Share

7. Gagal

PERJANJIAN DUA AKAD

PART 7

🍁🍁🍁

Abian tak bisa membuktikan bahwa ia dan Aluna dijebak dalam sebuah kamar di hotel. Ia tak bisa membawa sang pelaku dalam kurun waktu satu kali dua puluh empat jam. Lelaki itu membanting ponselnya ke atas kasur, setelah beberapa menit lalu menerima panggilan dari utusannya yang ditugaskan untuk mencari tahu tentang kejadian malam itu.

“Terlalu banyak orang di klub malam itu, Pak. Tidak ada yang merasa melihat orang mencurigakan.”

Lelaki suruhan Abian memberitahu. Ia datang ke klub di mana Abian dan Aluna sempat menikmati malam mereka. Tidak ada yang bisa bersaksi atas kejadian itu. Malam itu klub terlalu ramai, dan tidak ada yang tahu mereka datang dari mana saja. Karena layaknya sebuah klub bebas didatangi oleh siapa saja.

Abian benar-benar menyesal karena datang ke klub malam itu. Seharusnya kejadian itu tak terjadi andai saja ia tak mengabaikan nasihat seseorang. Seseorang yang begitu spesial dalam hidupnya.

“Berjanjilah untuk tidak mabuk lagi, untuk tidak ke klub lagi.”

Bahkan saat itu Abian menautkan jari kelingkingnya bersama seseorang, tapi dengan mudah ia mengingkarinya.

“Maaf,” desis Abian seorang diri. 

Sulit mendeteksi orang tak dikenal dalam kerumunan banyak seperti itu. Ini bukan seperti film action atau drama di televisi, yang setiap penjahat akan mudah terdeteksi dan bisa ditemukan. Apalagi Abian tidak melibatkan polisi dalam hal ini, karena ia menganggap masalah ini terlalu privasi.

Di klub dan hotel, sama-sama tak bisa memberikan informasi yang melegakan.

Seperti keputusan yang telah diajukan oleh ayahnya, Abian harus menikahi Aluna untuk berjaga-jaga jika suatu saat gambar-gambar itu akan menyebar di sosial media. Abian, Aluna atau orangtua keduanya tak ada yang bisa menghapus jejak itu, melainkan hanya bisa memutar fakta dan keadaan.

Dengan wajah gusar, Abian berjalan ke ruang kerja Haris. Lelaki itu ingin berbicara dari hati ke hati sebagai seorang lelaki. Pun, keputusan itu sangat bertolak dengan prinsip hidupnya selama ini.

Pintu diketuk oleh Abian, biasanya setiap malam Haris akan menghabiskan waktunya di ruang kerja sebelum ia beristirahat di malam hari.

“Masuk,” ucap Haris dari dalam.

Abian masuk dan melihat ayahnya sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Haris langsung memutuskan sambungan telepon saat Abian telah duduk di sebuah sofa dekat dinding yang menghadap halaman belakang rumah. Haris selalu menutup gordennya saat akan keluar dari ruangan hingga cahaya bulan dan bintang masih bisa terlihat dari jendela kaca.

“Beri aku waktu lebih banyak lagi, Pa. Aku akan bersihkan sampah itu, atau orangnya sekalian.” Abian berkata menatap ayahnya yang kini duduk di sampingnya.

“Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan pelakunya?” tanya sang ayah mendengar Abian berkata seperti itu.

“Ada dua pilihan. Kematian yang cepat, atau kematian yang sedikit lambat.” Haris menatap putranya dengan wajah ngeri. Pertama kali ia mendengar Abian berbicara tentang nyawa seseorang. Itu artinya, ia benar-benar marah atas kesalahan yang tidak dilakukannya.

“Apa pun itu, keputusan tetaplah keputusan.” Haris mengingatkan.

“Beri aku waktu, Pa.”

“Papa sudah berbicara dengan orangtua Aluna. Kita harus cepat, lebih cepat dari kemungkinan tersebarnya gambar-gambar itu.”

“Pa,” Abian mengiba. Sungguh hatinya menolak untuk menikah dengan Aluna. Ia tak bisa menjalankan pernikahan yang ia inginkan sekali dalam seumur hidup itu tanpa rasa cinta. Abian atau pun Aluna akan sama-sama tersiksa.

“Apa yang kamu ragukan, Abi?” tanya Haris.

“Aluna cantik, berpendidikan, ia juga berasal dari keluarga yang baik.” Haris menambahkan.

“Tidak semua wanita cantik itu bisa memikat, Pa.” Haris tertawa mendengar jawaban putranya.

“Kamu belum kenal Aluna. Kamu hanya belum sering bersamanya. Aluna gadis yang baik.” 

“Keluarga yang baik?” Abian sedikit tertawa dengan nada sinis.

“Maksudnya keluarganya bisa diajak untuk memperluas bisnis, begitu, kan?” Abian memperjelas. Ia tahu betul jika ayahnya dan orangtua Aluna sama gilanya dengan bisnis. Meskipun Abian sendiri terjun dalam dunia bisnis, tapi ia tak bisa mengorbankan hatinya hanya demi tumpukan aset, properti dan harta.

Haris menepuk pundak putra satu-satunya. Penilaian Abian terdengar menyakitkan, tapi lelaki itu tahu jika Abian saat ini sedang merasakan gejolak dalam hatinya.

“Minggu depan pernikahan akan dilangsungkan.”

Setelah mengatakan itu, Haris berlalu dari hadapan Abian. Meninggalkan lelaki itu dengan sejuta kesakitan dalam hatinya.

“Aku hanya meminta mengulur waktu, Pa. Waktu yang seharusnya bisa diberikan oleh seorang lelaki yang ingin melindungi anaknya.”

Haris yang sudah sampai di depan pintu, berbalik saat mendengar Abian mengatakan itu.

“Aku harus melindungi banyak orang, Abi. Tidak hanya kamu, tapi mama kamu juga.”

Abian mengerutkan keningnya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Haris.

“Apa mama udah tau?” tanya Abian pada ayahnya. Terlihat raut wajah khawatir Abian.

Haris mengangguk. Ia tahu Abian sangat menyayangi ibunya, ia tentu tak akan tega melihat ibunya sakit jika gambar-gambar itu menyebar ke seluruh penjuru.

Abian menghela napas dengan kasar, ia mengusap rambutnya ke belakang. Lelaki itu terlihat begitu frustasi.

“Dari tadi pagi, mama tiduran di kamar. Seperti biasa, syok saat dengar berita buruk.” ucap Haris seolah telah begitu lumrah dengan kondisi istrinya.

Pagi, Diana berjalan ke dapur, ingin mengambil minum. Tiba-tiba ia mendengar para pekerjanya sedang membicarakan sesuatu. Setiap pagi, para pekerja akan sarapan di dapur, tentu setelah majikannya sarapan. Diana coba untuk menguping pembicaraan mereka, dan seketika membuat napasnya tercekat, sesak dadanya.

Wanita paruh baya itu memegang dadanya yang terasa sakit. Awalnya ia hanya menderita sesak, tapi belakangan ini ia juga mengalami penyakit jantung. Sebab itu, Haris selalu menjaga apa pun yang menyebabkan penyakit istrinya kambuh. Karena Haris tak sanggup melihat Diana terbaring sakit, atau bahkan meninggal. Haris tak sanggup atas sebuah situasi yang bernama kehilangan.

Suara pecahan gelas membuat para pekerja itu saling menatap. Lalu mereka berjalan ke sumber suara, hingga melihat majikan perempuannya tergeletak dengan mata terpejam.

Semua yang ada di situ terlihat panik. Hartono, yang merupakan seorang satpam di rumah itu terlihat paling cemas. Ia tiba-tiba menyesal telah bercerita pada teman-teman pekerjanya. Bahkan ia menyesal telah membuka amplop itu tadi pagi. Ia menyesal pada rasa penasarannya, karena saat ia ambil amplop itu setengah terbuka hingga memperlihatkan gambar itu. 

Hartono menyesal, ditambah ketakutan yang tiba-tiba singgah dalam pikirannya. Ia takut harus dipecat dari rumah itu, dan kembali ke kampung, kembali ke nasib buruknya.

Salah satu dari mereka segera menghubungi Haris, mengabarkan tentang istrinya yang terjatuh di ruang dekat dapur.

“Jangan kasih tau Abian.” Haris berkata pada salah satu pekerja yang meneleponnya. Ia sendiri baru saja keluar dari ruangan Abian dan ingin menuju ruang kerjanya. Namun, langkahnya segera berputar arah menuju lift dan turun ke lobi.

Haris sengaja tidak memberitahu Abian, agar tak menambah beban pikirannya. Pun, ia tak sanggup jika Diana bertanya pada Abian dan membuat keadaannya semakin buruk, itu sama saja seperti tengah mengulang-ulang beban yang sama.

“Jika kamu merasa tidak dilindungi, itu salah. Kamu yang harusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri.”

Haris benar-benar pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan Abian dengan banyak perenungan. Abian tak menyusul ayahnya untuk melihat sang ibu. Ia membiarkan wanita itu beristirahat dengan tenang, karena sepertinya kondisinya sudah jauh lebih baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status