Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.
Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.
Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.
Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.
Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini sudah benar-benar diluar nalar, dan tidak mungkin ada orang yang percaya atas apa yang aku alami sekarang.
“SATRIAAAA!”
Aku kembali berteriak di tengah hutan, langkahku semakin lama semakin cepat. Nafasku yang berat tidak menghalangiku untuk berlari untuk mengambil Ayu kembali, karena aku tidak mau Ayu menjadi korban atas ulah dari ayahnya sendiri yang sudah meninggal.
Pohon-pohon tinggi yang berada sisi kiri dan kananku aku lewati sebisaku, pohon yang umurnya sudah ratusan tahun yang dipenuhi oleh lumut dan tumbuhan liar yang muncul di sekitarnya, menciptakan sebuah aura mistis yang kental terasa olehku ketika aku berlari mengejar Satria yang ada di depanku pada saat itu.
Aku yang kelelahan, dengan rasa perih yang terus-menerus aku tahan sekuat tenaga terlihat terburu-buru, meloncati batu, menundukan tubuhku di antara batang-batang pohon tumbang yang menghalangi jalanku.
Bahkan, terkadang aku harus melewati lumpur yang membuat kakiku perih karena banyak sekali kerikil dan lumpur yang menyentuh kulitku yang masih terluka setelah aku menginjak potongan kaca bingkai sewaktu dirumah tadi.
Aku terus berlari dan berlari, mencoba mendekati Ayu dengan teriakan-teriakan yang menggema di seluruh hutan, sebuah teriakan yang keras agar Satria tidak membawa Ayu dan menerornya lebih dari ini.
Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku seperti tidak bisa mendekati Satria meskipun aku sudah mengeluarkan sebagian besar tenagaku untuk mendekati mereka.
Satria masih terus melayang di antara pepohonan hutan yang lebat itu, menyeret Ayu dengan paksa dan tanpa ampun. Bahkan beberapa kali kakinya tersandung batu, tubuhnya yang terbentur batang pohon, bahkan rambutnya yang tersangkut semak-semak berduri yang ada di hutan.
Aku dengan jelas melihat tubuh Ayu seperti barang yang sudah tidak dia butuhkan lagi, dia sudah benar-benar tidak peduli dengan kondisi Ayu pada saat itu. Tangan dan kaki yang memar dan penuh luka, bahkan kini kulitnya robek dengan darah yang mengucur di kakinya.
‘kenapa?’
‘kenapa?’
‘kenapa aku tidak bisa mendekati Satria?’
Nafasku benar-benar terengah-engah sekarang, entah mau dibawa kemana Ayu sekarang. Dia terus-menerus melayang di antara pepohonan hutan yang gelap itu. Melewati semak-semak hutan, menembus rimbunnya hutan rimba yang menjadi pembatas desa, tanpa peduli bahwa anak yang dia cekik sekarang sudah tidak berdaya lagi.
Hingga akhirnya, aku benar-benar sudah mencapai batasku sekarang. Aku benar-benar lelah, aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk mengejar Satria yang sedang membawa Ayu entah kemana.
Aku bahkan menundukan tubuhku, mencoba menahan kakiku sendiri dengan kedua tanganku agar aku tidak ambruk di tengah hutan yang gelap ini.
Aku benar-benar kecapean, nafasku semakin berat. Keringat dingin yang awalnya muncul karena ketakutan ku kini mulai berganti dengan keringat disertai oleh tubuhku yang panas karena kecapean.
Hah, hah, hah,
‘Kamu benar-benar keterlaluan Satria, benar-benar keterlaluan!’
‘Mau dibawa kemana anakmu i......’
Aku bergumam sambil menundukan wajahku, anu benar-benar mengutuk tindakan Satria sekarang, sesosok wujud tanpa tubuh yang meneror kita berdua dengan sangat mengerikan. Membawa Ayu yang merupakan anak satu-satunya untuk dia bunuh dan mati bersamanya.
Namun, ketika aku mengucapkan kalimat selanjutnya, aku kembali kehilangan Satria. Aku kembali lengah, sehingga aku kehilangan jejaknya lagi sekarang.
Argggghhh!
Aku mengeram dan mengepalkan kedua tanganku dengan emosi yang memuncak. Sebenarnya, ada apa dengan mereka berdua, kenapa Satria bisa berbuat seperti ini dengan anaknya sendiri.
Aku menghirup nafas panjang, mencoba melangkahkan kakiku kembali melewati hutan yang lebat itu. Aku berusaha mengira-ngira kemana Satria membawa Ayu pergi sekarang. Aku mengamati jejak kaki Ayu yang terseret ke tanah, juga posisi bulan yang bisa membantuku berjalan dengan sinarnya yang masih terlihat redup.
Hutan dari tanah gambut yang penuh akar itu tidak menyurutkan ku untuk berhenti kembali. Aku terus menyusuri hutan di kegelapan malam.
Hingga akhirnya, sebuah cahaya terang terlihat. Sebuah cahaya dari sinar bulan yang menyala dan tidak tertutup pepohonan hutan kini berada tidak jauh dari tempatku berjalan.
Aku semakin mempercepat langkahku, aku tahu bahwa itu adalah jalan keluar dari hutan ini, hutan yang sangat gelap, rapat dan rimbun juga menyeramkan apabila kita masuki pada malam tiba.
Krosak, krosak, krosak
Semakin cepat, aku melangkahkan kaki, maka semakin cepat pula aku akan keluar dari hutan ini.
Namun,
Tepat aku menginjakan kakiku di dekat hutan, aku mendadak berhenti. Tatapanku kini menatap lurus ke sebuah makam yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri.
Sebuah makam yang baru saja ada disana dalam beberapa hari ini.
Makam dari Satria, makan suamiku yang kini menerorku pada malam ini.
Juga…
Tepat di atas makan tersebut, Ayu tampak sedang berjongkok di bawah sinar bulan yang tepat menyinari dirinya. Rambutnya yang panjang kini terurai menutupi sebagian wajahnya.
Darah merah yang segar masih terlihat dengan jelas, darah yang muncul dari luka-luka yang dia terima ketika dia dibawa oleh Satria sewaktu berada di dalam hutan.
Bahkan kini, aku bisa dengan jelas melihat ada darah segar yang mengucur dari kepalanya, juga mulutnya yang terlihat berdarah seperti habis memakan hewan yang berada di dalam hutan.
Dia sadar, bahwa tak jauh darinya ada aku yang sedang berdiri menatapnya. Bahkan, dia tiba-tiba memiringkan kepalanya dan menyeringai kepadaku pada saat itu.
Mulut Ayu tiba-tiba terbuka, dia berbicara kepadaku dengan nada suara yang berbeda.
“Minah!”
Posisi yang awalnya berjongkok di tengah makam tiba-tiba berubah menjadi merangkak di atas makam, kedua tangannya kini dia letakan ke tanah dengan posisi kepala yang dia condongkan ke arahku.
“Kau tahu kan, bahwa kamu tidak boleh mencampuri urusanku dengan anak ini?”
“Karena, kalau tidak…”
“AKU AKAN MEMBUNUHMU JUGA!” katanya sambil melompat ke arahku yang sedang berdiri disana dengan tatapan matanya yang melotot tajam.
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal d
BrakSuara pintu rumah tiba-tiba dibuka dengan sangat keras. Sebuah rumah yang mirip dengan yang Minah tinggali dari bentuk dan rupa terlihat dengan jelas, tetapi rumah ini difungsikan untuk menjadi sebuah Puskesmas kecil dengan kamar tambahan sebagai kamar pasien di sebelah kiri.Ruangan pertama ada ruangan tunggu, yang hanya beralaskan beberapa tikar sebagai alas dan tempat duduk pasien untuk menunggu. Tidak ada kursi yang berjejer, tidak ada meja resepsionis seperti Puskesmas-puskesmas lain yang ada di kota, semuanya begitu sederhana.Yang ada hanyalah sebuah gambar-gambar di dinding tentang pemeliharan kesehatan tubuh yang dikirim oleh pemerintah setempat, juga sebuah meja kecil tempat Pak Ridwan menerima semua pasiennya sebelum nantinya dia cek di ruangan yang ada dibelakangnya.Pak Ridwan tampak panik. Ayu yang awalnya dibawa Minah langsung dia gendong dan dia bawa masuk ke dalam rumah, dia masuk ke ruang tunggu dan berbelok ke arah kiri dimana kamar pasien itu berada.Dengan ce
Aku langsung membisu mendengar apa yang dibicarakan oleh Pak Ridwan pada saat itu. Dia menatapku dengan sangat tajam seperti sedang mengintrogasiku di tengah-tengah Ayu yang masih terbaring lemas dan tidak sadarkan diri disana. “Jawab Minah! Apakah ini ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib?” katanya dengan tatapan yang serius. “Aku tahu akan perubahan mimik mukamu ketika aku berbicara seperti itu Minah.” “Wajahmu seakan ketakutan ketika aku berkata hal gaib, yang berarti semalam ada sesuatu yang menerormu, apalagi di dalam rumah sekarang hanya kalian berdua dan tidak ditemani oleh Satria yang sudah tiada.” Pertanyaan demi pertanyaan Pak Ridwan lontarkan kepadaku pada saat itu, matanya terus-menerus menatapku tajam tanpa sedikit berpaling sedikitpun. Semakin lama, wajahku semakin tertunduk. Aku tidak tahu kenapa Pak Ridwan tahu akan hal itu, apakah dia memang tahu apa yang terjadi antara Satria dan Ayu sehingga dia berusaha mengintrogasiku sekarang. Aku hanya bisa terdiam, k
Ruangan yang menjadi ruang tunggu pasien menjadi saksi bisu atas apa yang Pak Ridwan katakan. Dia sangat serius menceritakan tentang latar belakang Satria yang tidak aku ketahui. Satria yang aku kenal dari tempat kerjaku rupanya penuh misteri, bahkan sahabatnya sendiri pun mengiyakan hal itu. Pak Ridwan terus saja bercerita tentang Satria, tentang masa lalunya yang dia ketahui. Ternyata Satria dahulu mempunyai watak yang keras, idealis, berpikir cepat akan masalah-masalah yang dihadapinya. Bahkan, dia ikut ke tempat transmigrasi ini mempunyai alasan tersendiri, bukan semata-mata dia ikut dengan Pak Ridwan untuk tinggal di desa ini. Aku benar-benar tertegun, setiap kata yang keluar dari Pak Ridwan aku serap semua. Aku tidak berani memotong apa yang dia katakan, mataku terus-menerus menatap lurus ke arah Pak Ridwan dan merekam semua perkataan yang dia keluarkan. ‘Jadi, sebenarnya siapakah orang yang kini menjadi suamiku ini?’ Apalagi, Pak Ridwan dengan gamblang meyakini bahwa aku d
Langit yang awalnya terang dan menyinari Desa Muara Ujung yang terpencil itu kini secara perlahan-lahan memudar, digantikan oleh awan hitam dan diiringi oleh rintik-rintik hujan yang membasahi desa hingga malam tiba. Tidak ada lagi cahaya bulan yang biasanya menerangi malam dengan bintang-bintang yang bertaburan di atas sana, semuanya tergantikan oleh tetesan-tetesan air hujan yang secara perlahan-lahan turun sepanjang malam tanpa henti. Desa Muara Ujung akan semakin terisolasi ketika hujan tiba, karena rawa-rawa yang ada di sekitar desa tersebut airnya akan meluap, bahkan tak jarang selama tiga bulan mereka tinggal di desa tersebut. Sudah ada dua kali air yang naik hingga ke kebun-kebun yang sedang mereka kelola. Memang, inilah tantangan bagi para penduduk desa, iklim yang sangat berbeda dengan tempat tinggal mereka membuat mereka harus berpikir beberapa kali akan tanah yang mereka garap. Karena hujan seperti ini bisa membahayakan tanaman-tanaman yang mereka tanam di belakang rumah
Zraaass Suara hujan yang tidak henti-hentinya mengguyur Desa Muara Ujung pada malam itu, membuat suasana yang awalnya tenang menjadi sedikit kelam. Apalagi hujan yang sangat deras adalah sebuah hambatan bagi para warga untuk beraktifitas di keesokan harinya. Karena mungkin saja, hujan itu akan menggenangi sebagian tempat dan kebun-kebun mereka yang mengakibatkan mereka harus bekerja keras agar tanaman mereka tidak rusak oleh guyuran hujan yang sekarang terjadi. Selain itu, kita semua tahu, hujan pada malam hari sangat erat hubunganya dengan sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang sering muncul entah darimana dan mengganggu tidur kita semalaman penuh. Hawa yang sangat dingin, juga perasaan yang terasa sunyi dan sepi ketika hujan tiba, membuat tubuh pun serasa menggigil ketakutan, indera perasa kita akan semakin sensitif atas semua suara-suara yang muncul di tengah-tengah suara hujan yang terdengar keras diluar rumah. Aku yang kini duduk dan menemani Ayu yang sedang tertidur pun m
[10 May 1996 hujan yang begitu deras kini semakin menambah kesepian yang aku alami bersama Ayu, aku sungguh tidak percaya atas apa yang terjadi kemarin malam. Di saat sosok yang aku cintai kini mendadak berubah menjadi sosok yang ingin aku hindari sekarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dengan Ayu, aku tidak tahu kenapa kamu melakukan itu. Aku harap, itu bukanlah dirimu yang sebenarnya, namun itu adalah makhluk lain yang menyerupai dirimu yang sedang mengincar anakmu yang kini tertidur di dekat ku pada saat ini. Aku tidak pernah berpikir, anak sekecil ini akan mengalami kejadian yang mengerikan, mengalami sesuatu yang mungkin saja akan terpatri dalam dirinya bahwa ayahnya sendiri menjadi hantu dan menerornya semalaman. Koper kuning yang Pak Ridwan bicarakan belum sempat aku buka, koper yang kini berdebu karena disimpan di atas lemari membuatku berpikir, sebenarnya ada apa di balik hidupmu yang misterius itu. Apa hubunganya orang-orang yang membencimu dengan Ayu yan