Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.
Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.
Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.
Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.
Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"
Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
"Lindungi Pangeran! Lindungi Pangeran!" Pangeran bersembunyi di semak-semak melihat pasukan istana bertarung melawan bandit, sementara iring-iringan Kaisar telah lama pergi. Pangeran paham jika dia tidak bergerak, mereka akan menangkapnya. Pemuda jangkung kurus mengerti dengan pakaian mahal akan dengan mudah dikenali bandit. Dengan cerdik pemuda berusia dua belas tahun memakai pakaian bandit yang tewas. "Pangeran, jangan kabur!" teriak bandit memergoki Liu Bian mengendap-endap keluar dari semak-semak. Anak naga kabur berlari secepat mungkin, tetapi sebagai calon kaisar dia tidak dilatih berlari. Baru beberapa li saja dia terengah nyaris pingsan. Suara tawa para bandit membuat Liu Bian merinding. Mereka mau membunuh? Atau menculik? Dua pilihan sama saja.
Satu minggu setelah pertemuan Liu Bian dan Sima Zhou, Kaisar mangkat. Sekarang Liu Bian menjabat sebagai Kaisar ke tiga belas Dinasti Han dengan gelar Sang Muda pemberani. "Buat apa membiayai pembangunan waduk? Lebih baik kita membangun taman indah untuk Ibu Suri," ucap kasim Zong, kasim senior yang mengepalai sebelas kasim pembantu Kaisar. Menteri bingung karena menurutnya urusan waduk harus didahulukan. "Yang Mulia, rakyat terutama petani, mereka membutuhkan waduk untuk bisa bertahan mengelola tanah mereka. Mohon Yang Mulia memikirkan lagi." Dia membungkuk memberi hormat pada Liu Bian. "Kaisar tidak perlu repot. Sesuai tradisi, kami yang akan membantu Kaisar. Pajak sangat penting bagi kas negara, biar kami yang mengurus," sahut Kasim Zong membungkuk kemayu di hadapan Bian. Tradisi yang dimaksud para kasim adala
Para jendral menebar teror pada diri Liu Bian. Selama ini dia melihat jendral seperti He Jin, gagah, rapi, berwibawa, tapi sekarang para jendral 'lapangan' berada di hadapannya. Mereka memiliki banyak luka di tubuh, bahkan salah satu dari mereka kehilangan jari kelingking. Badan Liu Bian sedikit condong ke arah paman. Tangannya terangkat hingga bagian lengan pakaian menutupi wajah di bawah mata ketika dia berbisik. "Paman, aku tidak mengenal mereka." He Jin tertawa bangga memandang para jendral. "Mereka jenderal yang akan berjasa pada Han. Kalian, perkenalkan diri kalian!" Satu persatu mereka memberi hormat pada Liu Bian. Hanya beberapa yang Kaisar hafal namanya. Salah satunya adalah Cao Cao. Dia masih muda dan tampan. Tentu Liu Bian hafal wajah mulus i
"Cao Cao, bawa pasukan kavaleri maju duluan. Pasukan kita masih lama memasuki kota," perintah He Jin. "Laksanakan!" "Kenapa Tuan mempercayakan semua pasukan kavaleri ringan ke Cao Cao?" tanya salah satu jenderal di bawah kuasa He Jin. "Harusnya kehormatan itu diberikan kepadaku, anak dari keluarga Yuan." "Hmmp! Aku punya banyak alasan untuk melepas Cao Cao ke sana." "Maaf karena mempertanyakan keputusanmu, Tuan He."
Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang. He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara. Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan. Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara. Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin. Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka. Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri. Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung.
Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me