"Ada perlu apa kamu ke sini?" Suara dingin Gyan terdengar. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Amanda bisa senekat ini datang ke kantornya. Wanita itu tersenyum lalu berjalan melewati Resta untuk mendekati Gyan. "Ngajakin kamu lunch." Gyan tidak menjawab. Tatapnya bersirobok dengan tatap Resta. Wanita itu masih berdiri di tengah ruangan memperhatikan Amanda. "Aku nggak bisa." "Yaaah, kenapa?" Amanda tampak kecewa sampai alisnya yang melintang itu mengeriting. "Hanya makan siang. Masa nggak mau nemenin?" "I have a meeting." "Memang nggak bisa ditunda? Setelah makan siang. Iya kan Resta?" Amanda menoleh ke belakang meminta pendapat asisten Gyan. Dan itu membuat wanita asal Semarang itu terkesiap dan refleks menatap Gyan dengan bingung. Kode Gyan membuatnya lekas paham. "Iya, Miss. Sebentar lagi Pak Gyan ada meeting penting. Mungkin Miss Amanda bisa reschedule lain kali.""Aku kan udah datang ke sini, masa nggak bisa pending meeting itu bar—" "Nggak ada yang minta kamu datang k
Gyan memandang tak percaya wanita di depannya. Resta benar-benar mengajaknya bercanda. Pasca kejadian Amanda datang ke kantor, sikap wanita itu agak lain. Tiap kali Gyan ingin bermesraan, Resta terlihat enggan. Malah terkesan menghindar. Wanita itu juga terlihat lebih kaku, dan sering menolak permintaan Gyan untuk menginap di apartemen. Awalnya Gyan memaklumi, tapi lama-lama bikin pria itu kesal juga. Terlebih dengan apa yang Resta beri tahu sekarang. Bisa-bisanya wanita itu membuatkannya janji makan siang bersama Amanda. "Aku nggak mau," tolak Gyan membuang muka. "Please, Gy. Satu kali iniii aja." Gyan makin kesal melihat Resta memohon-mohon seperti itu demi wanita yang mungkin bisa merebut kekasihnya. Benar-benar tidak habis mengerti. "Sekali nggak ya, nggak!""Gy...." Resta menunjukkan wajah sedihnya. "Kamu nggak mau menolongku? Tiap hari aku diteror sama dia perkara makan siang ini." "Makanya jangan asal memberi janji." "Iya, aku minta maaf. Lain kali nggak begitu. Tapi kal
Gyan medongak ketika pintu ruangannya dibuka dari luar. Mulutnya yang rapat terbuka saat melihat asistennya masuk. Hampir saja omelannya meluncur ketika dia menyadari wajah Resta yang terlihat muram. "Kamu dari mana saja?" tanya Gyan. "Maaf, Pak. Tadi saya bertemu Joana." Hanya sebentar, Resta lantas segera kembali ke mejanya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Gyan. Dia langsung membuka laptop kembali. "Lain kali kalau mau pergi, tolong bilang dulu. Jadi aku nggak bingung nyari kamu." "Iya, maaf." Dari meja kerjanya Gyan mengawasi wanita itu yang terlihat lain sejak makan siang. Gyan sadar Resta mendiamkannya. Sudah dia duga makan siang bersama Amanda itu bukan ide yang bagus, tapi wanita itu terus memaksanya. Gyan mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja sambil terus mengawasi Resta yang terlihat sibuk. "Aku punya salah?" tanyanya kemudian. "Nggak," sahut Resta singkat tanpa melepas pandangan dari layar laptop. "Tapi kamu sama sekali nggak menatapku. Sudah aku bilang kan makan s
"Weekend boleh izin nggak kerja?" tanya Resta sembari memainkan dasi Gyan. Saat ini dirinya sedang ada di pangkuan pria itu. Sedikit bermanja di jam kantor yang tidak terlalu sibuk. "Mau ke mana?" tanya Gyan dengan suara agak serak. Tahukah wanita itu dia sedang menahan untuk tidak menerkamnya? "Orang tua Joana mau anniversary pernikahan. Joana minta aku menemaninya beli sesuatu. Kado." Gyan mengangguk-angguk. Dikecupnya bibir Resta singkat. "Boleh. Mau aku temani?" Kepala Resta menggeleng agresif. "Nggak usah. Aku mau nginep di rumahnya." "Mau aku anterin?" "Nggak usah juga. Kan Joana bawa mobil." "Hm, kalau nggak ada kamu aku ke mana ya?" tanya Gyan dengan mata sendunya yang terus memperhatikan wanita itu. "Bukannya kamu mau dimasakin Miss Amanda weekend ini?" sindir Resta seraya melempar pandang ke arah lain. Sudut bibirnya berkedut, menunjukkan tampang tak suka. Pria yang menahan bobot tubuhnya itu terkekeh. "Kamu anggap serius ucapan dia?" "Ciye yang mau dimasakin makana
Sudah dari satu jam lalu telepon Resta berakhir. Wanita itu bilang sudah bersama Joana dan akan pulang besok siang. Weekend tanpa Resta itu membosankan. Tidak ada pekerjaan urgent di kantor juga yang mengharuskan Gyan berangkat. Jadi, pagi ini setelah jogging dan sarapan sedikit, dia melanjutkan kegiatan berenang. Gyan melakukan beberapa kali putaran sebelum bergerak keluar dari kolam renang apartemennya. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Padahal biasanya penghuni apartemen banyak menghabiskan waktu weekend di sini. Gyan menyambar handuk kering dan memutuskan mengakhiri kegiatan berenang ketika mendapat pesan dari Daniel. Pria tua itu memintanya makan siang di rumah. Sebenarnya Gyan masih malas bertemu papinya, tapi kemudian voice note dari Ola membuatnya berubah pikiran. Tepat ketika dia bergerak menuju lift hendak kembali ke unit, ponselnya berdering menampilkan nomor Marsel. Malas-malasan pria bermata biru itu mengangkat panggilan tersebut. "Ada apa?" tanya Gyan tanpa basa-b
Kehadiran Resta disambut hangat oleh keluarga Joana seperti biasa. Wanita itu bahkan sudah dianggap anak sendiri oleh Alfa dan Syilla, orang tua Joana. Di masa perkuliahan, Resta banyak membantu Joana, pun sebaliknya. Tidak heran keduanya bisa lengket satu sama lain. Seperti tak terpisahkan. Bahkan urusan mencari kerja pun mereka bersama. Padahal jika dipikir-pikir Joana tidak perlu repot atau pusing mencari kerja lantaran kedua orang tuanya pengusaha. Dia bebas memilih jabatan di perusahaan orang tua mereka. Namun, wanita itu kekeh memilih mengikuti jejak kakaknya untuk mencari pengalaman di luar perusahaan keluarga."Happy anniversary, Tante, Om," ucap Resta yang langsung dihujani ucapan terima kasih oleh sepasang suami istri di depannya. "Kalian nginep kan nanti?" tanya Syilla, mamanya Joana. Wanita yang selalu menempel dengan suaminya itu. "Rencananya sih gitu, Ma," sahut Joana. "Kak Aaron belum sampai?" Syilla mengangkat bahu. Wajahnya berubah masam. "Nggak tau deh, Jo. Kakak
Saat memasuki restoran hotel yang masih milik keluarga Joana, Resta mengernyit heran. Wanita itu sedikit menarik lengan Joana untuk sekedar mengonfirmasi bahwa ini cuma perayaan keluarga. Karena yang Resta lihat sekarang malah banyaknya orang yang memberi selamat pada orang tua Joana. "Lo bilang ini cuma makan malam keluarga," bisik Resta bingung. Keluarga yang ada di pikiran Resta itu hanya terdiri dari Om Alfa, Tante Syilla, Kak Aaron, Joana, dan dirinya yang merupakan orang luar. Ya, dia pikir hanya mereka berlima saja yang akan makan malam bersama. Joana terkekeh. "Iya itu memang keluarga gue semua. Para Om dan Tante gue, sepupu-sepupu gue dan jelas eyang sama kakung gue."Resta tak habis pikir lagi dan cuma bisa mengurut pangkal hidungnya sendiri. Saat Joana menarik tangannya dan membawanya duduk di salah satu meja bundar bergabung sama Aaron, dia menurut saja. "Ada apa?" tanya Aaron, yang duduk di sebelahnya melihat wajah kaku Resta. Joana sendiri malah pergi ke meja lain tem
Tarikan napas Resta terdengar panjang. Ini masih weekend tapi dia harus menghadapi ketantruman Gyan yang tidak beralasan. Cemburunya agak keterlaluan. Bukan hanya cemburu, lelaki itu juga tidak segan menuduh. Padahal yang Aaron lakukan belum ada apa-apanya dibanding si Amanda itu. "Dia kakaknya Joana, Gy." Resta membuang napas lelah. Duduk di pojokan sofa seperti terpidana. Sementara Gyan berdiri di depannya sambil berkacak pinggang berperan sebagai jaksa merangkap hakim. "Jadi ada hubungan apa kamu sama kakaknya Joana itu sampai kalian bisa rangkul-rangkulan?" Astaga! "Siapa yang rangkul-rangkulan?" Resta tampak tak terima. "Vino bilang laki-laki itu ngaku kalau kamu pacarnya." "Nggak ada yang ngomong begitu. Itu asumsi teman kamu dan lainnya." Mata Gyan menyipit. Masih menunjukkan raut tidak percaya yang begitu kental. Dua lengannya kini melipat di dada. "Terus kenapa kamu mau nginep? Bisa ajakan setelah acara langsung pulang?" "Karena Joana yang minta aku nginap." "Bukan k