Sera sontak mengalihkan pandangannya.
'Dia ... tidak boleh berbicara denganku.'Sera harus melakukan apa pun untuk membuat dirinya selamat dari pandangan tajam pria yang sudah menghancurkan dirinya itu. Sudah cukup penderitaan yang dia alami sampai saat ini. Dia tidak akan pernah menambah masalah. Semuanya akan dia tutup dengan rapat!Hanya saja, lamunan Sera teralihkan saat lelaki di sebelah suaminya mendadak mendekat."Kedua matanya indah sekali. Sangat bening, seperti air sungai mengalir. Bahkan, aku bisa melihat diriku seolah-olah berada di dalam kedua mata itu," ucap Willem, sahabat Anggoro dari Belanda.Mereka sudah berteman sejak Anggoro berkuliah di Negara kincir angin itu dan terus berlanjut. Willem bahkan sempat bekerja dua tahun di Indonesia untuk mempelajari bahasa sang sahabat dan membangun bisnis di sini."Belum pernah aku melihat ini pada wanita mana pun," lanjut lelaki itu tak mengalihkan pandangannya sama sekali.Sementara itu, Sera tampak bingung. Terlebih, Willem mengulurkan tangan mendadak padanya. “A–aku …”"Dia istri Mas Anggoro," sela Bima tiba-tiba, "sebagai sahabat, kau tidak boleh menyentuhnya, Willem."Dengan tak tahu malu, pria itu mendadak mendekat. Menyentuh telapak tangan kanan Sera.Hal ini membuat yang lain kebingungan. Ada apa antara para pria itu dan Sera?Menyadari tensi tinggi yang mendadak, Anggoro spontan menepis tangan Bima."Ya, dia istriku," ucap pria itu tegas sambil menatap kedua lelaki yang masih saja menatap Sera. Dirangkulnya pinggang Sera erat, seolah menunjukkan teritorinya."Bima, kembali ke tempat dudukmu," titahnya lagi dengan pandangan tajam.Namun, Bima malah terkekeh pelan sebelum duduk kembali di kursinya. Melihat itu, Anggoro mengepalkan tangan–emosi.Untungnya, Simbah menarik lengannya dan mengisyaratkan Anggoro agar mengendalikan diri.Jadi, suami Sera itu terpaksa menyunggingkan senyum, seolah semua baik-baik saja."Willem, kau akan datang di acara pelantikanku, ‘kan?" tanya Anggoro kemudian duduk dan meninggalkan istrinya yang masih berdiri kaku.Alih-alih menjawab, Willem justru menatap Sera. "Duduklah, Nyonya Sera. Kau terlihat sangat lelah," ucap pria tampan itu mengarahkan tangannya ke kursi sofa.Sera sontak melirik Anggoro yang hanya menatapnya tajam."Istriku, kemarilah," ucapnya lalu sembari menepuk sofa tepat di sebelahnya.Dengan gemetar, Sera melangkah pelan.Dia ketakutan pada sikap Anggoro yang cukup aneh.Terlebih, Bima masih saja memperhatikan dari jauh dan Willem menatapnya dengan pandangan sulit diartikan."Apakah kau malas membalas pertanyaanku?" Anggoro tersenyum ke arah Willem. Dia kali ini berbicara dengan bahasa Belanda dan membuat Willem tersadar dari lamunan."Istrimu sangat cantik dan kedua matanya itu sangat indah," balas Willem masih memandang Sera.Entah mengapa, Anggoro mengeraskan wajahnya. "Bersikaplah yang sopan, Willem," sinisnya."Kakak," sela Bima juga menggunakan bahasa Belanda karena pernah berkuliah di sana sebelumnya.Anggoro dan Willem sontak menatap bingung pria itu."Aku sepertinya mengenal istrimu ini. Apakah kau tidak melihat asal-usulnya?" lanjutnya.Mendengar itu, Sera sontak menegang. Dia khawatir Bima mengatakan macam-macam, bahkan membongkar perihal kesuciannya …."Siapapun istriku, tidak ada hubungannya denganmu," ucap Anggoro dengan pandangan dipenuhi amarah.Willem sontak berdiri dan mendekati Anggoro yang sudah memerah. "Hei, tenanglah. Dia memang sangat cantik. Itu sudah resikomu sebagai suaminya, tapi—""Berhenti!" teriak Sera dalam bahasa Belanda.Simbah yang akan melerai anaknya, bahkan mendadak terdiam, tak percaya.Bima bahkan melotot tajam. Selama ini, dia mengenal Sera sebagai gadis polos yang tidak memiliki keahlian apa pun."Aku istri Tuan Anggoro Wicaksono. Hargai aku, sebagai istrinya." Sera berbicara sambil menatap tajam Willem.Bukannya takut, pria Belanda itu malah tersenyum tanpa sungkan. Terlebih kala melihat Sera meninggalkan ruangan."Luar biasa. Dia bisa berbahasa Belanda dengan sempurna?" Willem masih menatap pintu yang dilewati Sera saat keluar ruangan.Dalam pikirannya, masih saja berisi sosok wanita yang pertama kali membuat konglomerat itu jatuh cinta."Anggoro, sepertinya kau tidak menyukai istrimu. Jika iya, berikan saja dia kepadaku," ucap Willem asal.PLAK!Anggoro yang sedari tadi diam, akhirnya melayangkan pukulan keras. Tubuh Willem seketika tersungkur ke lantai."Mulai sekarang, persahabatan kita berakhir! Tidak ada kerja sama apa pun!" teriak Anggoro kemudian keluar ruangan. Entah mengapa, dia merasa marah dengan tindakan sahabatnya itu pada Sera.Hal ini membuat Simbah mendekati Willem yang masih berada di lantai. "Jangan pernah merendahkan dirimu karena wanita, Willem," ucapnya, lalu meninggalkan ruangan bersama semua pelayan.Meski teman Anggoro ini bisa membawa peruntungan untuk bisnis mereka, tapi sikapnya sangat tidak sopan. Kali ini, Simbah setuju pada tindakan putranya dan Sera.Sementara itu, beberapa pasang mata masih menatap tajam semua drama yang berada di hadapan mereka.Ayah Bima yang biasa dipanggil Juragan Broto bahkan mendengar istrinya sedang menghubungi seseorang."Cari tahu istri Anggoro yang sepertinya Bima kenal. Aku ingin tahu siapa dia," ucap Ibu Bima dengan wajah muram saat menutup ponselnya.Di sisi lain, Sera menghentikan langkahnya. Karena emosi, dia tidak sadar jika berjalan tanpa arah, hingga menuju ke halaman belakang. "Apa yang aku lakukan? Aku seharusnya tidak berbuat itu. Tapi, Bima datang. Dia bisa membuatku dihabisi suamiku sendiri, jika tahu aku–” ucapnya terhenti saat seseorang menariknya dari belakang. Kedua mata Sera melotot tak percaya ketika Bima mendekapnya erat. Pria itu memang diam-diam keluar kala Anggoro tengah ribut dengan Willem melalui pintu samping."Hentikan Bima!" teriak Sera sembari mendorong kuat tubuh Bima. Namun, dia kalah kuat. Bima kembali mendekapnya erat. "Oh, jadi kau menolakku gara-gara akan menikahi kakakku yang lebih kaya. Dan ... ingin menjadi istri Bupati? Haha, tidak aku percaya. Ternyata kau ... licik juga." Bima semakin menarik Sera ke balik pohon yang cukup besar menutupi tubuh mereka berdua. Pria itu langsung mendekap kuat tubuh Sera dan mulai merayapi leher wanita itu dengan bibirnya."Hentikan Bima!" Sera meronta, ingi
Anggoro masih saja tidak percaya. Bagaimana mungkin, Satria akan meminta hal itu kepada wanita yang jelas-jelas sudah merusak masa depannya!"Satria! Dia yang menyebabkanmu lumpuh," ucapnya pelan dengan pandangan tajam."Hahaha," tawa Satria mendadak kencang, semakin mengejutkan Anggoro. Tawa itu terhenti ketika Sera kembali menatap dan menggelengkan kepala.Sera mengusap wajah anak itu dan semakin tersenyum. "Satria, kau anak yang sangat baik. Aku akan menemani ayahmu. Itu tanggung jawab seorang istri. Hmm, besok aku akan menemanimu seharian. Bagaimana?"Sera mencium kening Satria, seperti seorang Ibu pada anaknya.Dan … putranya itu tak memberontak?Melihat itu, Anggoro semakin tak percaya karena Sera berhasil “mengendalikan” Satria.Terlebih, kala melihat Satria kembali tertidur sembari tersenyum. Anggoro lantas meninggalkan kamar Satria begitu saja. Dia tak bisa berkata apa pun dengan drama mengejutkan barusan.Tentu saja, Sera mengikuti suaminya itu.Anehnya, Anggoro mendadak b
Sera terkejut akan tindakan Anggoro. Bagaimana bisa, lelaki yang sangat membencinya itu melakukan suatu hal yang bisa dikatakan, peduli?Keduanya sempat bertatapan beberapa detik, sebelum tatapan Anggoro berubah tajam. "Cepat! Waktumu hanya satu menit," lanjutnya.Sera sontak mengangguk. Tanpa berpikir lagi, dimasukkannya roti bulat berisi selai kacang ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya cepat. Hanya saja, dia tiba-tiba tersedak. “Uhuk!”"Apa kau tidak bisa memakan roti?" sela Anggoro sembari mengernyitkan kedua alisnya. Spontan Sera menghentikan giginya. "Ma–maafkan, saya," balas Sera sambil menepuk-nepuk dadanya."Jangan membuatku menunggu." Tanpa kata, Anggoro membuka pintu mobil dan keluar.Hanya saja, yang membuat Sera tak percaya adalah Anggoro meletakkan satu botol minum di dekatnya. Dia kembali terpaku."Mungkin dia tidak mau aku pingsan saat di sana dan membuatnya malu," gumam Sera pelan lalu meneguk pelan minuman itu. Tok tok tok!Tak lama, seorang pengawal mengetuk jend
Tubuh Sera menegang. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Dia khawatir dengan apa yang akan dikatakan Maya barusan. Bisa-bisa, Anggoro dan Simbah menghabisinya hari ini.Namun, Maya justru tak menjawab sama sekali dan hanya tersenyum. “Selamat pagi, Pak Bupati.”Anggoro pun mengangguk. Tanpa banyak kata, dia pun menjemput Sera dari sana dan “mengenalkannya” pada para warga. Sera bisa menarik napas lega mengetahui sang suami tidak membahasnya. Dia mengikuti langkah Anggoro yang sangat cepat."Ada apa ini?" Hanya saja, Anggoro tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar cepat. Dia rasanya ingin marah kala menyadari mata para lelaki memandang Sera tanpa berkedip. Tanpa sadar, dia menarik lengan Sera dengan sangat kasar–mendekat padanya.Maya yang masih memperhatikan keduanya pun terkekeh pelan. Sangat senang melihat Sera diperlakukan kasar. "Itulah yang pantas didapatkan oleh anak wanita panggilan," gumamnya masih tersenyum puas."Kenapa anak dari wanita panggilan bisa sangat can
Mendengar pembelaan Anggoro, Sera tercengang.Yang lain, juga sama. Maya bahkan sampai bergeming kaku. Bayangannya, Sera akan mendapat tamparan keras dari suaminya. Namun, ada apa ini? "Sialan!" umpatnya. Tak mungkin dia ke sana dan ikut campur lebih dalam. Bisa-bisa, Anggoro membalasnya berkali lipat. Kadi, Maya pun segera meninggalkan tempat. Di sisi lain, lelaki biang onar yang dibayar Maya itu tidak menyerah. Dia menunjuk Sera dengan tegas. Kedua matanya melotot. "Kamu tidak pantas! Bupati harus turun!""Bupati, kami memilih Bapak. Jadi, tolong jelaskan saja masalah ini," sela warga lainnya yang diikuti sorak semua warga. "Ya, kami ingin penjelasan!"Suasana memanas dan lelaki pembuat masalah itu tersenyum, sampai Willem tiba-tiba datang. Perawakannya yang berbeda dari warga kebanyakan, jelas membuat atensi warga tertuju padanya. "Istri Bupati tidak hanya cantik. Dia cerdas dan jago berbahasa asing," ucap Willem tiba-tiba sembari tersenyum menatap Anggoro. Dia kini men
Anggoro masih terpaku. Kedua alisnya mengernyit sangat dalam. Kejutan apalagi ini?"Apa yang kau lakukan?" Anggoro melangkah perlahan. Mendekati Sera yang kini menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam. Hanya terlihat kedua matanya yang bewarna abu-abu."Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Anggoro dengan nada pelan. Kedua mata hitam itu tidak terlepas dari wajah Sera."Wajah ini hanya untuk suamiku. Saya memang bersalah. Paling tidak, izinkan saya membalas dengan pengabdian."Balasan itu, semakin membuat jantung Anggoro berdebar. Tidak ada wanita yang akan tahan dengan siksaan. Tapi ... memang kali ini dia menghadapi wanita yang sangat berbeda. Hanya saja, apakah kedua mata itu bisa menutup kecantikannya?Anggoro masih saja terpaku dengan keindahan kedua mata itu. Bahkan, semakin terpaku saat bulu mata lentik itu bergerak ketika mengedip. Sontak dia kembali memalingkan wajahnya."Kau akan menemaniku bertemu Bapak Gubernur. Lakukan saja tugasmu dengan baik."Anggoro berjalan keluar
Ini tidak bisa terjadi. Sera tidak mau mendapatkan hal buruk. Sejenak dia memejam, mengingat perlakuan Broto saat itu. Lelaki itu dengan tega menginjak tubuh Sera yang sudah terkapar di lantai. Menghujam dengan hinaan luar biasa kepadanya, "kau tidak pantas untuk anakku. Wanita tidak tahu diri! Berani sekali kau mengaku anakku harus bertanggung jawab?!"Ketika itu, Sera menemui Bima setelah dirinya sadar berada sendirian di vila. Bima meninggalkan Sera setelah menjebak dirinya dengan memberikan obat di minuman hingga pingsan. Dengan bebas Bima bisa menikmati tubuhnya. Sera sangat frustasi. Dia bergegas menuju kediaman Bima dan meminta pertanggung jawaban. Tapi semua sia-sia. Sera gadis desa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Dia hanya bisa pergi dalam keadaan hina. Berjalan tanpa arah hingga takdir membawanya ke rumah Simbah."Tuan Bupati memanggil Anda, Nyonya," ucap sang asisten.Lamunan Sera seketika teralihkan."Ah, iya," balas Sera sembari menarik napas panjang. Entah apa ya
Saat senyuman masih terpampang jelas di wajah Maya, dia kembali terkejut ketika Anggoro mendadak keluar bersama Sera yang menutup sebagian wajahnya. "Apa-apa'an ini?" gumamnya lalu mendekati mereka dan menyapa, "pagi ini aku sangat terkejut. Hmm, jadi sekarang istri Bupati memang sangat berbeda?"Anggoro menghentikan langkah. Dia tak percaya melihat pamannya masih berada di sini. Anggoro semakin menatap tajam, "kenapa Paman masih di sini? Kerjakan saja pekerjaan Paman!" Kedua matanya melirik sang asisten yang segera mendekatinya."Jangan pernah membiarkan siapapun masuk atas izinku," ucapnya pelan dengan pandangan tajam. Sang asisten pun menganggukkan kepala.Masih di tempat, Broto semakin berdiri kaku ketika beberapa pengawal akan mendekatinya. Dia mengangkat tangan, membuat mereka menghentikan langkah. "Anggoro tenanglah."Kedua alisnya mengernyit dalam. Dia tak menghiraukan kemarahan sang keponakan. Ada hal lain yang membuatnya lebih menarik untuk diperhatikan.Kenapa keadaan mas