Share

Bab 6. Alibi

"Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar.

"Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?"

"Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"

Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?"

"Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.

Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."

Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata.

"Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku udah sembuh dan kita banyak uang, buat pak Frans menceraikan kamu dengan cara apa pun. Setelah itu kita kembali bersama. Mudah, kan?"

"Aku yang menjalaninya, Mas. Bagaimana kamu bisa bilang itu mudah?" Jarinya sibuk mengusap air mata yang jatuh.

"Lalu bagaimana dengan aku, Rin? Apakah kamu lebih rela aku mati?"

"Mas," lirih Karin masih menangis.

"Tolong lakukan demi nyawa aku, Rin. Demi anak kita di kampung, demi orang tua kita. Aku janji akan setia sama kamu, aku nggak akan main perempuan."

Terus Dani merayu Karin dengan berbagai macam cara, berbagai macam alasan, berbagai macam kalimat dusta yang diutarakan. Sehingga akhirnya Karin pun menandatangani surat perceraian.

"Mulai sekarang, kamu bukan lagi istriku, aku bebaskan kamu dari sebuah ikatan pernikahan."

"Aku mau kamu berjanji untuk setia, Mas. Aku mau kamu sembuh, kamu tetap hidup buat aku juga anak kita."

"Berkat kamu juga pak Frans, aku akan subuh, Rin. Sampai berjumpa lagi nanti."

Setelah Karin menandatangani surat pernyataan bercerai di atas materai, kini Karin resmi menjadi seorang janda. Tak kuasa menahan tangis, Karin pun keluar dari ruangan sambil membawa selembar kertas. Saat berlari melewati kursi tunggu, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Frans.

Frans bangkit dari duduknya, lalu bertanya, "Bagaimana? Kamu sudah mengambil keputusan?"

"Lepaskan tangan saya!" Secara kasar Karin mengibaskan tangan Frans.

Frans tidak perduli, dia merebut kertas tersebut dari tangan Karin, lalu mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Frans menyunggingkan senyum penuh kemenangan dari sudut bibirnya.

"Bagus, saya harap kamu bisa kooperatif."

"Kenapa Anda menginginkan saya?" Terdapat penekanan dari kalimat yang Karin ucapkan.

"Karna saya ingin menyelamatkan kamu."

"Anda ingin menyelamatkan saya, atau menginginkan tubuh saya?"

Tanpa ragu Frans menjawab, "Keduanya."

"Kenapa Anda menjadi tidak tahu malu seperti ini? Anda punya tunangan, Pak. Kenapa harus saya?"

"Bella adalah wanita yang dijodohkan oleh orang tua saya, sedangkan kamu adalah wanita pilihan saya."

"Saya tidak mencintai Anda, Pak."

"Saya akan buat kamu mencintai saya."

"Yang Anda inginkan hanya tubuh saya, kan? Saya akan berikan tapi tidak dengan hati saya."

"Bukan hanya tubuh, saya akan membuat kamu menyerahkan jiwa dan raga kamu untuk saya setelah kamu mengetahui semuanya."

"Anda benar-benar tidak tahu malu."

"Terserah kamu mau menilai saya apa, yang pasti kamu sekarang milik saya."

"Saya baru menyandang status janda, Anda tidak bisa langsung menikahi saya."

"Saya tau, tapi sejak kamu menandatangani surat perceraian, tidak ada lagi batas di antara kita. Saya bebas melakukan apa pun terhadap kamu dan ...."

Secepat kilat Karin memangkas kalimat yang belum sepenuhnya Frans ucapkan. "Kecuali berhubungan suami istri."

"Saya tau batasnya."

Karin diam, Frans meraih tangan Karin, lalu mengecup punggung tangannya seraya berkata, "Kamu milik saya sekarang. Ayo kita pulang!"

"Bagaimana sama mas Dani?"

"Anak buah saya yang akan mengurus semuanya."

Frans berjalan sambil menggandeng tangan Karin, mau tidak mau Karin pun mengikuti langkah kaki Frans dari belakang. Saat keluar dari pintu utama ruang UGD, Karin sempat menoleh ke belakang, diam-diam air matanya kembali menetes.

"Lekas sembuh, Mas. Yang aku inginkan cuma kamu. Seburuk apa pun kamu, aku cuma mau kamu," batin Karin bergumam tanpa menghentikan langkah kakinya menuju area parkir mobil.

Saat ini mereka berdiri di samping mobil mewah milik Frans dan Frans membuka pintu sisi kiri samping kemudi, mempersilakan Karin untuk masuk.

Setelah Karin masuk, Frans menutup kembali pintu mobilnya. Dengan perasaan gembira dia berjalan ke sisi kanan mobil, lalu masuk ke dalamnya.

"Kita mau ke mana?" tanya Karin sambil melihat ke arah Frans yang saat ini sedang memasang sabuk pengaman.

"Ke rumah yang sudah saya sediakan untuk kamu."

"Anda sudah menyiapkan rumah untuk saya?" Dahi Karin mengerut.

"Sudah sejak dua minggu yang lalu."

Karin menatap tidak percaya atas jawaban Frans. "Anda benar-benar sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari."

"Dan, saya tidak akan mempersiapkan itu semua tanpa persetujuan dari suami kamu, Rin."

"Maksud Anda?" Karin semakin bingung.

"Nanti, suatu saat kamu akan mengerti kenapa saya melakukan ini ke kamu."

"Kenapa harus nanti? Kenapa nggak sekarang?"

"Kamu nggak akan percaya kalau hanya dari ucapan, kamu harus mengetahui semuanya bersama dengan bukti-bukti."

Entah apa yang belum terungkap, meminta jawaban darinya pun percuma, Frans tidak akan menjawab. Sehingga Karin pun memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, setelah beberapa saat mobil yang ia tumpangi tidak kunjung melaju, Karin melihat ke arah Frans dan kembali bertanya, "Kenapa masih diam?"

"Kamu belum pasang sabuk pengaman. Bagaimana saya bisa melajukan mobilnya?" Frans bicara sambil menatap lekat-lekat wajah Karin.

Tanpa basa-basi lagi Karin langsung memasang sabuk pengamannya. "Jalan sekarang!"

"Oke." Frans mulai menghidupkan mesin mobil, lalu meninggalkan rumah sakit dengan kecepatan lambat, bukan karena macet, tetapi karena dia ingin memiliki banyak waktu berdua bersama Karin.

Hal itu membuat Karin kesal, bagaimana tidak. Jalan raya dalam keadaan sepi, tetapi kecepatan mobil hanya tiga puluh kilometer per jam. Karin memperhatikan itu, lalu ia pun mengajukan protes.

"Bisa lebih kenceng lagi nggak sih, Pak? Kalau begini caranya, lebih baik kita naik taksi aja."

"Utamakan keselamatan, Rin," ucap Frans dengan lembut.

"Kalau Bapak males, mendingan saya aja deh yang bawa, Pak."

"Jangan, Sayang. Nanti kamu kelelahan."

"Apa? Sayang? Pak Anda ...." Karin tidak meneruskan kalimatnya, menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Menyebalkan," batin Karin.

"Kamu sangat menggemaskan," ucap Frans sambil tersenyum meledek.

Tidak lama setelah itu, terdengar bunyi beep pada ponsel milik Frans. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jas, membuka pesan masuk, lalu pesan tersebut dia tunjukkan kepada Karin.

"Lihat ini."

Karin menoleh, mengerutkan keningnya ketika melihat foto baju tidur kekurangan bahan pada layar ponsel milik Frans. "Apa ini?"

"Pakai itu setiap malam."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status