Raka tersenyum nakal.
“Semua kucing jantan sama saja.”
“Aku bukan kucing jantan, Hana.”
“Lalu?”
“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”
Akhirnya senyum Hana merekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.
~
Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.
Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.
“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.
Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.
“Bapak jarang pulang?”
“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Kalau mau main game terus kayak gitu, kenapa dulu nikahin aku? Harusnya ngebujang aja sampai tua,” sungut istriku seraya menggendong Rafa yang kotor dengan tanah. Anak-anakku terbilang aktif. Setiap waktu selalu saja mengambil kesempatan untuk bermain di halaman rumah. Hujan telah turun sejak semalam, dan anak kecil itu tentu akan bertambah senang karenanya. Mereka akan melompat-lompat di atas genangan air, tanpa peduli pakaiannya telah basah bercampur lumpur. Aku punya dua bayi kembar. Rafa dan Rifa, kebetulan Rifa masih tidur di kamar.“Kalau anak mainan yang kotor, apa susahnya dibilangin? Apa segitu matinya tangan dan mulutmu? Lihat lututnya berdarah, pelipisnya juga! Kalau aku enggak datang, Rafa mau nyeberang jalan. Setidaknya kamu tutup gerbang!”Kali ini nada bicaranya makin tinggi, jujur saja aku muak mendengarnya. Akhir pekan itu untuk istirahat. Salahkah kalau aku ingin bersantai sejenak. Kenapa selalu saja mendengar teriakannya yang memekakkan telinga.BRAK!Aku mengg
“Bisa diam enggak, Papih pusing!” Aku mulai hilang kendali. Kedua balita itu justru menangis semakin kencang, seolah aku tengah memukulnya.“Bunda, Bunda!”Anak kecil itu terus saja berteriak hingga urat-urat di lehernya mulai menegang. Setiap kali aku bersuara, semua malah bertambah kacau. Sekarang mereka mulai batuk-batuk dan ini yang paling membuatku tak tahan, muntahan mereka bercecer di mana-mana. Kenapa mengurus bocah susah sekali? Aku mencoba menimang mereka bergantian, tetapi tetap saja anak-anakku tak mudah ditaklukkan. Aku pasrah. Akhirnya hanya bisa duduk di lantai persis di antara kedua anakku.“Diamlah Nak, Papih harus bagaimana?”Ah percuma saja, mereka tak akan mengerti, meski aku memohon sekali pun. Entah berapa kali dia melempar botol susu yang kusuguhkan, hingga salah satunya menjadi pecah.Ini sudah tak terkendali. Aku harus meminta bantuan seseorang untuk mengurus mereka. Mamahku pasti tak akan keberatan untuk datang ke sini. Benar saja, tak menunggu lama, Mamah
Pelan Hana membuka pintu itu. kau tahu dia bahkan mengubah ekspresi wajahnya. Seolah semua baik-baik saja.“Maaf Mah, kami memang ada masalah sedikit.”“Ya, jangan kayak gini. Kamu tanpa Raka juga bukan siapa. Saya aja orang tuanya tidak pernah memperlakukan Raka seperti itu. Berani-beraninya kamu menyuruh anak saya tidur di luar.”Hana melirikku sekilas.Aku tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini.“Maaf Mah, lain kali Hana tidak akan melakukannya lagi.” Aku bisa melihat Hana menahan ludahnya. Matanya bahkan mendadak memerah. Hanya butuh satu kedipan lagi untuk membuatnya berair.“Saya akan tinggal di sini sekarang. Awas ya kamu, berani kurang ajar sama Raka. Enggak sadar diri memang kamu ya, yang belikan rumah ini siapa? Kalau bukan Raka, kamu juga masih tinggal di gubuk. Kampungan!”Mamah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang diam seribu bahasa. Tatapannya bahkan menjadi kosong seketika.“Na,” lirihku.Sambil berusaha menarik lengannya sayangnya Hana malah lebih dul
‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seola
“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”“Apa perlu operasi, Dok?”“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.Sepanjang malam, kulewati dengan terus