Surga.
Begitulah kiranya kata yang bisa menggambarkan suasana di sini. Indahnya padang rumput yang hijau dan langit biru yang cerah, disertai dengan bunga-bunga bermekaran bak permadani berwarna-warni. Kuning, merah, dan ungu, semuanya berbaris rapi sesuai dengan warnanya masing-masing.
Di tengah potret indahnya tempat ini terlihat seorang pemuda berpakaian tradisional Korea (Hanbok) berdiri menghadap ke belakang, dengan dua tangannya diletakkan di belakang pinggangnya. Pakaian yang dikenakannya berupa kemeja panjang (Sokgui) berlengan lebar bewarna biru muda dilapisi dengan rompi (Jeogori) berwarna biru tua yang dihiasi dengan berbagai macam corak nan indah, dilengkapi dengan celana panjang (Baji) berwarna abu-abu. Jahitannya sangat rapi dan kainnya terlihat sangat halus dan mengkilap, seperti terbuat dari kain sutera.
Tubuhnya tegap dan tinggi dengan perawakan yang tidak terlalu besar. Terlihat rambutnya yang hitam panjang, sangat indah menjuntai sampai ke punggung, dengan sebagian rambutnya diikat ke atas. Di atas kepalanya terdapat sebuah hiasan kepala berukuran kecil yang terbuat dari emas, tampak seperti sebuah mahkota.
Dari penampakannya itu, apakah... ia adalah seorang pangeran dari sebuah kerajaan? Mengapa ia hanya berdiri diam dan tidak menunjukkan wajahnya? Ah... tapi dilihat dari belakang saja, sudah bisa ditebak bahwa ia pasti berparas tampan.
Angin pun berhembus lembut... Rambut pemuda itu bergerak mengikuti permainan angin. Dengan perlahan-lahan, ia pun mulai memalingkan kepalanya ke belakang dan terlihatlah wajahnya yang tersembunyi di balik rambutnya yang indah itu.
Seperti dugaan... ia sangatlah tampan! Kulitnya putih bersih, bibirnya berwarna merah jambu, bentuk hidungnya sempurna, dan garis wajahnya tidak terlalu tegas. Dan yang terpenting dari semuanya adalah matanya yang menawan dan memancarkan sinar kelembutan.
Ia pun tersenyum... dan senyumannya sungguh sangat mempesona. Siapapun yang melihatnya pasti akan menyetujui bahwa senyumannya itu terlihat sangat indah. Selaras dengan indahnya pemandangan yang mengelilinginya pagi itu.
Namun tiba-tiba terdengarlah suara yang sangat berisik, merusak suasana hening dan indah pagi itu. Suara itu terdengar seperti... Doraemon?
"Ayo bangun! Bangun! Sudah pagi! Ayo bangun! Bangun! Sudah pagi! Ayo bang-"
Yura meraih telepon selulernya yang diletakkannya di atas meja dekat tempat tidurnya dan bergegas mematikan alarm Doraemonnya. Ia membuka mata perlahan-lahan sambil mengernyitkan alis karena silaunya matahari pagi yang menembus jendela kamarnya di lantai dua. Masih terbaring, ia pun terdiam sejenak mengumpulkan kesadarannya. Lalu tiba-tiba ia teringat akan mimpi yang ia alami sebelum terbangun.
"Ah... kenapa harus terbangun saat mimpi sedang indah-indahnya?" keluhnya sambil menghela nafas. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu, lalu turun dari kamarnya ke lantai bawah.
"Pagi. Cepat mandi lalu sarapan." Ibu Yura menyambutnya sambil menyiapkan sarapan.
Ibunya berusia 49 tahun, seorang wanita berperawakan sedang dengan rambut sebahu yang biasa ia ikat ke belakang. Tampak garis-garis keriput menghiasi wajahnya. Parasnya cantik namun kulitnya tidak terawat dengan baik, menandakan ia seseorang yang bekerja keras.
Yura pun berjalan menuju ke kamar mandi.
Selesai mandi, ia bersiap-siap di kamarnya. Ia mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih dan celana jeans longgar berwarna biru tua. Ia berdiri di depan cermin dan mengikat rambut coklatnya yang sepunggung panjangnya ke belakang, menyisakan sebagian poni sampingnya menjuntai di wajahnya. Ia merias wajahnya dengan riasan yang sangat tipis. Karena ia bukanlah tipe pesolek dan gadis trendi, ia lebih suka berdandan kasual dan apa adanya.
Yura sebenarnya adalah seorang gadis yang bisa dikatakan cantik. Matanya berwarna coklat gelap dengan bulu mata yang panjang dan ukuran mata yang terbilang cukup besar. Hidungnya kecil dan mancung, bibirnya mungil dengan bentuk wajah yang oval, dan kulitnya putih cerah. Dengan tinggi badan 165 cm, ia memiliki proporsi tubuh yang ideal. Usianya 26 tahun. Wajahnya bisa dikatakan sesuai usianya, tidak terlihat terlalu muda ataupun terlalu tua.
Yura pun turun ke lantai bawah menuju meja makan yang di atasnya sudah tersedia makanan untuk sarapan. Di sana sudah duduk ibu dan adik laki-lakinya yang mengenakan seragam sekolah. Ia memilih duduk di bangku depan adiknya.
Adiknya berusia 16 tahun, masih duduk di bangku SMA. Adiknya memiliki sifat yang tengil. Kulitnya agak kecoklatan karena terlalu sering bermain dii luar, dan rambutnya berpotongan cepak.
"Ah, Ibu... Sayur lagi. Mana dagingnya?" celetuk adiknya. Sifatnya memang seperti itu, tengil.
"Kau ini harusnya bersyukur masih bisa makan! Kau pikir daging itu murah?" Ibunya menepuk kepalanya dengan cukup keras.
"Yeonsu, makanlah apa yang ada. Sepertinya kau harus berhenti menonton video-video makanan di internet itu." Yura membela Ibunya. Yeonsu pun memasang wajah masam sambil terus makan.
Keluarga mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Yura hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal. Sejak saat itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja berpindah-pindah tempat sampai akhirnya sekarang bekerja di sebuah kedai mie. Setelah lulus SMA, Yura pun membantu ibunya bekerja. Ia pernah bekerja sebagai pelayan restoran, menjual produk kesehatan di jalan, dan menjadi petugas kebersihan di kantor. Semua dilakukannya demi keluarga kecilnya itu.
Selesai sarapan, Yura mengenakan sepatu kets putihnya di dekat pintu keluar.
"Bu, aku berangkat!" Yura berpamitan.
"Ya, hati-hati di jalan!" Ibunya menimpalinya.
Seperti hari-hari biasanya, ia berjalan kaki menuju halte bus dan menaiki bus menuju tempat kerjanya. Di dalam bus, ia hanya memandangi jalanan di luar sana sambil berpikir. Ia sudah mulai jenuh dengan kehidupannya sekarang. Sepertinya kehidupannya tidak mengalami kemajuan sama sekali meskipun ia telah bekerja keras. Ia jadi menyimpulkan bahwa kadang bekerja keras pun belum tentu mampu membuatnya mencapai kehidupan yang diinginkan.
Saat bus berhenti di halte selanjutnya, seorang lelaki muda menaiki bus. Pakaiannya rapi dengan kemeja dan celana panjang kain, rambutnya klimis disisir ke arah belakang. Ia memilih duduk di deretan bangku depan Yura.
Di belakang lelaki tadi, terdapat seorang wanita muda yang juga baru menaiki bus. Yura memperhatikan wanita itu. Ia mengenakan setelan kemeja yang sangat rapi dan rok selutut, dandanannya sangat cantik dan feminin, sesuai dengan busana yang ia kenakan.
Saat akan duduk di bangku depan sebelah kanan Yura, wanita itu tidak sengaja menjatuhkan telepon seluler yang dipegangnya. Lelaki yang duduk di depan Yura itu pun membantunya mengambil telepon seluler itu. Wanita itu mengucapkan terima kasih kepada si lelaki sambil kedua-duanya tersenyum.
Yura terus mengamati wanita itu secara diam-diam. Dilihatnya wanita itu diam-diam mencuri pandang kepada si lelaki tadi. Bergantian dilihatnya pria itu dari belakang. Meskipun tak terlihat ke mana arah pandangan matanya, lelaki itu jelas-jelas menoleh sedikit beberapa kali ke arah wanita tersebut.
Ah... drama apalagi yang aku lihat pagi ini? Norak sekali, batin Yura.
Sebagai seorang yang masih sendiri di usianya yang sekarang, ia menjadi tiba-tiba merasa muak melihat hal-hal romantis yang terjadi di sekelilingnya. Menurutnya hal itu sangatlah norak. Ia belum pernah merasakan cinta lawan jenis yang sesungguhnya. Karena itulah sifatnya juga menjadi agak keras.
Sesampainya di halte tujuan, ia pun turun dari bus dan berjalan ke tempat kerjanya. Ia berhenti di depan sebuah gedung dan melihat ke dalam gedung itu... Di depannya tampak sebuah minimarket dengan papan nama di atasnya bertuliskan GS27. Ya, di situlah tempatnya bekerja. Ia menghela napas kemudian berjalan masuk.
Yura mengenakan rompi hijau dengan logo GS27 di dada kirinya. Rompinya tidak jelek, hanya saja ia merasa muak tiap kali melihat rompi itu. Ia teringat akan kehidupannya yang hanya begitu-begitu saja. Ia berjalan menuju ke konter kasir. Di sana ada teman kerjanya yang lebih muda dan bertubuh agak gemuk, Jinguk, baru saja menyelesaikan gilira kerja malamnya dan masih mengenakan rompi. "Kak Yura, tadi malam ada orang yang memberiku tip. Uangnya aku belikan roti dan aku membelikanmu juga. Aku letakkan di laci untuk makan siangmu nanti ya." Jinguk tersenyum sambil meletakkan roti di laci meja kasir. Wajah bulatnya yang selalu tersenyum dan dihiasi dengan poni mangkok seakan menjadi vitamin bagi Yura untuk memulai hari kerjanya. Di tengah pekerjaan yang tidak disenanginya, ia masih bersyukur memiliki teman kerja yang sangat baik seperti Jinguk. "Wah... terima kasih Jinguk. Kau selalu mengingatku." Yura tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.
Yura, Youngjo, dan Sua berjalan bersama. Memang sudah menjadi kebiasaan, Youngjo menjemput Sua yang bekerja tidak jauh dari tempat Yura bekerja. Youngjo adalah seorang polisi muda, biasanya ia pulang di sore hari setelah selesai bertugas. Sesekali Youngjo akan mampir ke minimarket sambil menunggu Sua pulang. Tak jarang pula Sua hanya pulang berdua dengan Yura jika Youngjo mendapat giliran bekerja malam. Tapi jika Youngjo dan Sua bertemu di minimarket, mau tidak mau Yura harus pulang bersama mereka. "Yura, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Sua. "Mmm... Tidak ada. Mungkin hanya menonton televisi dan tidur. Bagaimana dengan kalian?" "Kami akan makan di kedai sup yang baru buka di daerah Sinchon. Sepertinya ulasannya bagus. Apa kau mau ikut?" Sua menatap Yura dengan wajah berharap. "Mmm... Tidak. Lain kali saja. Aku harus membantu ibuku menyiapkan makan malam." Yura beralasan. Ia merasa tidak enak hati tapi ia hanya tidak mau melanjutk
"Lepaskan!" teriak Yura kepada pria itu, sambil berusaha menarik kembali tangannya. Namun pria berambut keriting itu tidak mau melepaskan tangannya, sementara pria yang satunya lagi hanya tertawa sambil melihat perilaku tak pantas temannya itu. Tiba-tiba terlihat seseorang memegang lengan pria itu. Yura melihat ke arah orang tersebut. Youngjo! Ia datang tepat waktu! "Paman, tolong lepaskan tangan Nona ini!" pintanya dengan nada tegas. Kedua pria itu memandangi Youngjo dari atas sampai ke bawah. "Kau siapa?" tanya pria bertopi dengan nada meremehkan. Youngjo menggunakan tangannya yang satunya lagi untuk mengambil tanda pengenal kepolisiannya dari sakunya, dan menunjukkannya kepada mereka. Ia tidak bisa dengan mudahnya menunjukkan bahwa ia seorang polisi karena ia mengenakan pakaian biasa pada saat itu. "Lepaskan!" perintah Youngjo sambil menarik tangan pria itu. Kedua pria itu pun ketakutan dan langsung bergegas keluar dari minimarket.
"Aku pulang!" Yura memasuki rumahnya membawa bungkusan buku yang tadi dibelinya. "Apakah kau sudah makan?" tanya ibunya dari dapur sambil membereskan sisa makanan di atas meja. "Tadi aku sudah makan, Bu. Youngjo dan Sua mengajakku makan di kedai dekat minimarket," jawab Yura sambil melepas sepatunya. "Ya sudah kalau begitu. Cepat ganti bajumu dan mandi!" perintah ibunya. Ia pun naik ke lantai atas menuju kamarnya. Diletakkannya kantong plastik berisi buku-buku yang dibelinya tadi di atas meja, lalu berganti pakaian dan segera mandi sebelum hari semakin malam. Selesai mandi, ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Badannya terasa letih sekali. Hari itu terasa sangatlah panjang. Kemudian ia mengambil telepon selulernya dan membuka foto-foto dalam albumnya. Dilihatnya foto-foto yang menunjukkan dirinya sedang berpose bertiga bersama Youngjo dan Sua. Di dalam foto-foto itu, ia tampak sangat bahagia. "Hei Yura, sampai kapan kau ak
Yura masih tertidur pulas sementara novel di atas mejanya menunjukkan suatu aktifitas yang sangat tidak biasa. Jam 12.00 malam itu, di dalam tidur nyenyaknya, Yura mulai bermimpi. Mimpi ataupun bukan, yang pasti semua itu terjadi saat ia sedang tertidur... Yura membuka matanya perlahan. Ia melihat pemandangan yang sangat asing di depan matanya. Ia melihat dirinya duduk di depan sebuah cermin besar. Pada awalnya ia mengira bahwa bayangan di dalam cermin itu bukanlah dirinya karena terlihat sangat cantik, tak nampak seperti dirinya yang biasanya. Tetapi setelah ia memperhatikannya sekali lagi, ternyata benar itu adalah dirinya. Di dalam cermin, terlihat ia sedang duduk mengenakan pakaian tradisional Korea (Hanbok) yang sangat indah, terdiri dari sehelai kemeja panjang (Sokgui) berlengan lebar dengan warna merah muda dilapisi dengan rompi (Jeogori) berwarna ungu dengan berbagai macam corak berwarna emas, dan rok (Chima) berwarna ungu muda. Kainnya mengkilap dan sangat h
(Dunia Novel) Semua Putri dan Pangeran duduk di tempatnya masing-masing. Ratu Munmyeong duduk di samping Raja Muyeol, dan di sebelahnya lagi duduk Selir Yeongchang yang juga merupakan ibu kandung dari Putri Yoohye, Putri Yoseok, dan Pangeran Intae. Mereka duduk saling berhadapan mengelilingi sebuah meja makan berbentuk persegi panjang. Peralatan makan yang ada di atas meja terbuat dari emas. "Baik, semuanya sudah berkumpul. Hari ini sangatlah istimewa karena Pangeran Inmun baru saja pulang dari Tiongkok setelah beberapa bulan berada di Chang'an. Kita harus berterima kasih kepada Pangeran Inmun karena telah mengabdikan dirinya sebagai perantara diplomasi untuk Kerajaan Silla dan Dinasti Tang," puji Raja Muyeol dengan wajahnya yang sangat ramah. "Terima kasih, Yang Mulia," jawab Pangeran Inmun sambil menundukkan kepalanya kepada Raja Muyeol. Pangeran Inmun memiliki keahlian yang baik sebagai seorang diplomat, keahlian yang diturunkan oleh ayahnya yang j
Yura hari itu pulang sedikit lebih awal dari biasanya. Seperti pesan ibunya, ia harus membereskan semua pekerjaan rumah sebelum ibunya pulang dari rumah Bibi Su. Ia segera mengganti pakaiannya lalu membereskan dapur, mencuci piring-piring kotor, serta membersihkan sisa makanan adiknya. Adiknya yang bandel itu, mengetahui ibunya akan pulang lebih malam, akan menjadi lebih malas dari biasanya. Yura kemudian makan sendirian di meja makan. Ia hanya menemukan sup tahu dan kimchi di atas meja. Meskipun hanya itu yang tersisa, ia tetap memakannya karena sudah merasa sangat lapar. Sambil mengunyah makanannya itu, ia teringat kembali akan mimpi yang semalam ia alami. Masih terbayang nikmatnya sup daging yang dimakannya tadi malam. Itu adalah sup daging terenak yang pernah ia makan. Kemudian ia melihat sup tahu yang ada di depannya dan menghela nafas panjang. "Aku jadi ingin bermimpi makan makanan enak lagi malam ini," gumamanya pada diri sendiri. Selesai makan, ia pun
Putri Yoohye melihat Jenderal Besar Yushin dan Raja Muyeol sedang berjalan sambil bercaka-cakap, didampingi oleh beberapa Jenderal senior lainnya di belakang mereka. Saat itu Putri Yoohye sedang berada di taman sendirian, melihat ikan-ikan yang berenang kesana-kemari di dalam kolam. Tiba-tiba datang seseorang menghampirinya dari belakang. "Putri Yoohye," sapa lelaki itu dengan suaranya yang cukup berat namun bernada lembut. Putri Yoohye langsung menoleh ke arah lelaki yang memanggil namanya itu. Lelaki itu sangatlah tampan dan gagah. Ia memancarkan kharisma maskulinitas dengan kulit terangnya yang sedikit kecoklatan dengan garis wajah yang tegas dan badan yang tinggi serta tegap. Namun dari semua kesan kuat yang dimilikinya, ia memiliki pandangan mata yang memancarkan belas kasih. Lelaki itu berdiri menghadap Putri Yoohye dengan masih mengenakan seragam militernya. "Jenderal Wonjin," sapa Putri Yoohye dengan wajah bahagia. Ia merasakan kerinduan yang