Share

Bab 7. Izin Tinggal Bersama

Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!"

"Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.

Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta.

"Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya.

"Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip."

"Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?"

"Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan.

"Maksud Anda?" Karin menghentikan langkah kakinya, begitu pun dengan Frans. "Saya peringatkan ya, Pak. Tidak ada hubungan suami istri, kita belum menikah!"

"Karin, saya rasa suara kamu kurang kencang. Kamu bisa pakai toa biar semua orang bisa mendengar suara kamu."

Karin langsung menutup mulut dengan tangannya, lalu celingukan ke kanan, kek kiri, depan, belakang, memperhatikan sekitar khawatir ada orang lain yang mendengar ucapannya barusan dan beruntunglah di sana hanya ada mereka berdua.

"Belajar pelankan suaramu, ini bukan di kampung. Kenyamanan penghuni di sini sangat diutamakan."

"Bapak yang mancing saya untuk berteriak."

"Lagi pula, saya nggak bilang kalau saya akan menyetubuhi kamu, kan? Saya cuma mau kebebasan. Kapan pun saya mau bertemu kamu, tidak ada yang melarang, tidak ada yang bergunjing, tidak ada yang mengawasi. Cuma itu."

"Awas saja kalau sampai Anda melanggar peraturan saya."

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan kalau saya melanggar aturan kamu?"

"Anda akan kehilangan saya untuk selama-lamanya."

"Apa? Kabur? Saya akan menemukan kamu sekalipun kamu bersembunyi di lubang semut. Paham!"

Karin diam, Frans kembali berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Sekitar lima meter dari lokasi mereka berdebat barusan, Frans berhenti di depan pintu unitnya. Dengan menekan pin, terbukalah kunci.

"Ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka pintu, lalu mempersilahkan Karin masuk duluan.

Dengan perasaan ragu Karin pun melangkah masuk, dan lampu otomatis menyala. Hal itu membuat Karin terkejut sampai terperanjat ke dalam pelukan Frans. Sadar diri saat ini dia berada di tempat yang salah, Karin langsung menjauh dari Frans.

"Jangan pegang-pegang saya!" pekik Karin.

"Apa saya nggak salah dengar? Kamu yang loncat ke dalam pelukan saya, Karin."

"Itu karna saya terkejut."

"Berarti siapa yang salah?" Frans melingkarkan kedua tangannya di dada.

"Lampu. Yang salah lampu, kenapa dia nyala sendiri?"

"Ini apartemen bukan kontrakan, Karin."

Lagi-lagi Karin diam, lalu Frans menyuruhnya untuk masuk. "Kenapa masih di sini? Ayo masuk!"

"Nggak, Bapak aja masuk duluan. Saya kan nggak tau di depan ada bahaya apa yang mengancam keselamatan saya."

Frans menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu ia masuk lebih dulu menuju ruang utama keluarga dan pria itu menghidupkan semua lampu.

Ingat apa yang Frans katakan tadi? Ini apartemen mewah, bukan kontrakan kumuh di pinggir jalan. Tentu isinya pun semua barang-barang mewah, bukan KW yang ada di pasar atau toko bangunan. Televisinya saja memiliki ukuran kisaran delapan puluh inchi. Bisa dibayangkan bagaimana luas ruang tersebut? Bisa dikatakan jika semua barang dihilangkan, ruang khusus keluarga itu berukuran seluas lapangan futsal.

"Di sini hanya ada satu kamar dan itu adalah kamarnya," tunjuk Frans ke arah kanannya.

Karin melihat ke arah yang ditunjuk, lalu bertanya, "Kenapa apartemen seluas ini hanya ada satu kamar?"

"Karna saya tidak suka ada orang lain yang menginap di sini, apartemen adalah tempat privasi saya."

"Lalu, kenapa Anda bawa saya ke sini?" Karin mengajukan pertanyaan sambil berjalan ke arah kamar yang tadi ditunjuk oleh Frans. Pintu kamar itu terlihat unik, membuat Karin merasa penasaran dengan isinya.

"Karna kamu spesial," jawab Frans tanpa ragu.

Saat pintu dibuka, kamar dalam keadaan gelap. Karin masuk dan mencari stop kontak, lalu menghidupkan lampu kamar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut akan isi di dalam kamar tersebut.

Ranjang dengan ukuran besar, sprei yang lembut, kasur yang empuk, dan selimut bulu halus cukup tebal.

"Nggak gerah apa?" celetuk Karin seraya mengusap selimut selembut sutra itu.

"Kamar saya ini ada pendingin ruangannya, Rin," balas Frans yang saat ini berdiri di ujung ranjang, sedangkan Karin berdiri di tepian ranjang sisi sebelah kiri.

"Saya tau, Pak. Saya juga nggak katro-katro amat kali, Pak."

"Kalau tau, kenapa tadi tanya?"

"Saya nggak tanya apa-apa, tadi saya cuma ngobrol sendiri."

"Iya, iya. Terserah kamu deh, Rin."

Setelah puas melihat dan merasakan betapa empuknya kasur tersebut, Karin berjalan ke arah meja rias yang mana di sana sudah tersedia beberapa makeup lengkap. Ada lipstik, bedak, toner, cream malam, serum, dan masih banyak lagi. Perlengkapan itu semua membuat Karin ingin bertanya.

"Kenapa banyak sekali makeup di sini? Anda juga pakai lipstik?" Satu lipstik berwarna pink itu ia tunjukkan di depan Frans.

"Itu semua milik kamu."

"Saya pikir milik tunangan Anda."

"Tidak ada satu pun barang di sini yang saya khususkan untuk dia."

Karin meletakkan kembali lipstik tersebut ke tempat semula. Setelah itu dia berjalan ke arah kamar mandi, melihat isinya dan lagi-lagi Karin dibuat terkejut. Bukan hanya satu ruangan yang berisi barang merah, tetapi di seluruh ruangan termasuk kamar mandi.

"Anda ini terlampau kaya atau gimana sih, Pak. Dari pada meminta saya cerai sama mas Dani, kenapa tidak Anda berikan saja saya bantuan secara cuma-cuma? Hitung-hitung beramal."

"Enak aja cuma-cuma. Di dunia ini nggak ada yang gratis, Karin. Apa lagi saya harus mentransfer uang setiap bulan ke mantan suami kamu."

"Jika Anda keberatan, kenapa Anda menginginkan saya?"

"Karna saya suka. Dan, apa pun yang saya mau, harus menjadi milik saya." Frans bicara sambil melangkah maju, bersamaan dengan Karin yang melangkah mundur.

"Jangan macam-macam ya, Pak. Saya bisa teriak sekencang mungkin."

"Ada manfaatnya kamu teriak?" Kini wajah Frans dengan wajah Karin jaraknya sudah sangat dekat, Karin sampai harus membuang muka agar tidak terjadi kontak fisik.

"Cobalah kalau ada manfaatnya." Semakin Frans mendekatkan wajahnya, Karin langsung mendorong kuat-kuat pemilik tubuh kekar itu agar menjauh dari dirinya hingga ia terhuyun satu langkah ke belakang.

"Bisa nggak sih ngomongnya dari jauh aja. Saya kehabisan oksigen tau nggak."

Frans tersenyum menyeringai seraya memperhatikan Karin dari ujung kaki hingga wajahnya yang semakin dilihat, menurutnya semakin memesona.

"Hanya pria bodoh yang mau melepaskan kamu."

"Dan, menurut Anda suami saya itu adalah pria bodoh?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status