Desa Muara Ujung, circa 1996.
Desa Transmigrasi itu begitu terpencil, dikelilingi hutan lebat tidak berujung. Kota begitu jauh, mungkin agak sulit untuk dicapai bagi para penduduk yang tinggal di tempat tersebut.
Aku memandang ke langit, menikmati gulungan awan yang terlihat mengundang. ‘Kenapa aku setuju ke tempat ini?’ batinku, sedikit menyesali kesepian yang menyelimuti.
Perlahan, gulungan awan hitam menghalangi cahaya matahari, menelan awan putih bersih yang kunikmati.
‘Sepertinya akan hujan,’ batinku lagi seraya bangun dari kursi, berniat membereskan jemuran yang seharusnya sudah kering. ‘Kapan Satria akan pulang, ya?’
Satria adalah suamiku, pria yang membuatku setuju untuk datang ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian ini. “Tinggal di desa lebih enak, Dek. Nggak ramai, nggak ada tekanan berat juga. Kita tinggal di desa aja, ya,” ujar pria itu dahulu ketika akhirnya kusetujui lamarannya.
Terlanjur cinta. Pernyataan klise, tapi nyata. Kalau bukan karena cinta, aku pastinya tidak akan setuju tinggal di tempat suram seperti ini.
Hutan mengelilingi desa, lampu di malam hari pun hanya segelintir. Terkadang, aku bisa mendengar lolongan dari dalam hutan, entah apa itu hewan … atau makhluk jelmaan.
Selesai membereskan jemuran, aku beranjak dengan niatan memasak makan malam. Namun, baru saja ingin kuraih pisau di dapur, sebuah teriakan lantang menghentikanku, “Minah! Aminah!!”
Teriakan tersebut terdengar panik, membuatku bergegas lari keluar untuk melihat siapa pemilik suara. “Pak Dani?” panggilku dengan alis tertaut. “Kenapa–”
Dengan wajah pucatnya, Pak Dani mencengkram tanganku kuat, membuatku tersentak karena tindakannya yang agak kasar. “Satria, Minah. Satria ditemukan tenggelam di rawa-rawa!”
***
Berulang kali kudengar ucapan-ucapan doa dari para warga yang mengiringi rombongan penggotong peti. Sejumlah warga desa yang menjadi bagian dari rombongan dengan wajah datar dan suram mengucapkan kata itu seakan ingin menyadarkanku dari kenyataan mengerikan,
Berbeda dengan anggota keluarga yang seharusnya menangis ketika ditinggal orang tercinta, diriku hanya terdiam dengan pandangan kosong selagi berjalan bersama rombongan. Bukan, bukan karena tidak bersedih, tapi karena aku tidak mampu menerima kenyataan.
“Dek Aminah, yang sabar ya,” ujar Pak Dani, kepala desa, mencoba untuk menghibur diriku yang sekarang terduduk di sisi kuburan Satria. Manik hitamnya melirik sosok di sampingku, lalu kembali berbisik, “Dek Aminah harus sabar. Masih ada Ayu yang harus dijaga.”
Ucapan tersebut membuatku melirik gadis kecil dengan pakaian hitam yang membalut dirinya. Pandangannya jernih, tidak sedih maupun menangis. Kentara jelas bahwa Ayu, anak sambungku dari pernikahan pertama Satria, masih tidak mengerti bahwa sang ayah telah tidak ada.
“Bapak pamit dulu ya, Dek,” ujar Pak Dani seraya melangkah pergi, membiarkanku dan Ayu berdua di sisi makam.
Menyadari tatapanku padanya, Ayu pun mengangkat pandangannya dan membalas tatapanku dengan manik hitam segelap malamnya. “Bunda, kok Ayah tidur di dalam tanah?” tanyanya. “Ayah kapan keluar dan main sama Ayu, Bu?”
Pertanyaan Ayu sontak memaksaku menghadapi kenyataan. Tubuhku bergetar, dan air mata pun luruh menuruni wajahku.
Kupeluk Ayu dengan erat. “Ayu, Ayah sudah nggak ada, Sayang. Ayah sudah pergi ninggalin kita. Ayu harus kuat sama Bunda, ya,” tangisku.
Mendengar balasanku, Ayu melepas pelukan dan menatapku bingung. “Bunda kok ngomong gitu? Ayah jelas-jelas tidur di dalam.”
Pernyataan Ayu membuatku membeku, mengira bahwa bocah tersebut masih belum bisa menerima kenyataan atas kepergian ayahnya dan mulai berhalusinasi. “Ayu, Ayah sudah meninggal! Ayah tenggelam di rawa saat pergi sama kamu!” teriakku, mengguncang tubuh Ayu yang mungil itu, melampiaskan amarah dan emosi tidak terimaku.
“Ah! Bunda sakit! Lepasin Ayu!” teriak gadis itu seraya mencoba membebaskan diri. Mata hitamnya menatapku dalam selama beberapa saat sebelum mendadak berpindah dan membesar. “Itu Ayah sudah keluar!”
Teriakan Ayu membuatku semakin marah. “Ayahmu sudah nggak–!”
“Aminah,” sebuah suara parau memanggilku dari belakang, membuat bulu kudukku berdiri.
‘Suara ini,’ batinku, mengenalinya.
Perlahan, aku pun menoleh, mencoba melihat siapa yang sekarang berada di belakangku.
Detik berikutnya, aku mematung di tempat. Ekspresiku berubah ngeri, dan tubuhku pun melemas.
Satu sosok familier yang sempat kucintai itu–Satria–terlihat di hadapan. Hanya saja, tanaman rambat yang melilit lehernya kencang tampak menghancurkan tulang-tulangnya, menekan aliran darah dan membuat wajahnya membiru. Kulit yang membusuk akibat terendam lama di air rawa mengeluarkan bau anyir yang memuakkan.
“Hahhh ….” Nafasku terengah-engah. Lagi-lagi, mimpi buruk itu. Sudah dua hari Satria dikuburkan, tetapi di mimpiku seolah dia kembali ke rumah ini–seperti ada sesuatu yang belum selesai dilakukannya. Namun, semua itu kutampik. Kurasa aku masih belum bisa menerima kepergiannya. Aku melihat sekelilingku. Gelap. Bahkan, lampu minyak di sudut kamarku, tidak membantu penerangan sama sekali. Desa yang awalnya sepi, semakin sepi karena malam. Bahkan, terasa hening sekali. Jika ada jarum yang jatuh ke lantai rumah ini, mungkin tetanggaku yang rumahnya cukup jauh dari sini, dapat mendengarnya. Mungkin, ini perasaanku saja. Sejak kematian mendadak Satria di rawa-rawa, jarang sekali orang yang sengaja keluar rumah pada malam hari. Desa ini semakin tampak kosong. Kalau saja tidak ada lampu-lampu lima watt yang menyala dari depan rumah, kuyakin orang luar akan mengira bahwa desa ini tidak berpenghuni. Aku pun menuju ke ruang tengah dan meraih buku dengan tulisan Aminah Siti Nur di sampulnya.
Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.Brak!Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.Sosok itu terlihat sangat pucat.Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.Wajah pucat itu dipenuhi t
Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.“Bunda, Ayu takut!”Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan
Arggghh!Aku merenyit kesakitan ketika pecahan-pecahan kaca itu aku injak, wajahku tak kuasa menahan rasa sakit ketika aku berlari ke arah kamar Ayu pada saat itu.Aku panik, benar-benar panik, aku tidak memperdulikan kakiku yang kini berlumuran darah segar yang menetes ke lantai.Suasana benar-benar terasa mencekam ketika aku berlari ke arah kamar, jarak yang seharusnya dekat pun terasa jauh, apalagi ditambah dengan rasa sesak yang aku rasakan, seperti sedang menembus beberapa orang yang saling berdesakan di ruangan yang kecil ini.Aku berusaha sekuat tenaga untuk cepat sampai ke arah kamar, meskipun aku harus berjibaku dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan sekarang.Namun,Ketika aku beberapa langkah lagi sampai ke depan kamar. Di balik sebuah tirai kamar yang terbuka, aku melihat seseorang yang sedang berdiri tegak dan memandang ke arahku.Lampu kamar yang terang membuatnya seperti bayangan yang berdiri di pintu kamar dengan tirai yang tersibak.Aku sontak berhenti, aku tak
Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada peneranga
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda