Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Desa Muara Ujung, circa 1996.Desa Transmigrasi itu begitu terpencil, dikelilingi hutan lebat tidak berujung. Kota begitu jauh, mungkin agak sulit untuk dicapai bagi para penduduk yang tinggal di tempat tersebut.Aku memandang ke langit, menikmati gulungan awan yang terlihat mengundang. ‘Kenapa aku setuju ke tempat ini?’ batinku, sedikit menyesali kesepian yang menyelimuti.Perlahan, gulungan awan hitam menghalangi cahaya matahari, menelan awan putih bersih yang kunikmati.‘Sepertinya akan hujan,’ batinku lagi seraya bangun dari kursi, berniat membereskan jemuran yang seharusnya sudah kering. ‘Kapan Satria akan pulang, ya?’Satria adalah suamiku, pria yang membuatku setuju untuk datang ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian ini. “Tinggal di desa lebih enak, Dek. Nggak ramai, nggak ada tekanan berat juga. Kita tinggal di desa aja, ya,” ujar pria itu dahulu ketika akhirnya kusetujui lamarannya.Terlanjur cinta. Pernyataan klise, tapi nyata. Kalau bukan karena cinta, aku pastinya t
“Hahhh ….” Nafasku terengah-engah. Lagi-lagi, mimpi buruk itu. Sudah dua hari Satria dikuburkan, tetapi di mimpiku seolah dia kembali ke rumah ini–seperti ada sesuatu yang belum selesai dilakukannya. Namun, semua itu kutampik. Kurasa aku masih belum bisa menerima kepergiannya. Aku melihat sekelilingku. Gelap. Bahkan, lampu minyak di sudut kamarku, tidak membantu penerangan sama sekali. Desa yang awalnya sepi, semakin sepi karena malam. Bahkan, terasa hening sekali. Jika ada jarum yang jatuh ke lantai rumah ini, mungkin tetanggaku yang rumahnya cukup jauh dari sini, dapat mendengarnya. Mungkin, ini perasaanku saja. Sejak kematian mendadak Satria di rawa-rawa, jarang sekali orang yang sengaja keluar rumah pada malam hari. Desa ini semakin tampak kosong. Kalau saja tidak ada lampu-lampu lima watt yang menyala dari depan rumah, kuyakin orang luar akan mengira bahwa desa ini tidak berpenghuni. Aku pun menuju ke ruang tengah dan meraih buku dengan tulisan Aminah Siti Nur di sampulnya.
Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.Brak!Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.Sosok itu terlihat sangat pucat.Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.Wajah pucat itu dipenuhi t