“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.
“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.
“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”
“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”
Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.
~
“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”
“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”
“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”
A
“Kalau mau main game terus kayak gitu, kenapa dulu nikahin aku? Harusnya ngebujang aja sampai tua,” sungut istriku seraya menggendong Rafa yang kotor dengan tanah. Anak-anakku terbilang aktif. Setiap waktu selalu saja mengambil kesempatan untuk bermain di halaman rumah. Hujan telah turun sejak semalam, dan anak kecil itu tentu akan bertambah senang karenanya. Mereka akan melompat-lompat di atas genangan air, tanpa peduli pakaiannya telah basah bercampur lumpur. Aku punya dua bayi kembar. Rafa dan Rifa, kebetulan Rifa masih tidur di kamar.“Kalau anak mainan yang kotor, apa susahnya dibilangin? Apa segitu matinya tangan dan mulutmu? Lihat lututnya berdarah, pelipisnya juga! Kalau aku enggak datang, Rafa mau nyeberang jalan. Setidaknya kamu tutup gerbang!”Kali ini nada bicaranya makin tinggi, jujur saja aku muak mendengarnya. Akhir pekan itu untuk istirahat. Salahkah kalau aku ingin bersantai sejenak. Kenapa selalu saja mendengar teriakannya yang memekakkan telinga.BRAK!Aku mengg
“Bisa diam enggak, Papih pusing!” Aku mulai hilang kendali. Kedua balita itu justru menangis semakin kencang, seolah aku tengah memukulnya.“Bunda, Bunda!”Anak kecil itu terus saja berteriak hingga urat-urat di lehernya mulai menegang. Setiap kali aku bersuara, semua malah bertambah kacau. Sekarang mereka mulai batuk-batuk dan ini yang paling membuatku tak tahan, muntahan mereka bercecer di mana-mana. Kenapa mengurus bocah susah sekali? Aku mencoba menimang mereka bergantian, tetapi tetap saja anak-anakku tak mudah ditaklukkan. Aku pasrah. Akhirnya hanya bisa duduk di lantai persis di antara kedua anakku.“Diamlah Nak, Papih harus bagaimana?”Ah percuma saja, mereka tak akan mengerti, meski aku memohon sekali pun. Entah berapa kali dia melempar botol susu yang kusuguhkan, hingga salah satunya menjadi pecah.Ini sudah tak terkendali. Aku harus meminta bantuan seseorang untuk mengurus mereka. Mamahku pasti tak akan keberatan untuk datang ke sini. Benar saja, tak menunggu lama, Mamah
Pelan Hana membuka pintu itu. kau tahu dia bahkan mengubah ekspresi wajahnya. Seolah semua baik-baik saja.“Maaf Mah, kami memang ada masalah sedikit.”“Ya, jangan kayak gini. Kamu tanpa Raka juga bukan siapa. Saya aja orang tuanya tidak pernah memperlakukan Raka seperti itu. Berani-beraninya kamu menyuruh anak saya tidur di luar.”Hana melirikku sekilas.Aku tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini.“Maaf Mah, lain kali Hana tidak akan melakukannya lagi.” Aku bisa melihat Hana menahan ludahnya. Matanya bahkan mendadak memerah. Hanya butuh satu kedipan lagi untuk membuatnya berair.“Saya akan tinggal di sini sekarang. Awas ya kamu, berani kurang ajar sama Raka. Enggak sadar diri memang kamu ya, yang belikan rumah ini siapa? Kalau bukan Raka, kamu juga masih tinggal di gubuk. Kampungan!”Mamah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang diam seribu bahasa. Tatapannya bahkan menjadi kosong seketika.“Na,” lirihku.Sambil berusaha menarik lengannya sayangnya Hana malah lebih dul
‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seola
“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”“Apa perlu operasi, Dok?”“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.Sepanjang malam, kulewati dengan terus
“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”Hana justru tersenyum.“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.“Kenapa harus bersumpah?”“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”“Apa aku terlihat sedang marah?”“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”
Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk
“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu