Share

6. Ancaman sang Papa

JANJI DUA AKAD

PART 6

 

🍁🍁🍁

 

Abian dan Aluna telah membuat kesepakatan tentang perubahan tubuh Aluna. Perempuan itu akan mengabarkan apa saja yang terjadi setelah malam itu. Tepatnya jika Aluna hamil atau tidak, karena itu cukup membuktikan bahwa mereka memang tidak melakukan apa pun dan murni dijebak.

 

 

Seminggu kemudian, Aluna baru bisa bernapas lega saat ia mendapat tamu bulanan seperti biasanya. Aluna tak mengalami tanda-tanda kehamilan. Ia juga membeli beberapa test pack untuk mengecek kehamilan, tapi tidak ada garis yang berubah dari sana.

 

 

Aluna benar-benar bisa tersenyum saat melihat benda itu di tangannya. Itu artinya ia tak kehilangan segalanya dan akan berakhir dengan masa depan yang suram.

 

 

“Aku baru saja dapat tamu bulanan. Aku nggak hamil.”

 

 

Aluna segera menghubungi Abian, agar lelaki itu tahu berita penting tentang ini. Tak bisa disembunyikan, keduanya benar-benar merasa lega dengan kenyataan yang mereka dapat. Tersenyum karena tak akan terpaksa harus menikah karena tragedi itu.

 

 

“Aku belum ketemu siapa pelakunya. Tapi, akan kupastikan dia menyesali perbuatannya.” Abian berkata dengan tegas melalui sambungan teleponnya.

 

 

“Iya.”

 

 

Setelah menjawab singkat, Aluna mematikan sambungan telepon. Lalu, kembali memikirkan cara untuk membawa Hafiz pada orangtuanya. Aluna meringis sendiri saat pikiran buruk itu menghantui, pikiran buruk tentang kemungkinan yang terjadi pada Hafiz jika ia bertemu ayahnya.

 

 

Farhan akan berkata dingin dan membandingkan dirinya dengan Abian atau anak-anak rekan bisnis lainnya. Lelaki itu akan membuat persyaratan menikah yang tak akan disanggupi oleh Hafiz, atau lebih buruk dari itu, hal yang tak dapat ditebak oleh Aluna sendiri.

 

 

Namun, di tengah membayangkan pikiran buruk itu, pikiran Aluna yang tengah kalut itu seperti dihembus oleh tiupan angin yang membelai di tengah panasnya hati, ketika ia membayangkan bagaimana Abian memeluk dirinya saat ia berteriak histeris dan menyerangnya. Abian menenangkan dengan pelukannya, yang entah mengapa membuat Aluna selalu terbayang-bayang.

 

 

Bayangan yang tiba-tiba membuat Aluna tersenyum sendiri. Seolah kehangatan itu masih tertinggal dalam peluknya. Aluna memukul kepalanya sendiri agar bayangan itu keluar dari pikirannya. Itu pikiran gila yang pernah ada dalam kepalanya.

 

 

Tiba-tiba Aluna mendengar pintu kamar diketuk. Ia beralih dari ranjang dan hendak membukanya. Terlihat Farhan berdiri di depan pintu dengan raut wajah tak tertebak seperti biasa.

 

 

“Turun ke bawah sebentar, papa mau bicara.” Farhan berkata, lalu kembali menuruni tangga dan menunggu Aluna turun untuk duduk di sofa bersamanya.

 

 

Aluna ikut turun mengikuti ayahnya, lalu duduk di salah satu sofa berhadapan dengan sang ayah.

 

 

Jantung Aluna terasa dipompa begitu cepat, ia seolah bisa merasakan ada hal buruk yang sedang terjadi. Namun, ia tak bisa menebak apa, karena saat ayahnya sedang seperti itu serupa teka-teki yang susah sekali ditebak.

 

Farhan melempar sebuah amplop cokelat yang terbuka, hingga keluarlah beberapa gambar yang membuat mata Aluna membulat sempurna.

 

 

“What a nonsense, Pa?” tanya Aluna dengan segala ketakutannya.

 

 

“Kamu yang harusnya jelaskan, Luna?”

 

 

Aluna mengambil satu persatu gambar itu. Tak bisa dipungkiri bahwa itu memang dirinya. Dirinya yang sedang tertidur dengan seorang lelaki tanpa hubungan pernikahan.

 

 

“Bukankah kamu menolak untuk menikah dengan Abian? Lalu menjajakan diri seperti ini?” Farhan berkata dengan suara meninggi. Ia tak tahu apa yang akan terjadi pada keluarganya jika gambar-gambar itu tersebar keluar.

 

 

“Pa, ini salah paham.”

 

 

*

 

 

“Pak Abian ada di ruang?” Haris bertanya pada sekretaris putranya.

 

 

Ruang sekretaris berada satu atap dengan ruang Abian, tapi terpisah karena memiliki pintu lain untuk mengakses ruang direktur muda itu.

 

 

“Ada, Tuan. Baru saja selesai meeting.”Perempuan berusia hampir sebaya dengan Abian itu menjawab. Kemudian ia menekan interkom untuk memberitahu pada Abian bahwa di luar ada ayahnya yang sedang menunggu.

 

 

“Silakan masuk, Tuan.” Sekretaris Abian mempersilakan atasannya untuk masuk. Haris sebenarnya tak perlu izin siapa pun untuk keluar masuk ke ruangan mana pun. Namun, sebagai atasan ia harus menunjukkan aturan yang benar dan contoh yang baik untuk bawahannya.

 

 

Haris masuk setelah pintu itu terbuka. Di dalam, ia melihat Abian tengah sibuk di depan komputernya. Saat melihat ayahnya masuk, Abian langsung mengalihkan fokus pada ayahnya.

 

 

“Ada apa, Pa?” tanya Abian setelah mempersilakan ayahnya untuk duduk.

 

Haris menatap Abian dengan tatapan tajam, membuat Abian merasa terintimidasi dan bertanya apa yang sedang terjadi hingga membuat ayahnya terlihat marah.

 

 

Haris mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Ia meletakkan amplop cokelat itu di meja Abian, membuat lelaki itu menatap dengan heran.

 

 

“Apa ini?”

 

 

“Kalau kamu bertanya, apa gunanya aku letakkan di depanmu?”

 

 

Abian mengerti isyarat lelaki paruh baya itu, ia segera membuka amplop itu dan melihat isinya. Seketika Abian mengepalkan tangan dengan rahang yang mengetat saat melihat isi dari amplop itu.

 

 

“Tidak ada nama pengirimnya, Tuan.” Lelaki yang telah bekerja sebagai satpam di rumah Haris berkata.

 

 

Haris menatapnya, merasa aneh dengan amplop di tangannya. “Siapa yang antar?”

 

 

“Saya tidak melihatnya, Tuan. Saya buka pintu, amplop itu sudah ada di luar pagar.”

 

 

“Segera periksa CCTV bagian luar rumah.” Setelah mengatakan itu, Haris pergi dari hadapan satpam itu.Gambar yang dibagikan untuk Aluna, Abian juga mendapatkannya. Pagi tadi, Haris ingin berangkat ke kantor, tapi ia dipanggil satpam dan menyerahkan sesuatu itu. 

 

Ia merasa tak ada janji menerima barang atau berkas dari siapa pun, tentu jika itu menyangkut urusan perusahaan akan dikirim ke kantor melalui sekretarisnya. Karena buru-buru, Haris tak melihat isi amplop itu di rumah, tapi ia langsung masuk ke mobil dan membukanya di dalam sana.

 

 

Haris melebarkan matanya dengan detak jantung yang kian kuat, saat melihat gambar Abian dan Aluna sedang tidur berdua di sebuah ranjang. Ia melihat view ruangan itu seperti kamar hotel. Cepat Haris kembali memasukkan gambar-gambar itu ke dalam amplopnya. Ia merasa harus segara meminta penjelasan Abian tentang gambar-gambar itu.

 

 

“Ini fitnah, Pa. Aku sama Aluna dijebak.” Abian membela diri. Ia memang dijebak oleh orang entah siapa, tapi saat ini ia belum memiliki bukti untuk membawa orang itu ke hadapannya.

 

 

Setelah hari itu, Abian kembali ke hotel dan bertemu dengan resepsionis yang bertugas pada malam ia dan Aluna menginap di hotel. Dua wanita itu mengatakan bahwa Abian datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai temannya.

 

 

Wanita itu tak tahu siapa, ia hanya mengatakan bahwa lelaki itu mengenakan hoodie berwarna hitam dan jeans, wajahnya tidak bisa diingat dengan jelas. Hanya kulitnya berwarna putih.

 

 

Abian juga meminta pihak keamanan untuk memperlihatkan rekaman CCTV malam itu, tapi sepertinya pelaku lebih licik dari yang dipikirkan, beberapa kamera CCTV sepertinya sengaja dilumpuhkan fungsinya.

 

 

“Bukankah kamu menolak papa jodohkan dengan Aluna?”

 

 

Abian mengangguk. Ia memang tak ingin dijodohkan dengan Aluna. Bagi Abian, tak ada siapapun yang berhak memaksanya atas hati.

 

 

“Papa nggak pernah ngajarin kamu untuk merusak harga diri perempuan, Abi.”

 

 

“Tapi kami memang dijebak, Pa. Aku sama Aluna nggak melakukan apa pun malam itu. Bahkan kemarin Aluna mengatakan dia datang bulan seperti biasa, tidak ada yang terjadi, Pa.”

 

 

“Papa boleh saja percaya kamu dijebak, tapi tidak dengan orang lain, Abi.”

 

 

Abian diam. Ia mulai mengerti ke mana arah pembicaraan ayahnya. Bukan tak mungkin jika pelaku itu menyebarkan gambar-gambar fitnah itu pada orang lain, atau mungkin sosial media, hingga membuat nama keluarga Rajendra berakhir dengan miris dan tragis.

 

“Bersihkan sampah itu dalam satu kali dua puluh empat jam, atau kamu harus ikuti keputusan papa.” Haris berkata penuh penekanan agar Abian mengerti.

 

 

“Keputusan apa, Pa?”

 

 

“Menikahi Aluna tanpa tapi.”

 

 

 

💔💔💔

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status