Logan kemudian mendekat ke arah Francesca. "Bagaimana kau bisa kemari, Francesca? Maksudku, Amanda saat ini masih belum dapat ...."
"Menerima tamu lain selain keluarga maksudmu?" potong Francesca cepat. "Maaf, selain hanya mendengar sekilas kabar darimu, aku juga telah mendengar dari Mom. Ah, maksudku dari ibumu. Ia bahkan terlihat khawatir karena kau belum mengizinkannya untuk menjenguk menantunya. Maka dari itu, aku berinisiatif untuk datang kemari, karena Amanda juga telah seperti saudari bagiku, bukan?" ucap Francesca sambil tersenyum manis.
Mendengar jawaban Francesca, Amanda seolah ingin tertawa dan meledak secara bersamaan. Ia diam-diam memutar kedua bola matanya dan tersenyum sinis saat berpikir bagaimana kemampuan akting Francesca yang bersikap manis itu membuatnya begitu muak. Terlebih saat ia mengingat lagi bagaimana sikap genit dan manja yang wanita itu lakukan pada Logan tempo lalu di hotel itu.
"Kau telah bertemu dengan Mom, rupanya." Logan mengangguk kecil walau masih dengan raut bimbang. Ia kemudian berkata, "Baiklah, aku mengerti. Namun perlu kau ketahui, bahwa Amanda saat ini masih memerlukan banyak istirahat karena ...."
"Karena amnesianya?" potong Amanda. Kali ini ia meneruskan ucapan Logan karena tak ingin menjadi orang bodoh yang hanya diam saja sementara ia menyaksikan sandiwara keduanya.
Logan dan Francesca menatap Amanda secara bersamaan. Ada raut terkejut yang jelas Francesca perlihatkan padanya. Entah itu sungguhan atau hanya sekadar berpura-pura, Amanda tak tahu pasti. Yang pasti, sejak wanita itu mengucapkan tentang mertuanya tadi, Amanda yakin bahwa jelas Francesca telah mengetahui sesuatu.
"Apakah kau belum mengetahuinya dari Nyonya Meredith, Nona?" ucap Amanda lagi sambil menyebutkan nama ibu Logan, mertuanya.
Francesca kembali menunjukkan raut bingung. Ia menyelipkan rambut pirangnya dengan ragu sebelum meletakkan bungkusan yang ia bawa ke atas meja di dalam ruangan itu. "Sejujurnya, aku belum mengetahuinya. Apakah itu benar?" ucapnya seraya mendekat ke arah ranjang Amanda dengan nada menyesal.
Logan ikut mendekat dan mengangguk. "Itu benar. Amanda saat ini sedang mengalami amnesia. Jika ia mungkin berperilaku tak seperti biasanya, kuharap kau memaklumi itu."
"Oh, malangnya. Kau pasti merasa begitu berat, bukan?" Kali ini Francesca yang telah mendekat, meraih jemari Amanda dan bersikap penuh simpati seolah menyayangkan keadaan Amanda.
"Aku tak apa-apa dan terima kasih atas perhatianmu, Nona," balas Amanda sambil perlahan menarik tangannya karena merasa jengah.
"Oh, tidak, tidak, jangan panggil aku Nona. Aku sudah bukan lagi kekasih mau pun tunangan Logan seperti dulu. Kau tak perlu memperlakukanku seperti sebelumnya. Panggil saja aku Francesca. Bukankah begitu, Logan?" Walau terkesan ramah, entah mengapa Amanda merasa bahwa dengan ucapannya Francesca sengaja ingin menegaskan sesuatu padanya.
Amanda tersenyum kecil. "Baik, tentu saja. Walau aku masih belum mengingat dengan benar dan masih merasa aneh, tapi benar, memang Logan kini telah menjadi suamiku. Aku mungkin tak ingat bagaimana kita semua bisa melalui ini, tapi kurasa, bukan hanya aku saja yang merasa berat. Kita semua pasti merasa berat melaluinya, terutama kau, benar? Maafkan aku, Francesca."
Amanda berkata dengan raut menyesal pada Francesca. Kali ini ada semburat kemerahan pada wajah Francesca yang menunjukkan bahwa ia bereaksi dan menahan emosi apa pun yang mungkin ingin ia sembunyikan. Untuk gantinya, wanita itu kemudian tersenyum kecil.
"Well, itu sudah masa lalu. Semua sudah berubah. Dan ... aku tak tahu kau ternyata wanita yang begitu ... ekspresif?" ucapnya sedikit ragu sambil menatap Logan seolah ingin bertanya bagaimana Amanda bisa menjawabnya tanpa malu mau pun ragu. Jelas, ia terlihat tidak seperti Amanda yang ia kenal sebelumnya.
Tanggap dengan arti tatapan Francesca padanya, Logan kemudian menghampiri Amanda di sisi lain ranjang yang berhadapan dengan Francesca dengan tersenyum. "Sudah kukatakan bukan, ia mungkin akan berperilaku tak seperti Amanda biasanya yang kau kenal karena amnesianya, kuharap kau mengerti."
Francesca mengerutkan alisnya. "Ah, begitukah? Ya, tentu, aku mengerti," jawab Francesca masih sedikit ragu.
"Ada apa? Apakah aku sudah bersikap keterlaluan?" tanya Amanda kemudian pada Logan dengan wajah berpura-pura polos.
"Tidak, tidak, Sayang, bukan begitu. Orang lain yang belum mengerti tentang kondisimu mungkin hanya akan sedikit terkejut, itu saja." Logan terlihat buru-buru menenangkan Amanda sambil meraih jemarinya dan mengusapnya perlahan dengan kasual.
Seperti mendapatkan kejutan lainnya, Francesca seketika dibuat membeku oleh sikap Logan pada Amanda. Sikap yang tak pernah pria itu tunjukkan padanya sebelumnya itu, berhasil membuatnya tercengang. Namun, ia kemudian berhasil menutupi keterkejutannya itu dengan baik dengan senyum canggungnya.
Logan kemudian mengatur ranjang dan bantal untuk Amanda dengan posisi berbaring. "Kurasa, sudah saatnya bagimu untuk kembali beristirahat. Aku tak ingin kau merasa lelah," ucapnya.
"Aku tak lelah. Dan tak sopan rasanya untukku beristirahat saat sekarang ada seorang tamu yang sedang berkunjung menjengukku," balas Amanda.
Logan mengembuskan napasnya dan mengangguk. "Baiklah kalau begitu, kau benar. Mungkin hanya sebentar saja, tapi duduklah Francesca, aku akan membuatkanmu secangkir teh karena kau sudah di sini." Logan kemudian mempersilakan Francesca dengan lambaian tangannya untuk duduk di sofa di sudut ruangan.
Ia sendiri kemudian menuju ke arah meja kecil di sudut ruangan lainnya untuk membuat secangkir teh. Dan beberapa saat setelahnya, mereka kemudian duduk untuk menikmati teh yang telah disiapkan Logan.
Senyum Francesca merekah saat ia dan Logan lalu sama-sama tengah mengobrol ringan di sudut ruangan dengan sofa berwarna mint yang nyaman itu, ketika Amanda mencoba untuk mengabaikan kedua makhluk di sana dan memutuskan untuk tidur.
Siapa sangka, kehadiran Francesca nyatanya memang membuat Amanda merasa muak dan sebal. Ia yang seolah ingin berteriak kepada mereka dan mengingatkan betapa ia membenci mereka karena hampir membuatnya kehilangan nyawanya itu, kini hanya bisa menahan diri dalam tekanan emosinya sementara kedua pasangan itu asyik mengobrol.
Embusan napas yang keras yang sengaja ia keluarkan rupanya menarik perhatian Logan, hingga pria itu beranjak dari duduknya. Ia kemudian mendekatinya dan menatapnya dengan khawatir. "Kenapa, Sayang? Ada apa? Apa kau merasakan sesuatu?" tanyanya.
Bukan hanya Amanda yang bereaksi, namun Francesca ikut sedikit terkejut karena ia lagi-lagi merasa dibuat terkejut dengan perlakuan dan perhatian Logan pada Amanda. Ia mengerutkan alisnya dan tanpa sadar menggeram kecil.
Untuk Amanda sendiri, karena tak mengira Logan akan bereaksi dengan aksinya itu, ia kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia melirik Logan sejenak sebelum berkata, "Aku mual," ucapnya singkat.
"Benarkah? Apakah itu karena pengaruh obat pereda nyeri atau mungkin sesuatu yang lain? Aku akan memanggil dokter," ucap Logan sedikit panik.
"Tunggu," cegah Amanda sambil menahan lengan Logan. "Mungkin aku hanya perlu beristirahat," ucapnya kemudian penuh arti. Ia menatap Logan dan Francesca secara bergantian dengan raut seolah menyesal.
"Tentu saja. Oke, baiklah." Logan mengangguk setelah beberapa saat. "Sudah kukatakan sebelumnya padamu agar kau beristirahat, bukan?"
"Maafkan aku, aku sebenarnya tak apa-apa. Kalian bisa kembali bercakap-cakap, tak usah hiraukan aku karena aku akan tidur saja dan tak akan mengganggu kalian."
"Bicara apa kau? Oke, berbaringlah," balas Logan sambil menata ranjang dan bantal Amanda agar istrinya itu dapat berbaring dengan nyaman.
Setelahnya, ia kemudian menghampiri Francesca dan berucap sesuatu padanya hingga beberapa saat kemudian Francesca mengucap salam dan berpamitan pada Amanda yang telah berbaring memunggungi mereka.
"Aku pergi dulu, Amanda. Semoga kau lekas membaik," ucap Francesca ramah.
"Kurasa mungkin ia telah terlelap." Terdengar Logan membalas ucapan Francesca.
Amanda memang sengaja tak menghiraukan sapaan Francesca dan memilih untuk memejamkan kedua matanya sambil berbaring memunggungi keduanya. Ia mengembuskan napas dengan lega setelah terdengar pintu menutup di belakang punggungnya.
Dan ya, ia melakukan itu karena ia tak ingin melihat wanita itu walau hanya sedetik saja. Ia bahkan tak memedulikan anggapan Logan mau pun Francesca sendiri yang mungkin merasa aneh dengan sikap kasarnya.
Beberapa saat keheningan yang ia kira akan berlangsung lama itu, ternyata harus terpecah karena ia tiba-tiba merasakan telapak tangan yang hangat mulai mengusap-usap punggungnya perlahan. Ia tersentak dan sontak berbalik dari posisinya.
"Hei, jangan bergerak dengan tiba-tiba seperti itu. Apa kau masih merasa mual, Sayang?" tanya Logan dengan mata teduh kehijauan miliknya itu sambil masih mengusap punggungnya perlahan. Ia terlihat begitu perhatian pada Amanda. "Apa mungkin kau merasa pegal karena terlalu lama berbaring?"
"Mengapa kau di sini?" tanya Amanda sedikit heran.
Logan mengerutkan alisnya. "Untuk menjagamu, tentu saja. Mengapa kau bertanya? Apa kau ingin memuntahkan sesuatu karena mualmu?"
"Tidak. Kukira kau pergi dengannya," jawab Amanda kemudian. "Bukankah kau harus menemani Francesca?"
"Mengapa aku harus menemaninya?" tanya Logan.
"Entahlah, untuk menenangkannya atau minta maaf padanya karena mungkin ia berpikir bahwa ia sudah kuusir secara halus atau semacamnya hingga ia merasa tak enak karena sikap kasarku, mungkin?"
Seolah sudah terbiasa dengan sifat baru yang dimiliki Amanda melalui ucapan yang tersirat dan bermaksud tersembunyi yang dilontarkan istrinya itu, Logan hanya menggeleng kecil dan tak menanggapi ucapan Amanda dengan menjawabnya. Ia sudah memutuskan akan memaklumi semua sikap kasar mau pun ucapan istrinya yang terkesan dingin atau terkadang ketus padanya itu dengan santai.
"Ia tak akan berpikir seperti itu. Dan untuk apa aku melakukannya. Kaulah pasien di sini yang perlu kujaga. Justru kami yang seharusnya membiarkan kau untuk beristirahat dan tak mengobrol seperti tadi."
"Oh ya? Yeah, baguslah kau menyadarinya," jawab Amanda sedikit sinis.
Logan mengangguk kecil. Ia tahu, Amanda saat ini sedang mengalami perubahan emosional pasca operasinya yang meninggalkan jahitan cukup panjang di kepalanya itu. Logan hanya tak ingin membuat keadaan istrinya memburuk dengan kondisinya yang belum stabil. Maka, ia hanya akan menerima apa pun yang Amanda lontarkan padanya karena kebingungannya akibat kemungkinan efek dari amnesianya.
"Apa yang kau lakukan?" Amanda sedikit berjengit kaget ketika kemudian Logan serta-merta duduk di samping ranjangnya yang cukup besar dan mulai merebahkan diri di sampingnya.
"Yang membutuhkan teman adalah kau. Beristirahatlah, Sayang. Dan biarkan aku tidur sejenak karena aku juga terlalu lelah akibat semalam lembur."
"Apa-apaan kau? Kau tak bisa tidur di sini!" protes Amanda keras.
"Oh ya, tentu bisa. Ranjang ini cukup besar untuk kita berdua. Aku bisa tidur menyamping." Tanpa menghiraukan Amanda, pria itu kemudian menutup kedua matanya.
"Logan, jangan bercanda denganku. Turunlah!" ucap Amanda kemudian.
Logan kemudian hanya bergeser sedikit dan mengubah posisinya. Ia kini justru ikut tidur menyamping dan mulai memeluk pinggang Amanda.
"A ... apa yang kau lakukan? Jangan menyentuhku!" ucap Amanda panik.
"Ssh, diamlah. Aku sekarang sedang mencoba untuk tidur sambil memelukmu," jawab Logan dengan senyum kecil.
"Apa?" protes Amanda harus tertahan karena Logan kemudian mengembuskan napasnya perlahan sambil mempererat pelukannya.
"Kau jelas sudah tak waras," geram Amanda.
Tanpa mereka ketahui, Francesca yang sebelumnya telah pergi, ternyata sedang diam-diam mengawasi mereka dari balik pintu berkaca kecil sambil menatap pasangan itu penuh arti.
"Mengapa kau tak menghilang saja, Amanda?" geramnya perlahan dengan mata berkilat-kilat yang penuh dendam. Hilang sudah keceriaan yang sebelumnya ia tampakkan di hadapan pasangan itu. Kini, hanya ada tatapan permusuhan yang terlihat dalam raut wajahnya.
____****____Logan sesekali menatap Amanda yang memalingkan wajah darinya dan menatap ke arah jendela saat mereka dalam perjalanan pulang sore itu pada keesokan harinya.Edie, sopir pribadinya mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan berhati-hati ketika melintasi jalanan dalam perjalanan membawa istrinya kembali. Ia pun telah memerintahkan para pelayan di rumahnya untuk mempersiapkan kamar dengan peralatan khusus agar Amanda merasa nyaman dalam masa pemulihannya yang mungkin dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan itu. Tak lupa, perawat profesional telah ia sewa selama masa pemulihan Amanda di rumah.Logan sejenak teringat lagi kemarin bagaimana Amanda menangis saat ia terbangun dari tidurnya di samping istrinya yang sudah terisak itu. "Aku ingin pulang sekarang," ucap Amanda kala itu ketika Logan mendapatinya menangis."Pulang? Mengapa? Apakah kau sudah tak nyaman di sini?" tanyanya sambil berpikir sejenak."Aku ingin pulang dan bertemu Andrew," jawab Amanda jujur.Ada jeda sejenak
Setelah Logan melepas sabuk pengaman Amanda, ia kemudian bergegas membuka pintu penumpang untuknya. Ia dengan sigap memposisikan dirinya dengan menyisipkan kedua lengannya di belakang tubuh Amanda yang masih setengah berbaring."Apa yang akan kau lakukan?" tanya Amanda waspada saat melihat gestur tubuh Logan yang bersiap untuk membopongnya. "Aku akan memakai kursi roda saja," lanjutnya defensif ketika tubuhnya menempel dengan posisi yang sempurna pada dada bidang Logan."Itu akan terlalu lama dan akan menimbulkan guncangan saat melewati permukaan terjal," balas Logan cepat.Hanya dalam hitungan detik, Logan kemudian berhasil mengeluarkan Amanda dengan hati-hati dari dalam van dan membopongnya dengan kedua lengan kokohnya seolah Amanda adalah benda rapuh yang ringan."Pegangan padaku jika kau tak ingin terjatuh," ucapnya lagi yang kemudian dilakukan dengan patuh oleh Amanda sembari mengalungkan kedua lengannya pada leher pria itu."Mommy! Mommy!" teriakan kegirangan dari Andrew saat Lo
Amanda telah rapi dan meminum obatnya saat beberapa waktu yang lalu sang putra bersiap berangkat ke sekolah bersama pengasuh dan sopir pribadi mereka pagi itu. Sebelum berangkat, Andrew menyempatkan diri untuk berpamitan dan menciumnya.Amanda dibantu dan dirawat oleh dua orang perawat pribadi yang dipekerjakan Logan. Mereka adalah Mery dan Angie, para perawat muda yang bertugas merawat pasien dalam masa pemulihan seperti dirinya."Apa istriku telah makan dan meminum obatnya?" tanya Logan yang saat itu masuk ke dalam kamar tidur utama di lantai satu kepada para perawat."Sudah, Tuan. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan rutin dan telah kami laporkan hasilnya pada dokter Bern. Perban yang lama pun telah kami ganti."Logan mengangguk dan menghampiri Amanda. Ia duduk di tepian ranjang dan meraih jemari Amanda yang tengah bersandar di kepala ranjang. "Apa yang sekarang kau rasakan?" tanyanya."Aku merasa baik. Nyeri di kepalaku pun telah berangsur mereda.""Baguslah, jika kau membutuhkan
"Ha ... halo, Nyonya Meredith," balas Amanda. Ia menahan kegugupannya dari aura menekan yang seolah sedang Meredith kirimkan padanya.Ada jeda sejenak dan rasa terkejut yang wanita itu perlihatkan saat Amanda membalas sapaannya. Jelas ia terlihat takjub sekaligus tak percaya saat mengamati Amanda ketika wanita itu memanggilnya dengan sebutan nyonya, seperti dahulu saat ia masih menjadi sekretaris putranya. Ia berbinar penuh dengan keingintahuan.Amanda sejenak berpikir, sudah benar memang keputusan Logan sebelumnya yang bersikeras untuk tak meminta siapa pun datang menjenguknya kecuali keluarganya. Yah, walau kedatangan Francesca kemarin tak masuk dalam rencananya, setidaknya ia tak harus melihat wajah ibu mertuanya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena ia yakin, harinya pasti akan terasa buruk setelah kedatangan wanita itu."Oh, Sayang," balas Meredith kemudian.Entah raut wajah apa yang sedang Meredith tunjukkan. Namun, saat ini di mata Amanda, wanita itu sedang merasakan kebi
"Ko ... konyol?" Meredith sontak mengubah mimik wajahnya yang sebelumnya tampak tak terkontrol menjadi murka. Ia jelas sangat terkejut saat Amanda berani menjawabnya dan bahkan mengatainya konyol seolah tanpa ada rasa ketakutan mau pun rasa canggung seperti Amanda yang sebelumnya.Ada jeda sejenak setelah ia berhasil mengucapkan kata-katanya dan mengembuskan napasnya. "Oh, benar. Haha ... konyolnya aku, bukan? Haha!" balas Meredith kemudian seolah ia ikut menertawakan dirinya sendiri. Namun, diam-diam ia sedang berusaha menekan rasa keterkejutannya itu.Beberapa saat setelah tawa palsunya mereda, ia kemudian berkata, "Well, kau sudah memanggilku dengan sebutan mom secara kasual. Kurasa, itu awal yang bagus," lanjutnya lagi sambil menahan kegeramannya. "Jika kau sudah membaik, maka kurasa kita dapat kembali mengurus butik bersama-sama, bukan?" tanyanya."Butik? Butik apa?" tanya Amanda seolah tak mengerti, sementara ia mulai dapat membaca arah pembicaraan Meredith.Ia memang harus berp
Amanda merasa begitu bahagia dan tenang sepanjang hari setelah ia berhasil membuat ibu mertuanya kesal dan pergi begitu saja dari rumah pagi tadi. Namun, ia yang tengah berbunga itu, malamnya harus merasa sedikit kesal karena lagi-lagi Logan memutuskan untuk ikut tidur seranjang dengannya dan Andrew saat waktu istirahat tiba.Setelah putranya puas bermanja dan bercengkerama bahagia dengannya, kini Andrew yang telah lelah akhirnya dapat tertidur di sampingnya juga. Amanda dengan bahagia mengusap wajah lembut dan rambut halus putranya itu sementara ia sedang terlelap. Jika telah begitu, ia merasa tak ada yang dibutuhkannya lagi karena merasa begitu tenang."Kapan kau akan memulai fisioterapimu? Jika keadaanmu telah memungkinkan, aku akan mengatur jadwal dan mempersiapkan ruangan yang bisa kau gunakan," ucap Logan lembut sambil ikut membelai kepala sang putra."Seharusnya ruang area olah raga kita cukup untuk itu, bukan?" lanjut Logan."Ya, terserah padamu. Kurasa aku hanya memerlukan te
Logan mengerjap dan menatap Amanda dengan heran. Ia bahkan sempat menghentikan aktivitasnya karena terkejut dengan ucapan Amanda yang mengatainya mesum. "Me .. Mesum? Apa yang kau katakan tadi? Mengapa kau mengatai suamimu sendiri dengan sebutan mesum?" Ia masih mengerjap-ngerjapkan kedua matanya karena tak menyangka reaksi Amanda yang bisa mengatainya itu." Ya. Kau mesum karena kau selalu menyentuhku saat dekat denganku!" protes Amanda. "Kau tidak seharusnya bersikap seperti ini, Logan!" tegasnya lagi. Logan kemudian memicingkan kedua matanya. Bukan karena amarah, namun lebih ke merasa heran. "Wah, kau sungguh keterlaluan, Sayang. Benarkah itu yang kau pikirkan tentangku? Tentang suamimu sendiri?" tanyanya sambil mengerutkan alisnya."Tunggu ... tapi, memangnya seperti apa seharusnya sikapku padamu? Dan mengapa aku tak boleh menyentuh istriku sendiri?" Tatapan curiga mulai Logan perlihatkan pada Amanda, dan itu sukses membuat Amanda tertegun.Amanda kemudian mengutuk dirinya dalam
Seorang pria dengan wajah tampan terlihat sedang berdiri gagah sambil menerawang pemandangan perkotaan di hadapannya melalui jendela kaca besar di dalam ruangan kantornya pagi itu, saat matahari cerah telah menerangi seluruh area ruangan miliknya.Ia yang mengenakan setelan berwarna abu muda, tampak terlihat bagaikan model dengan postur tubuh tegap yang tinggi yang terlihat begitu bergaya dan menawan. Dan jelas, dengan wajah tampannya, pastinya ia mampu dengan mudah memikat wanita mana pun sekali mereka melihatnya."Tuan, rapat akan dimulai sebentar lagi. Sebaiknya kau bersiap sekarang," ucap seorang pria berkacamata yang masuk ke dalam ruangannya setelah mengetuk beberapa kali tanpa berbasa-basi.Pria yang dipanggil tuan itu kemudian menghela napasnya dengan berat. "Kau saja yang memimpin rapat itu, Peter," balasnya masih sambil menatap pemandangan di hadapannya dengan raut muram."Dengar, Tuan, ah ... tidak, Liam," ralat pria yang dipanggil Peter itu. "Sampai kapan kau akan berdiam