Hari itu, Senja tengah melamun di depan jendela kamarnya. Rintik hujan membasahi bumi, seolah mendukung dirinya yang tengah bersedih saat ini. Senja tengah memikirkan nasib kedepannya, tidak mungkin ia masih tinggal di mansion itu meskipun kenyataannya keluarga Romanov begitu terbuka dalam menyambutnya. Para orang tua sama sekali tidak membedakan perlakuan mereka, ia pun sama diperlakukan layaknya anak kandung. Namun, tetap saja ada rasa sungkan, canggung yang dirasakan oleh Senja. “Sebaiknya aku pergi dari sini, rasanya tidak enak jika aku terus menumpang tinggal di mansion mewah ini. Aku akan mencoba keluar dan mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman. Aku tidak enak jika harus selalu tinggal di sini,” gumam Senja. Lalu ia pun membereskan beberapa baju yang memang tidak seberapa itu. Baju lusuh bekas Anjani dulu, selalu menjadi pakaian sehari-harinya. Walaupun ada rasa sakit ketika diperlakukan berbeda, tetapi Senja mencoba menerimanya denga
Saat ini, Senja tengah berjalan tanpa arah tujuan. Ia hanya mengikuti langkah kakinya saja, entah kemana takdir dan nasib akan membawanya. Yang pasti, Senja hanya mengikuti nalurinya saja. Entah sudah berapa jam dia berjalan, peluh sudah membasahi keningnya. Sesekali ia mengelap keringat yang jatuh, Senja benar-benar pasrah. Uang yang di pegangnya pun tidak seberapa. “Semangat, Senja kamu pasti bisa. Semoga saja ada tempat yang bisa menampungku. Sakit sekali rasanya, hidup sendirian dan tiada tujuan,” lirihnya. Akhirnya setelah lama berjalan, Senja menemukan sebuah panti asuhan. Sederhana dan tidak terlalu besar. Senja menatap beberapa anak kecil yang tengah berlarian kesana kemari. Senja pun mencoba masuk, kebetulan ada seorang perempuan paruh baya yang tengah mengawasi. Senja pun membuka pagar dan masuk. “Assalamualaikum, Ibu,” ucap Senja pelan. “Waalaikumsalam, Nak. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia
PPTX - BAB 1 Seorang pria tampan nan gagah terlihat sedang mematut diri di depan cermin. Sesekali tersungging senyum tipis di bibirnya yang seksi, senyum tak lepas dari bibirnya. Jas hitam berpadu dengan kemeja putih sangat pas di tubuhnya yang tinggi menambah ketampanan pria itu berkali-kali lipat. Laki-laki yang bernama Xavier Romanov, hari ini akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan impiannya bersama sang kekasih hati. Sudah lama sekali ia merencanakan semua, tapi baru kali ini terlaksana. "Aku benar-benar tidak sabar," Xavier tersenyum dan mencoba untuk membuang nafasnya secara perlahan untuk menghilangkan rasa gugup yang menyerang dirinya. Pernikahan impian yang akan terjadi, meski harus melangkahi sang kakak. Pria itu tidak ingin lagi menunda, dia ingin menjadikan sang kekasih hati sebagai RATU di dalam hidupnya. Sambil menunggu yang lain siap, dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba untuk menghubungi sang calon is
Pengantin Kecil Tuan Xavier [ BAB 2 ] "SELAMAT DATANG BUDAKKU!" batin pria itu berbicara, tampak seringaian misterius terbit di bibir sexynya. Xavier masih menatap gadis kecil yang sudah berstatus menjadi istrinya menggantikan kekasih yang kabur entah kemana. Tapi, dia tidak perlu khawatir karena pria itu sudah menyebar anak buah untuk mencari perempuan yang tidak tahu diri itu. Dia harus membayar semua perlakuannya yang telah membuat dia malu, dan untuk sementara adiknya lah yang akan menggantikan peran melaksanakan hukuman. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana?'' tanya Xavier datar dan dingin. Nandini perlahan mengangkat kepalanya, menatap laki-laki yang kini sedang duduk di pinggiran ranjang kecilnya. Ya Nandini di beri kamar yang mempunyai ukuran sangat kecil, berbeda dengan kedua kakaknya yang mempunyai kamar yang sangat luas. Tapi, bagi Nandini itu lebih baik daripada dia harus tinggal dan tidur di gudang yang kotor juga penga
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 3 "Tuan Awas!" teriak Nandini dari belakang tubuh kekar Xavier kala dia melihat seorang pria membawa pisau dan akan menusuk pria itu. Nandini pun berlari dan mendorong tubuh Xavier dengan sekuat tenaga. Xavier terjatuh, terhuyung dan Nandini menahan pisau dari pria itu. Hingga darahnya menetes mengenai wajah Xavier. Bodyguard Xavier langsung bergerak meringkus pria itu, mereka kecolongan. Karena yang akan menusuk Xavier adalah anak buahnya sendiri. Tangan Nandini terluka, dan sepertinya luka di tangan mungil itu cukup dalam. Xavier beranjak, dia mengusap wajahnya yang terkena tetesan darah Nandini. "Apa yang kau lakukan!" suara pri itu terdengar menggelegar ketika membentak Nandini. Gadis yang di bentaknya itu langsung menundukkan kepala. Tubuh itu bergetar mendengar bentakan yang keluar dari mulut Xavier. Orang-orang yang mendengar keributan di depan pun langsung berlari menghampiri mereka. Merek
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 4 Byurrr Seember air meluncur bebas membasahi tubuh ringkih itu. Gadis yang masih terlelap menyelami mimpinya di tarik paksa menuju kenyataan. Dia mengerjapkan mata yang terasa perih dan juga hidung yang terasa sakit akibat kemasukan air. Uhuk uhuk uhuk Dia terbatuk, merasakan perih dan sesak di dada. Sambil berusaha menetralkan penglihatan, dia terus memukul-mukul dadanya yang terasa sakit. "Bangun!" suara bariton nan dingin menyapa indera pendengaran Nandini. Gadis itu berusaha memfokuskan pandangannya. Bola mata berwarna hazel itu seketika melotot tatkala melihat siluet seorang pria yang berdiri di sebelahnya. "Ah, m--maaf s--saya t--terlambat b--bangun," ucap Nandini terbata dan ketakutan ketika melihat mata tajam itu menatap bak seekor elang yang hendak menangkap mangsanya. Xavier menatap dingin gadis kecil di hadapannya. Lalu dia pun melirik Kepala Pelayan. Pria paruh baya i
Pengantin Kecil Tuan Xavier-BAB 5 "Aww," jerit Nandini. "Aampun, lepaskan, sakit," rintih Nandini. Xavier menatap nyalang wajah yang sedang ketakutan itu. Dia dengan kuat menjambak rambut Nandini. Hingga gadis itu merasakan sakit di kepalanya, dia merasa rambutnya akan rontok. "DENGAR INI, SAYA PALING TIDAK SUKA DI BANTAH APALAGI OLEH BUDAK SEPERTIMU! STATUSMU DI SINI ADALAH BUDAKKU,BUKAN ISTRIKU! KAU DENGAR ITU! JADI JANGAN BERHARAP KAU AKAN MENDAPATKAN PERLAKUAN SPESIAL DARIKU! INGAT KAU HANYA SEORANG BUDAK, DAN BUDAK TIDAK DI PERKENANKAN UNTUK MEMBANTAH UCAPAN MAJIKANNYA, INGAT ITU. CAMKAN DI OTAKMU YANG KECIL ITU!" sarkas Xavier. Nandini meringis, merasakan ngilu sekaligus pusing di kepalanya. Sedangkan pria paruh baya yang bertugas menjadi kepala pelayan hanya bisa menatap prihatin pada gadis yang sedang di perlakukan kasar oleh sang majikan. "Sungguh malang sekali nasibmu, Nak," batin pria itu.