Cao keluar dari gubuk sembari membawa badan Bian.
Melihat puluhan pasukan berkuda mengelilinginya membuat kaki Cao Cao lemas, tapi dia tetap melangkah mendekati Lu Bu.
"Pengkhianat, berani kau--"
"Jenderal Lu Bu, apa salahku sampai kau menghinaku sebagai pengkhianat?"
"Masih berkelit? Kau kira aku tidak tahu, kau membunuh pasukanmu sendiri lalu bermaksud kabur bersama Bian, kan?"
Ucapan Lu Bu menembus akal pikiran dan membuat hati Cao Cao terguncang, ternyata bocah bodoh seperti Lu Bu bisa berpikir cukup jauh di saat seperti ini. Dia terbahak lepas sampai membuat pasukan berkuda bingung.
"Kabur? Kamu salah Jenderal, aku tidak akan kabur. Lagi pula kabur ke mana? Seluruh dunia berada di bawah kaki Perdana Menteri sekarang."
Lu Bu ytertawa kencang. "Dunia tidak berada di bawah kakinya, tapi dalam genggamanku. Cukup, sekarang jelaskan apa alasanmu membunuh pasukan-pasukan itu." Ujung tombak Lu Bu terangkat nyaris menyentuh leher C
Setelah dipastikan itu adalah Bian, mereka lanjut menuju Luo Yang, Ibukota. Di pagi hari mereka tiba di tujuan dan langsung menuju ke kediaman perdana menteri. Cao Cao semakin cemas ketika Li Ru memerintahkan pasukan elit untuk menjaga setiap pintu keluar, bahkan Lu Bu tidak melepas tombak ketika berada di kediaman perdana menteri. Li Ru tidak melepas pandangannya dari Cao Cao, mengawasi perubahan raut wajah. Li Ru terkenal sebagai seorang cendikiawan cerdas juga mengerti beberapa ilmu aneh. Bisa dibilang jika Lu Bu adalah otot Dong Zhuo, Li Ru otak dari Dong Zhuo. "Heh, ada apa ini?" tanya Dong Zhuo, pria gendut buruk rupa berjenggot hitam lebat seperti jenggot singa. Sembari melangkah dia mengamati Liu Bian yang terbaring kaku dia tertawa. "Bagus Lu Bu, kau berhasil membunuh cecunguk ini." Li Ru menyeringai ketika Cao Cao mengepal erat gagang pedangnya. "Itu memang Liu Bian, dan Cao Cao yang membunuhnya. Masalahnya adalah, kenapa mata Bian h
Sima Zhou terbangun di tempat yang tidak pernah dia datangi.Lahan hijau di mana langit berwarna biru cerah. Di sana ditumbuhi banyak pepohonan cherry yang bergoyang pelan tertiup angin sepoi hangat. Terdengar kicau burung bersahutan di tengah aroma bunga yang tumbuh di sekitar."Apa ini surga?" Dia berdiri merapikan pakaian yang kotor sembari melangkah mengitari taman yang seakan tanpa batas. "Ah, yang penting lukaku hilang. Surga yang sepi, apa semuanya masuk neraka?"Sayup dari kejauhan terdengar suara merdu suling bambu, membuatnya berlari kencang menuju sumber suara.Semakin lama dia berlari keadaan di sekitar perlahan berubah. Langit cerah berangsur gelap. Pepohonan cherry perlahan tergantikan oleh pepohonan pinus. Dia sampai memeluk badan karena udara semakin menusuk kulit.Langkah Zhou melambat ketika melihat seorang pemuda duduk di gazebo di tengah danau. Ia mendekati danau yang sangat jernih hingga memantulkan pemandangan langit bertabur
Suara itu membuat Zhou bergidik. Dia panik berlari memutari Bian. "Waa! Ada hantu!" Zhou bersembunyi di belakang badan Bian yang lebih tinggi darinya. "Tolong Bian, tolong! Aku paling takut hantu!"Bian tersenyum kecil. Aksi Zhou mengingatkan pada seseorang yang sangat dia sayangi, sosok pengecut yang benci kegelapan.Akan tetapi Bian juga sama dengan Zhou. Dia berdiri dengan badan bergetar karena dia sendiri ngeri. Di tangan kanan muncul sebilah pedang. Dia harus melindungi bocah yang lebih kecil, dengan bersikap berani. "S-siapa kamu! Tunjukkan rupamu!""Pedang?" suara lembut itu terdengar kaget dan suara tawanya menggelegar, sampai batuk-batuk. Setelah batuk hilang dia lanjut bicara, "Cukup berani, ya kalian melawan diriku? Berdua lawan satu, apa itu adil?”“Kami masih kecil, apa kamu orang dewasa? Atau juga anak kecil? Jika anak kecil, baiklah, aku akan maju sendiri,” ucap Bian, membuat bungkam suara aneh tadi.“Baiklah
"Kami mengganggu acara tidurmu, kan?" tanya Bian. Sang Naga berhenti berputar. "Ho, iya, gara-gara restoran busuk ini!" kasar ekornya menghancurkan restoran Zhou hingga menjadi puing-puing. Liu Bian tersenyum mendekati Naga. "Bian!" teriak Zhou berusaha menarik lengan sahabatnya. "Apa kau gila? Nanti kau bisa dimakan!" "Qiu Niu," tegur Bian. "Eeh?" Naga itu terdiam. "B-bagaimana kamu bisa tahu?" "Bian, apa maksudmu?" tanya Zhou. "Nu Nu siapa?" "Berengsek!" sentak Qiu. "Namaku Qiu!" "Qiu, aku tahu kamu menyukai musik. Bagaimana kalau aku memainkan musik untukmu?" ujar Bian. "Kamu mau?" tanya Qiu. Matanya tertuju pada suling di tangan Bian. "Jadi kamu ya, yang bermain tadi?" Bian mengangguk. "Tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" tanya Qiu. "Pertama, aku minta kamu membantu kami pergi ke bumi. Kedua, jangan menyerang kami. Ketiga, jadilah sahabat kami." "Kenapa tidak jadikan dia pem
Zhou selalu hiperaktif, jadi dengan mudah dia bisa menarik kerah pakaian Bian dan menariknya jatuh. Dia mengejek dengan mengeluarkan lidah kepada pemuda itu."Apa-apaan kamu, Zhou!" sentak Bian."Biar aku saja. Qiu, jaga Bian ya!" Dan dengan loncatan kelinci, dia masuk ke gerbang."Zhou!" teriak Bian, merangkak maju hendak menggapai sahabatnya. Akan tetapi pintu kehidupan tertutup rapat.Dia mencoba mendorong, mendobrak, menarik, tetapi semua sia-sia.Semua itu hanya menguras tenaga Bian, hingga dia ambruk memukul tanah. "Dasar bodoh!""Ah, persahabatan yang indah." Qiu duduk bersandar pohon sembari memangku satu kaki. Dia bersenandung lagu favorit-nya. Cang hai yi sheng xiao.Perbuatan yang seakan tidak peduli dengan nyawa sahabatnya ini membuat Bian lepas kendali. Dia mencengkeram kerah pakaian naga itu sampai Qiu berdiri. "Kamu, kenapa tidak membantuku mencegah si bodoh itu?""Kenapa harus dicegah?" tanya Qiu, memasang wajah
"Dasar bocah nakal!" sentak Sima Yi, menjewer telinga Sima Zhou. Dia mengira Zhou memanggilnya dengan sebutan berengsek. "Kamu sudah bangun rupanya, hmm? Berani sekali kamu bicara seperti itu kepada Ayah dan Kakek Zuo Ci!" "Ayah, Ayah, ampun, ah, sakit!" Dengan manjanya Zhou meringis, berdiri mengikuti jeweran Ayah yang sangat menyiksa sendi-sendi telinga. Dia bertekuk lutut. Bibir bawah melipat keluar cemberut. Di tengah keramaian Bian berkata dengan nada serius. 'Zhou, tolong jaga rahasia keberadaan kita. Cukup kita yang tahu. Kamu mengerti?' "Ayo sekarang minta maaf pada Kakek Zuo Ci!" sentak Sima Yi, sebenarnya air mata yang keluar adalah air mata bahagia karena anaknya telah siuman. Tapi Sima Yi malu, alhasil dia marah-marah tidak jelas. "Masih kecil sudah badung! Seenaknya sendiri memanggil berengsek, memang dia berengsek tapi jangan jujur-jujur." "Apa?" Sahut Zuo Ci yang duduk di kursi. "Maksud aku, bocah ini berengsek." Sima Yi mencubi
Zhou dan Shi sampai di perempatan jalan. Begitu ramai jalan itu dipenuhi orang-orang yang membawa buntalan, juga kotak-kotak besar. Antrian gerobak terjadi karena tidak bisa jalan. Zhou mencari tahu sumber kemacetan. Ternyata gerobak terdepan yang ditarik kerbau, ban-nya rusak. Puluhan pemuda berusaha mendorong gerobak ke tepi jalan. "Ayo Kkita bantu mereka!" ajak Zhou dengan penuh semangat, tanpa memperhitungkan siapa mereka. Yang dia tahu orang butuh bantuan harus ditolong. Kehadiran bocah itu tidak banyak membantu, akan tetapi Shi yang lebih dewasa mampu memberi sedikit kekuatan untuk menyingkirkan gerobak. "Haah, dasar lemah. Minggir!" Seorang pemuda kekar datang. Ototnya sebesar batu sungai. Walau wajah belum berjenggot, dia berani menarik mundur orang-orang yang lebih tua. "Hei, anak muda, bisa apa kamu, hah?" tanya seorang tua. "Bisa begini!" Dia mengangkat gerobak seorang diri ke tepi jalan. Aksinya menyita perhatian. S
"Aku beli lima!" Sejenak Zhou merasa di atas angin ketika banyak orang memandangnya sambil bertepuk tangan. Gaya berjalan Zhou seperti juragan tanah membawa bungkus bakpao. "Minggir!" teriak seorang pasukan berkuda, membuka jalan untuk beberapa penunggang kuda lain. Zhou yang kurang sigap terlambat menyingkir dari jalan hingga dia terjungkal ke belakang. Kantung berisi bakpao jatuh ke comberan, dua bakpao terinjak injak tapal kuda. Belum sempat dia memungut yang tersisa, beberapa tangan merebut bakpao, hingga Zhou hanya bisa mengambil dua bakpao. Satu masih bagus satu sudah kotor terjatuh. "Manusia biadab! Merebut bakpao dari anak kecil!" "Yang sudah di tanah, bebas diambil orang!" Begitu jawab pemungut bakpao, melahap habis makanan itu. Andai Zhou punya ilmu silat pasti sudah menghajar mereka semua. "Heh, bocah," ucap penjual bakpao, menaruh satu bakpao ke kepala Zhou. "Anggap bonus, sudah sana, kembali ke kelo