yang nyata kerap menjadi pakaian sehari-hari Saras ketika masih menjabat sebagai presdir sukses? Alpha tidak mengerti kenapa jiwa perempuan itu semiskin ini."Bukannya kamu sering memakai pakaian mahal seperti itu?"Alpha mulai lagi. Saras malu jika Alpha harus mengingatkannya pada masa-masa itu. "Itu dulu, pak.""Apa bedanya dengan sekarang? Baju ini dibeli pakai uang saya. Kamu tidak usah banyak protes," sahut Alpha seraya menarik tangan Saras, lalu meletakkan sebuah kartu di sana. "Bayar sana.""Pak...""Saras."Dengan pasrah, Saras kembali ke bilik ganti untuk melepas kemeja yang melekat di tubuhnya. Lalu memakai kembali pakaian lusuhnya dan melangkah mendekati Alpha yang ternyata masih berdiri di depan bilik ganti."Ambil lima buah keme