“Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”
~Aleeya Puspita Wulandari~
***
Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.
Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.
Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.
“Ayolah, Kak. Bacain ....”
Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih dan Bawang Merah. Akhirnya, aku mengangguk pasrah meskipun sedikit bosan dengan isi ceritanya. Dia langsung bergelung di kasur sambil memeluk lengan kiriku.
“Pada zaman dahulu, hiduplah ....”
Aku mulai membacakan cerita. Mata bundar berbinar. Bukannya tertidur, Ghaida malah tambah bersemangat. Dia terus berceloteh tentang impiannya yang ingin menjadi seperti Bawang Putih, hidup bahagia selamanya bersama pangeran tampan.
“Kalau kakak, sih, lebih suka Bawang Merah.”
“Ih, Kakak! Jahat begitu, kok, malah suka?"
Bibir mungil mengkerut. Ghaida melipat tangan di depan dada. Mata bundar melotot, seolah hendak menakut-nakuti. Namun, bukannya seram, dia malah semakin imut. Aku mencubit hidungnya pelan, siapa tahu bisa mancung. Eh?
“Lho, Bawang Merah itu, kan, cerdas. Dia bisa memikirkan banyak rencana agar bisa bahagia. Yah, meskipun menyakiti Bawang Putih. Salah sendiri, Bawang Putih mau-mau aja dijahati. Terlalu baik sama bodoh itu tipis. Au!”
Aku menjerit kencang. Bagaimana tidak? Tangan keramat Ibu mendarat di telinga. Mata bundar serupa milik Ghaida mendelik tajam, mungkin sebentar lagi akan keluar sinar laser dari sana. Aku menelan ludah.
“Baca cerita buat adek itu diajarin hikmahnya, Kakak!” tegur Ibu.
Jeweran Ibu semakin kuat.
“Iya, Bu. Ampun, Bu! Iya, iya, nggak lagi.”
“Ibu sudah, Bu. Kasian Kak Leeya.” Ghaida menarik-narik daster Ibu dengan tatapan memelas.
Akhirnya, jeweran Ibu berakhir. Tentu saja, setelah aku berjanji tidak akan lagi memberikan pemikiran-pemikiran absurd pada adik sendiri. Ghaida menarikku ke kasur. Tangan mungilnya melingkar di pinggang.
Ah, adikku memang paling manis sedunia!
“Aleeya?”
Suara bariton khas membuyarkan lamunan. Otak seketika berhenti memutar memori masa lampau. Aku berbalik, berharap pendengaran salah. Perasaanku sedang sangat buruk, tak ingin bertemu lelaki itu dan menimbulkan kesalahpahaman lagi.
Sayangnya, tebakanku benar. Ardhan berdiri di sana dengan tatapan yang mengandung banyak arti. Keadaan semakin buruk dengan kehadiran sepupunya yang super resek, Poppy.
“Ya ampun, Aleeya. Masih buluk aja, ya, kamu,” ejek Poppy.
Tuh, ‘kan?
Belum apa-apa, lidah si ular Poppy sudah menyemprotkan racunnya. Aku malas menanggapi, hanya menyunggingkan senyuman sembari memberi isyarat hendak berlalu dari hadapan mereka. Namun, wanita bergaun tanpa lengan itu malah mencengkeram pergelangan tanganku. Kulit sedikit tergores kuku panjang bercat ungu.
“Jangan-jangan kamu stalking Ardhan, ya?” desisnya tajam.
Ish! Najis!
“Poppy, cukup!” Ardhan melotot, membuat sepupunya ternganga dan refleks melepaskan cengkeraman dari pergelangan tanganku.
Halah, sok jadi pahlawan kesiangan!
“Leeya, kamu lagi nyari buku, ya?”
Ya iyalah, masa mau makan di toko buku?
Ardhan terus mencerocos. Poppy melirikku sinis. Kedua tangannya tampak mengepal kuat. Entah Ardhan memang tidak peka atau hanya pura-pura. Model cantik itu sudah lama menaruh rasa kepadanya.
“Ini aku udah dapat bukunya. Aku duluan, ya,” ucapku cepat, lalu membawa buku cerita Bawang Putih dan Bawang Merah ke kasir.
Setelah transaksi selesai, aku bergegas keluar dari toko buku. Sialnya, kepala mendadak berdenyut. Aku terpaksa masuk ke salah satu kafe untuk mencari sekadar pengganjal perut. Obat penahan nyeri golongan non steroid tidak boleh dikonsumsi dalam perut kosong karena dapat mengiritasi lambung.
Waktu konsumsi obat memang perlu untuk diketahui. Ada juga obat yang harus dikonsumsi sebelum makan seperti obat maag atau malah bersamaan dengan makan pada suapan pertama seperti pada obat antidiabetes. Beberapa obat juga memiliki waktu minum tertentu agar efeknya optimal.
Setelah sakit kepala sedikit mereda, kuputuskan untuk pulang. Baru saja, bangkit dari kursi kafe, ponsel berdering. Tulisan “Ibu” tertera di layar. Aku segera menerima panggilan.
“Iya, Bu, ada apa?”
“Kamu bisa tolong cari Ghaida?”
“Ghaida? Seharusnya, kan, dia sudah pulang kerja dari tadi sore?”
“Dia belum pulang. Nomornya juga tidak bisa dihubungi.”
“Baik, Bu. Nanti Leeya cari ke rumah temannya.”
“Tolong, ya, Nak. Ini salah Ibu, tadi pagi marah-marah sama dia.”
“Iya, Bu. Pasti Leeya cari.”
Panggilan berakhir. Aku menghela napas berat. Saat melangkah ke luar kafe, ponsel berdentang, pesan masuk dari Ghaida.
“Kak, tolong bilang sama Ibu, mulai hari ini Ghaida bakal tinggal di kosan. Adek kurang ajar kayak aku pasti bikin Kakak kesel, ‘kan?”
Argggh!
Pesan Ghaida membuat hati terasa diremas. Pikiran mendadak kosong. Lama aku larut dalam kegamangan hingga suara klakson memekakkan telinga. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari utara.
Aku berniat menghindar. Namun, kaki malah tersandung hingga tersungkur. Terdengar decit rem, tapi tabrakan tetap tak terelakkan. Tubuhku terlempar, lalu jatuh membentur trotoar. Aku bahkan tidak mampu menjerit. Rasa sakit yang hebat seolah menelan suara. Cairan merah berbau amis mulai membasahi aspal.
Pengemudi mobil keluar dan berlari ke arahku. Dia tampak sangat syok, begitu pula aku. Bagaimana tidak? Ardhanlah yang ternyata telah menabrakku. Kini, dia bersimpuh dengan wajah berurai air mata.
“Leeya ... bagaimana mungkin ....”
Kesadaranku semakin menurun. Tubuh sudah sangat lemas. Mungkin aku sudah tidak punya harapan hidup lagi. Kupejamkan mata, memilih pasrah saja menerima takdir.
“Leeya, maaf .... Aku pasti akan menyelamatkanmu!”
Terserah kamu deh, Ardhan.
Ah, benar-benar konyol sekali cara kematianku, tertabrak lamborghini mantan. Nasib malang yang sekaligus menggelikan. Namun, entah kenapa aku merasa mungkin ini cara Tuhan untuk menyelesaikan masalah pelik dengan Ghaida. Bukankah pernikahannya tidak akan lagi terhalang?
“Bertahanlah, Leeya!”
Rasa hangat melingkupi jemari, terasa seperti genggaman. Perlahan tubuh terangkat dari dinginnya aspal. Kemungkinan, Ardhan sedang menggendongku.
“Bertahanlah, Leeya! Kumohon! Aku akan membawamu ke rumah sakit!”
Argh! Si Ardhan ini malah berisik! Tidak bisakah dia membiarkanku mati dengan tenang?
Cup!
Kecupan mendarat di bibir. Mataku yang sudah terpejam pasrah langsung melotot. Rasa ingin menampar wajah tampan itu meluap-luap.
Sementara Ardhan terjengkang. Aku pun terguling di aspal, lalu terhenti tepat di sebelah buku cerita Bawang Putih dan Bawang Merah. Kuraih buku dengan tangan gemetar dan mendekapnya di dada.
Kepalaku mendadak terserang nyeri hebat selama beberapa saat, lalu hilang sama sekali. Keheningan melingkupi. Setiap bunyi seolah-olah ditelan sesuatu tak kasat mata. Aku hanya bisa terperenyak hingga cahaya putih menyilaukan menerpa, menyelimuti tubuh, hangat.
"Apakah kamu ingin diberi kesempatan kedua?" Suara indah itu menggema, menjadi hal terakhir yang kudengar.
***
“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”~Aleeya Puspita Wulandari~---“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!“Di mana aku? Ugh, pusing ....”Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular
"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te
“Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat
"Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap
"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah
“Saat putriku terancam bahaya, keegoisan menguasai hati begitu saja.” ~Ibu Bawang Merah~ --- Setelah tiba di rumah Bawang Putih, kami langsung ke kamar utama. Ibunya tampak kejang-kejang di tempat tidur, dengan bola mata melotot seperti tercekik. Tangan dan kaki beliau juga bergerak tak tentu arah. “Tolong, jangan bunuh saya! Tidaaak, pergi sana!” Teriakan penuh ketakutan terus terlontar dari bibir yang kering dan pucat. “Putih, tolong ambilkan telur, mangkuk, dan gentong kosong!” Bawang Putih bergegas ke luar kamar. Sementara itu, aku mendekat mengubah posisi Ibu Bawang Putih. Kini, beliau duduk dengan wajah di arahkan ke bawah. Pintu berderak. Bawang Putih masuk dengan membawa barang-barang yang tadi kuminta. Telur diambil bagian putihnya saja, lalu diminumkan untuk memicu muntah. “Huek! Huek!” Aku mengurut pelan punggung ibu Bawang Putih. Beliau terus memuntahkan isi perut hingga keluar cairan kuning. Tubuh kurus itu pun terkulai lemas. Aku membersihkan sisa muntah di pingg
“Mbakyu, apa yang bisa kubantu?” celoteh Bawang Putih antusias. Kepalanya celingak-celinguk. Sementara itu, tubuh yang mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan itu bergerak lincah di antara karung-karung berisi herbal. Aku terkekeh melihat tingkahnya. “Tolong cucikan cabe jawa di sana, ya, Putih.” “Siap!” Bawang Putih tampak langsung mengangkut keranjang berisi cabe jawa. Ya, aku memang hendak membuat jamu cabe puyang. Kunyit dan lempuyang sudah siap sedia sejak kemarin, sedangkan cabe jawa baru saja kupanen tadi pagi. “Putih berangkat dulu, ya, Mbakyu!” seru Bawang Putih sambil tancap gas ke luar bilik kerja. “Hati-hati!” pesanku setengah berteriak. Bawang Putih tidak menyahut karena memang sudah menghilang dari pandangan. Aku menggeleng. Beberapa hari lalu, dia tercebur ke sungai karena terlalu semangat membantuku memetik buah ara. Semoga saja, anak itu belajar dari pengalaman agar lebih berhati-hati. “Yap! Saatnya mengolah sampel lagi!” Aku langsung merajang kunyit dan lemp