Share

8. Egois

PERJANJIAN DUA AKAD

PART 8

🍁🍁🍁

Dua hari kemudian, Abian terpaksa bertunangan dengan Aluna. Semuanya disiapkan dalam waktu yang singkat. Termasuk hati keduanya yang dipaksa menerima keadaan.

Acara pertunangan berlangsung dengan lancar. Hanya saja kedua calon pengantin sama-sama tak memberikan ekspresi kebahagiaan. Bahkan ketika Abian memasangkan cincin pada jari manis milik Aluna, lelaki itu masih berwajah datar, hingga tatapan tajam Haris dan wajah sendu sang ibu membuatnya terpaksa menyunggingkan senyuman. Seolah tengah mengumumkan kebahagiaan pada semua yang hadir.

“Kau yakin ingin menikah denganku?” tanya Abian pada Aluna.

Setelah acara pertunangan dan semua tamu telah pulang, keduanya menghabiskan waktu sejenak di taman belakang rumah Aluna. 

Menghabiskan waktu untuk saling mengungkapkan keterpaksaan dan benci atas keadaan ini.

Aluna tersenyum miring mendengar pertanyaan dari Abian. Ia menatap lelaki yang kini berdiri di depannya, sedangkan Aluna duduk di sebuah kursi taman di rumahnya. Abian harusnya tahu bahwa Aluna juga sama menolak dengan dirinya.

“Memangnya siapa yang menginginkan pernikahan tanpa cinta?” Aluna bertanya balik.

Abian mengangguk mengerti. 

“Lalu kenapa kamu malah terlihat santai hari ini. Seperti memang menyukai apa yang terjadi.”

Aluna menatap tajam pada Abian. Lelaki itu secara tak langsung telah mengatakan bahwa Aluna memang menyukainya. Seolah Aluna memang telah jatuh cinta padanya dan menikmati apa yang sedang terjadi.

“Lalu, aku harus apa?” tanya Aluna menekan kata-katanya. Jika Abian tahu apa yang harus dilakukan, kenapa tidak memberitahu lebih dulu sebelum pertunangan ini terjadi.

“Banyak hal yang bisa kamu lakukan. Selayaknya gadis yang tak menyukai perjodohan,” ucap Abian.

“Misal kabur dari rumah.” Abian mendekatkan diri pada wajah Aluna yang mendongak, karena sedari tadi Abian hanya berdiri dan mondar mandir di depannya.

Dari jarak yang sedekat itu, Aluna bisa mencium harum tubuh lelaki itu, membuatnya merasa nyaman dan terlena. Ada sedikit getaran dalam dada Aluna ketika wajah itu mendekat dan menatapnya. Namun, seketika Aluna membuang jauh-jauh rasa itu. Ia sedang dalam situasi disudutkan oleh Abian, gila rasanya jika ia malah memikirkan tentang degup di dalam dadanya.

Pikiran Aluna kembali normal, Abian menarik wajahnya dan duduk di samping Aluna.

“Kabur dari rumah? Bagaimana denganmu?” Aluna bertanya balik. Ia menilai Abian terlalu gampang menyuruh orang lain mengambil keputusan demi dirinya.

“Kenapa bukan kamu saja yang kabur dari rumah. Kamu punya banyak hal untuk tinggal di luar. Punya uang, rumah dan banyak hal. Kenapa harus aku?” cecar Aluna tak ingin disudutkan.

“Kamu takut?” tanya Aluna balik menyudutkan.

Abian hanya diam. Merasa apa yang dikatakan Aluna benar. Ia takut, banyak hal yang ia takuti dalam hidupnya, hingga ia tak bisa membuat keputusannya sendiri.

“Kenapa diam?” tanya Aluna.

“Egois kamu,” tambahnya.

“Ya, aku takut.” Abian berkata lemah. Lemah dan setengah menyerah membenarkan ucapan Aluna.

“Aku takut mama sakit. Aku tak siap kehilangan dia.”

Abian mengungkapkan alasannya. Kemarin saat Abian memutuskan untuk menyetujui pernikahannya dengan Aluna, ibunya tersenyum lega. Seolah memang masalah akan selesai dengan Abian menikah.

“Jika kamu berpikir untuk melindungi orang-orang yang kamu sayang dalam kejadian ini, aku juga sama.” Aluna berkata.

“Tapi kamu bisa Aluna.” 

“Bisa apa?”

“Kabur dari rumah. Aku bisa jamin hidupmu.” Abian kembali berkata dengan gampangnya.

Aluna merasakan sakit saat mendengar Abian kembali dengan mudahnya mengatakan itu. Hingga tangan itu terpaksa menampar wajah tak tahu diri Abian, agar membuat ia sadar atas perkataannya.

Abian memegang pipinya yang terasa sedikit berdenyut. Ia tersenyum sinis atas apa yang baru saja dilakukan Aluna untuknya. Seumur hidup, itu pertama kali Abian mendapatkan tamparan dari seorang perempuan, dari Aluna, calon istri yang tak ia cintai.

“Aku bertanya-tanya, kenapa sulit sekali menemukan pelakunya. Atau memang jangan-jangan kamu yang merencanakan semuanya.” Abian menuduh.

Aluna bangkit dari duduknya, setetes air mata meluncur dari sudut matanya. Pertama kali seumur hidupnya, ada lelaki yang memandangnya serendah itu. Menuduh Aluna yang merancang semua kejadian itu sama saja seperti mengatakan bahwa dirinya memang serendah itu. Merendahkan harga diri hanya demi sebuah pernikahan dengan lelaki yang digilai oleh banyak wanita.

“Aku memang sedikit nakal, bukan gadis yang baik. Aku akui itu, tapi kehormatan adalah hal yang paling berharga dalam diriku. Jangan hanya karena hatimu menolak atas takdir ini, lalu kamu bisa merendahkanku seperti yang kamu mau.”

Dada Aluna terasa sesak. Ia tak menyangka Abian bisa menuduhnya seburuk itu. Seolah kesucian adalah permainan dalam hidup Aluna.

“Sekali lagi kamu merendahkanku, akan kupatahkan rahangmu.”

Aluna berlalu dari hadapan Abian. Meninggalkan lelaki itu seorang diri di bangku taman.

“Aku sudah punya kekasih. Aku punya wanita lain di hati ini.” Abian berucap setengah berteriak agar Aluna bisa mendengarnya.

Aluna berbalik saat mendengar pengakuan Abian. Rasa sakit itu kembali hadir dalam hatinya. Rasa yang seolah tengah mengatakan bahwa pernikahannya tidak akan baik-baik saja. Entah sampai kapan.

Aluna kembali menghadap Abian yang masih menunggu responnya tentang pengakuan itu.

“Persetan dengan itu!” ucap Aluna, lalu kembali membalikkan langkah.

*

Alunan musik pop mengalun di telinga begitu Aluna membuka pintu cafe. Terlihat di sebuah meja seorang lelaki sedang menikmati secangkir kopi, lalu tersenyum saat melihat Aluna masuk dan berjalan ke arahnya.

“Udah lama ya? Maaf telat.” Aluna menarik salah satu kursi dan duduk di depan Hafiz.

“Baru aja kopinya datang.” Hafiz menjawab seraya tersenyum pada gadis di depannya. Senyum yang membuat separuh hati Aluna tercuri.

Aluna menyukai banyak hal dari lelaki itu. Cara ia berbicara, cara ia menghargai seorang perempuan. Selebihnya Aluna amat menyukai senyumnya. Hafiz terlihat manis, dengan kulit yang tak seputih dirinya. 

“Pesan minum dulu,” ucap Hafiz pada Aluna.

Aluna mengangguk, lalu memanggil salah satu pelayan cafe dan menyebutkan nama minuman yang ia pesan.

“Cokelat hangat.”

Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah ke mini bar dan menyiapkan minuman pelanggannya.

Beberapa menit kemudian, secangkir cokelat hangat diletakkan di depan Aluna. 

Hafiz kembali meneguk kopi di cangkirnya. Keduanya terlihat canggung tak seperti biasa. Bukan karena mereka baru bertemu, tapi karena ada perasaan gundah dalam diri masing-masing. Aluna merasa bersalah karena seolah telah mempermainkan perasaan Hafiz, sedangkan Hafiz sendiri merasa pertemuannya dengan Aluna kali ini bukanlah karena kabar baik seperti biasa.

Hafiz mengerti, dan ia akan selalu siap dengan keadaan itu. Meski sadar akan hatinya yang terluka.

Aluna memutar permukaan cangkir dengan jari telunjuknya, tak tahu harus memulai dari mana untuk berbicara terus terang. Ia tak bisa memilih kalimat yang sekiranya tak menyakiti hati Hafiz.

“Ada apa, Luna?” tanya Hafiz melihat keraguan yang ditunjukkan Aluna.

Aluna menunduk, setetes air meluncur bebas dari sudut mata indah itu. 

Setetes.

Dua tetes. Hingga membuat bahu itu terguncang dalam keadaan menunduk. Bahkan saat ini Aluna bersyukur memiliki rambut panjang, karena saat ia menunduk, rambut itu terurai bisa menutup wajah sedihnya di depan Hafiz.

Hafiz menarik kursi agar dekat dengan Aluna. Dipegangnya pundak lemah itu untuk dibenamkan dalam dadanya. Ia menyentuh kepala Aluna, membelai rambut panjangnya agar gadis itu merasa tenang.

“Mana Aluna kuat yang pernah aku kenal?” tanya Hafiz lirih.

Aluna semakin terisak mendengar itu. Ia tumpahkan tangisnya di dalam dada bidang itu. Membiarkan telinganya mendengar detak jantung yang di dalamnya tertulis nama Aluna. Namun, dengan terpaksa Aluna harus menghapusnya.

Beberapa menit Aluna menangis, hingga ia menarik diri dari dalam pelukan Hafiz. Sadar bahwa dirinya hanya menyakiti lelaki itu, tak pantas baginya mendapat pelukan senyaman itu dari Hafiz.

“Aku akan menikah, Hafiz.” Aluna berucap sambil kembali menunduk.

Hafiz memejamkan mata. Menyesap setiap sakit yang sesungguhnya telah ia perkirakan sejak semula. Mencintai seorang gadis yang ia tahu tak akan mendapat restu, tak akan pernah setara, hanya menunda hati untuk terluka. Hafiz telah lama membayangkan itu, hanya saja ia selalu menunggu waktu. Bermain-main dengan waktu dan mengulur rasa sakit itu.

“Maaf,” ucap Aluna sendu.

Keduanya sejenak saling menatap. Hafiz melihat bola mata Aluna yang bercahaya karena air mata. Sedangkan Aluna melihat mata hitam lelaki itu sedang berpura-pura untuk tegar.

“Maaf, Hafiz.” Aluna berkata lagi.

Hafiz menggeleng, lalu tersenyum.

“Kamu nggak salah. Salahku yang telah jatuh cinta.” Hafiz mati-matian menahan suara itu agar tak bergetar.

“Aku selalu membayangkan tentang hari ini. Hari di mana perpisahan benar-benar terjadi. Aku akan coba untuk siap.”

Mendengar penuturan Hafiz, Aluna kembali meneteskan air mata. 

“Cinta tak harus memiliki,” ucap Hafiz. Ia tersenyum mengejek dirinya sendiri dalam rintih pedih dalam hati. Sesungguhnya kalimat yang tadi ia katakan hanya bercerita tentang kelemahannya yang tak bisa memiliki, padahal ia ingin.

“Aluna,” panggil Hafiz.

Aluna mendongak. Hafiz menarik tangan itu, menggenggam tangan lembut milik Aluna, lalu sejenak mengecupnya sebagai tanda perpisahan.

“Aku doakan yang terbaik untukmu.”

Hafiz pergi setelah mengatakan itu. Pergi dengan hati yang patah. Hingga seiring langkahnya, terdengar lagu milik Judika yang membuat hatinya kembali tersayat.

Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja

Terus mengingatmu, memikirkanmu, semua tentang dirimu.

Lagu yang mengiringi langkah Hafiz, hingga keluar dari cafe. Meninggalkan Aluna yang dari jendela kaca masih bisa ia lihat. Aluna kembali menunduk, ia menangis.

❤️❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status