“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”
~Aleeya Puspita Wulandari~
---
“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”
Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.
Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.
Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.
Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!
“Di mana aku? Ugh, pusing ....”
Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular Poppy, sih, lewat.
Seraut wajah oval dilengkapi dengan mata bundar yang tampak cerdas dan bersemangat. Padahal, sosoknya seperti tengah bersedih. Namun, kedua bola bening itu tetap memancarkan pesona istimewa. Hidung mungil, tapi bangir sangat padu dengan alis bagai semut beriring.
Jika dilihat-lihat, kami seperti seumuran. Mungkin dia bisa memberikan informasi tentang tempat aneh ini. Aku baru saja hendak bicara, tapi urung ketika melihat wajah cantik berubah semringah.
“Kamu sadar, Nak!”
Bersamaan dengan seruan keras si wanita cantik, tubuh ini ditarik kuat. Aku hanya bisa pasrah sambil menahan napas saat dibenamkan dalam pelukan. Sosok terbalut kebaya cokelat itu berbau tidak sedap.
Ya ampun, cantik-cantik, kok, bau badan? Tuh, ‘kan, aku jadi julid.
“Putriku ... putriku yang cantik sudah sadar.” Suara serak-serak basah bergetar. Tangan halus menyentuh wajahku dengan lembut.
Ada hal aneh di sini. Kenapa wanita ini terus menyebutku putrinya? Padahal, kami, kan, tampak seumuran?
“Mbak ini, kok, manggil saya putriku. Usia kita paling hanya beda tiga tahunan.”
Wanita berkebaya cokelat menutup mulut. Air matanya kembali mengalir. Aku menjadi serba salah. “Bawang Merah, apa yang terjadi padamu, Nak?”
Tunggu dulu! Bawang Merah?
Ingatan tentang buku cerita yang kudekap saat kecelakaan kembali terbayang. Aku menggeleng beberapa kali. Logika tentu tidak ingin memercayai kejadian aneh ini.
Setelan menelan ludah dan menguatkan hati, aku bangkit dari kasur dan menuju cermin di dekat jendela. Gadis belia yang baru memasuki usia remaja terpantul dari sana. Wajahnya cantik serupa wanita berkebaya cokelat tadi.
Aku pun refleks menjerit, “Tidaaak! Aku benar-benar jadi Bawang Merah!”
Ya ampun, ini benar-benar gila!
Aku mencubit lengan berkali-kali, memastikan ini semua hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit membuktikan apa yang terjadi adalah kenyataan.
“Mbah! Mbah! Tolong! Bawang Merah kenapa?” Wanita berkebaya cokelat berteriak-teriak histeris.
Pintu kamar dibuka dari luar. Lelaki tua berpakaian serba hitam masuk dengan mata merah yang melotot. Dia membawa segelas air putih dan tempat pembakaran kemenyan. Aku sampai batuk-batuk dibuatnya.
“Dia diganggu roh jahat penunggu pohon di depan rumah,” tuduh aki-aki bau tanah itu.
Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.
Mata merah si dukun semakin melotot, membuat nyaliku seketika ciut. Tangan keriput memegang erat gelas berisi air putih. Dia juga memutar-mutar tempat pembakaran kemenyan yang berasap tebal. Bibirnya tak henti komat-kamit, kadang lirih, kadang berteriak-teriak. Jika dipikir-pikir, kakek inilah yang lebih mirip orang kesurupan.
Tubuh beraroma kemenyan itu berjalan mendekat. Aku mundur beberapa langkah. Dukun itu mendadak berhenti merapal mantra, lalu meminum air dalam gelas dan ....
Byur!
Semburan maut dari bibir kehitaman membuat wajahku basah kuyup. Bau jigong bercampur aroma nikotin berebutan merangsek ke dalam hidung. Perut terasa diaduk-aduk. Aku langsung terduduk lemas dan muntah di lantai.
“Bawang Merah, kamu baik-baik saja, Nak?”
Ibu Bawang Merah eh ibuku di dunia ini menatap dalam dengan mata berkaca-kaca. Mbah dukun masih siaga di posisinya, siap menyemburkan lagi air mantra beraroma jigong. Aku menelan ludah.
***
"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te
“Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat
"Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap
"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah
“Saat putriku terancam bahaya, keegoisan menguasai hati begitu saja.” ~Ibu Bawang Merah~ --- Setelah tiba di rumah Bawang Putih, kami langsung ke kamar utama. Ibunya tampak kejang-kejang di tempat tidur, dengan bola mata melotot seperti tercekik. Tangan dan kaki beliau juga bergerak tak tentu arah. “Tolong, jangan bunuh saya! Tidaaak, pergi sana!” Teriakan penuh ketakutan terus terlontar dari bibir yang kering dan pucat. “Putih, tolong ambilkan telur, mangkuk, dan gentong kosong!” Bawang Putih bergegas ke luar kamar. Sementara itu, aku mendekat mengubah posisi Ibu Bawang Putih. Kini, beliau duduk dengan wajah di arahkan ke bawah. Pintu berderak. Bawang Putih masuk dengan membawa barang-barang yang tadi kuminta. Telur diambil bagian putihnya saja, lalu diminumkan untuk memicu muntah. “Huek! Huek!” Aku mengurut pelan punggung ibu Bawang Putih. Beliau terus memuntahkan isi perut hingga keluar cairan kuning. Tubuh kurus itu pun terkulai lemas. Aku membersihkan sisa muntah di pingg
“Mbakyu, apa yang bisa kubantu?” celoteh Bawang Putih antusias. Kepalanya celingak-celinguk. Sementara itu, tubuh yang mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan itu bergerak lincah di antara karung-karung berisi herbal. Aku terkekeh melihat tingkahnya. “Tolong cucikan cabe jawa di sana, ya, Putih.” “Siap!” Bawang Putih tampak langsung mengangkut keranjang berisi cabe jawa. Ya, aku memang hendak membuat jamu cabe puyang. Kunyit dan lempuyang sudah siap sedia sejak kemarin, sedangkan cabe jawa baru saja kupanen tadi pagi. “Putih berangkat dulu, ya, Mbakyu!” seru Bawang Putih sambil tancap gas ke luar bilik kerja. “Hati-hati!” pesanku setengah berteriak. Bawang Putih tidak menyahut karena memang sudah menghilang dari pandangan. Aku menggeleng. Beberapa hari lalu, dia tercebur ke sungai karena terlalu semangat membantuku memetik buah ara. Semoga saja, anak itu belajar dari pengalaman agar lebih berhati-hati. “Yap! Saatnya mengolah sampel lagi!” Aku langsung merajang kunyit dan lemp
"Belenggu pengaturan cerita ini terlalu sulit untuk diputus." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Waktu seolah berhenti sejenak. Kami semua terpaku. Beruntung, aku cepat sadar, langsung menginjak kaki Yu Sari. Dia menjerit kesakitan dan refleks melepaskan cengkeraman. “Bulik ....” Aku bersimpuh di sebelah ibu Bawang Putih, mencoba melakukan pertolongan pertama. Darah segar terus merembes dari batok kepala. Bau anyir bercampur dengan aroma rumput basah. “ARGGGH!” Erangan memekakkan telinga. Ya, saat melihatku berlari membantu ibunya, Bawang Putih menggigit lengan preman. Tak hanya sampai di situ, dia juga langsung melakukan tendangan maut pada organ reproduksi si codet. Lelaki kekar itu tampak roboh ke tanah sambil memegangi benda pusakanya. “Ibu! Ibu!” Bawang Putih berlari ke arahku dan ibunya. Dia hampir saja mengguncang tubuh yang berlumur darah. Untung saja, aku berhasil mencegahnya. Sementara itu, warga mulai berdatangan. Wajah-wajah penuh amarah memburu Yu Sari. Selama ini, war