Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.
Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.
“Bunda, Ayu takut!”
Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.
“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”
Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.
Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.
“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan sebagai hadiah ulang tahun dari ayah untuk Ayu?”
“A–Ayu simpan di dekat dinding, Bun. Tapi, Ayu gak tahu di sebelah mana karena Ayu gak bisa melihat,” katanya sambil ketakutan.
Aku hanya tersenyum dalam kegelapan mendengar jawaban dari Ayu. Kuusap kembali kepala Ayu agar dia kembali tenang.
Semoga saja, cahaya dari mainan itu bisa membantuku untuk berjalan ke ruangan tengah. Aku harus segera memastikan bahwa tidak ada teror lagi yang mengakibatkan kami berdua ketakutan seperti ini.
Aku mencoba meraba-raba lagi dinding yang ada di dekatku, mencoba mencari mainan Ayu di tumpukan mainannya.
Boneka-boneka kecil, boneka barbie, mainan masak-masakan dari plastik–semuanya tersusun rapi di sana. Salah satu tanganku mencoba meraba-raba satu per satu mainan tersebut, hingga tak lama, aku meraba sebuah benda yang aku cari!
Sebuah tongkat yang terbuat dari bahan plastik dengan bentuk bintang dan lampu kecil di atasnya. Juga, ada sebuah tombol on dan off yang ada di pegangan tongkatnya. Meskipun itu hanya mainan, namun setidaknya itu bisa digunakan untuk menerangiku dan Ayu dari kegelapan ini. Aku menatap mainan Ayu ini dengan binar bahagia.
“Udah, udah! Ayu gak usah takut lagi, ya. Bunda sudah nemu tongkatnya. Nanti kalau tongkatnya nyala, kita jalan bareng-bareng ke arah dapur untuk ambil lilin dan korek.”
Aku sekarang mempunyai keberanian untuk melangkah ke ruang tengah–mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Belum lagi, aku sekarang bahkan bisa ke arah dapur untuk mengambil lilin dan korek. Setidaknya, setiap sudut di rumah ini bisa terang kembali. Karena jujur saja, suasana seram di tengah kegelapan di rumah kayu, membuat semuanya terasa mencekam. Hanya cahayalah satu-satunya harapan agar aku bisa melepaskan diri dari ketakutan ini.
Meski aku katakan keberanian mulai merasukiku, nyatanya tongkat yang kupegang kini tampak basah oleh keringat yang muncul dari seluruh tubuh. Entahlah, yang pasti, secara perlahan, aku akhirnya memindahkan tombol off ke on untuk membuatnya menyala.
Namun ….
Tampak sebuah sosok yang sangat dekat dan jelas terlihat oleh kedua mataku–sosok Satria tiba-tiba muncul dengan jarak yang sangat dekat!
Cahaya dari mainan itu dengan sangat jelas menyinari wajah dan tubuh yang dipenuhi oleh bekas-bekas lilitan dari tumbuhan rawa yang melilit tubuhnya–seperti ketika mayatnya ditemukan pertama kali.
Wajahnya yang rusak dengan bekas lilitan dari tumbuhan rawa kini terlihat dengan jelas. Kulit-kulitnya yang mengkerut, darah-darah yang muncul dari bekas lilitan yang melilit wajahnya, juga tatapannya yang melotot ke arahku dengan mulutnya yang menyeringai membuatku semakin ketakutan atas apa yang aku lihat.
“ARGGGHHH!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku benar-benar tidak menyangka sosok yang menyerupai Satria itu akan muncul tepat di dekatku.
Dengan sigap, aku langsung menutup kedua mata Ayu. Aku tidak ingin Ayu melihat sosok itu dalam jarak yang sangat dekat.
Bahkan, saking kagetnya aku secara tidak sadar melemparkan tongkat mainan itu ke arah sosok tersebut. Mainan itu melayang dan menembus sosok itu hingga akhirnya menabrak dinding dan membuatnya cahayanya mati.
Brak!
“Haaah….” Napasku tiba-tiba berat. Keberanian yang muncul ketika aku menemukan benda itu, mendadak tergantikan kembali dengan rasa takut yang lebih lagi.
Aku benar-benar takut karena sosok itu sepertinya masih duduk di sana dan tidak bergerak. Apalagi, suasana kembali menjadi kegelapan setelah aku melemparkan benda yang menjadi cahaya satu-satunya di situasi seperti ini.
Aku hanya bisa terdiam sekarang.
Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain berharap bahwa semuanya akan cepat berakhir. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku hanya bisa memeluk Ayu dengan erat yang tidak tahu bahwa sosok itu kini ada di dekat kita berdua.
Zrrt, zrrtt, zrttt!
Entah mengapa, sebuah keajaiban terjadi. Lampu yang ada di dalam kamar tiba-tiba kembali menyala! Meskipun kini nyalanya sedikit redup, namun setidaknya aku bisa melihat dengan seksama seluruh isi kamar Ayu dengan kedua mataku sendiri.
Mataku benar-benar terbelalak ketika aku tidak menemukan sosok itu ketika lampu kembali terang.
Yang ada, hanyalah sebuah tirai yang terbuka setengah dengan angin dingin yang berhembus dari ruangan tengah—karena jendelanya belum kututup tadi.
Sayangnya, rasa takut itu susah dihilangkan. Meskipun lampu kamar sudah kembali menyala, aku benar-benar tidak bisa melupakan sosok Satria yang muncul secara tiba-tiba di dekatku pada saat itu.
Namun, di satu sisi, aku juga harus mengetahui kondisi di ruangan tengah karena ada suatu benda yang jatuh dan bunyinya terdengar dengan sangat keras, bahkan sampai terdengar olehku yang ada di kamar Ayu.
“Ayu, Bunda tidak apa-apa, kan mengecek ke ruangan tengah? Sepertinya, tadi ada benda jatuh dan harus dirapikan,” kataku yang mencoba tersenyum kepada Ayu yang masih gemetar.
“Gak mau, Bun! Gak mau! Pokoknya, temenin Ayu aja di sini, Bun! Tolong sekali, Ayu takut, Bun.”
Ayu hanya menggelengkan kepalanya dalam pelukanku. Dia benar-benar tidak ingin melepaskan pelukannya karena dia takut akan sesuatu yang terjadi kepadanya seperti beberapa waktu yang lalu.
“Ya sudah kalau begitu. Bunda akan nemenin Ayu, tapi Ayu gak boleh ketakutan lagi, ya!”
Aku kembali mengusap-usap kepala Ayu pada saat itu. Aku paham sekali ketakutannya. Aku yang dewasa saja, gemetaran. Apalagi, dia? Anak sekecil itu, tadi melihat sosok ayah yang dia sayangi dan baru saja meninggal–tiba-tiba muncul seakan marah padanya.
Mungkin saja, di dalam dirinya, kini ada sebuah perasaan yang bercampur-aduk dan tidak bisa di deskripsikan oleh kata-kata.
“Ayu?” tanyaku. Kurasakan gemetar tubuhnya menghilang. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari dirinya.
Tampaknya, usapan lembut dari tanganku membuat dia tertidur secara perlahan. Dia kini terlihat tenang sepenuhnya sambil memejamkan matanya. Sepertinya, dia begitu nyaman tidur di dalam pelukanku.
Aku terus-menerus mengusap kepala Ayu secara perlahan sambil melihat ke sekeliling kamar–memastikan Ayu aman kali ini dan benar-benar tertidur pulas.
Akhirnya, kuputuskan untuk membaringkan kepalanya di atas bantal kembali. Aku juga mengambil boneka besar yang selalu menemaninya ke sebelahnya.
Bahkan, aku menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut hangat–agar Ayu tidak kedinginan pada malam itu. Jadi, dia bisa merasa benar-benar aman dalam tidurnya.
“Selamat tidur, ya, Ayu! Semoga, hanya malam ini saja ada kejadian yang seperti ini,” kataku pelan sambil mencium kening Ayu ketika tertidur pulas disana.
***
Sreeet!
Tirai kamar yang terbuka setengah, kini aku buka sepenuhnya. Akhirnya, aku melangkahkan kaki secara perlahan ke ruangan tengah dan meninggalkan Ayu yang tertidur pulas disana.
Namun, kurasakan suasana ruangan tengah yang seharusnya tampak biasa saja–setelah lampu kembali menyala–terasa sangat berbeda. Ada sebuah tekanan yang menekanku dari belakang, sehingga tubuhku tiba-tiba terasa sangat berat untuk melangkah.
Deg, Deg, Deg!
Entah apa yang terjadi, namun setiap kali aku melangkahkan kaki, jantungku kembali berdetak kencang, bahkan kini napasku kembali berat.
Ruangan ini tampak kosong, tapi terasa sesak. Seolah-olah, banyak sekali orang yang memenuhi ruangan ini sekarang. Mereka saling berdempetan satu sama lain, saling memenuhi setiap sudut ruangan, hingga membuatku yang sedang melangkahkan kaki pun merasa kesusahan untuk melangkah.
Sepertinya … sosok itu masih berada di sekitar rumah ini. Atau, ada yang lainnya juga?
Aku takut. Namun, karena rasa penasaranku begitu kuat, aku terus memaksakan diriku di dalam tekanan yang luar biasa.
Tak lama, aku akhirnya mengetahui bahwa benda yang terjatuh dengan sangat keras itu adalah sebuah bingkai foto keluarga yang menempel di dinding!
Sebuah foto yang menjadi satu-satunya kenangan keluargaku bersama Satria dan Ayu. Dulu, kami berfoto bersama di dalam studio foto–sebelum kami berangkat pindah ke desa ini. Foto dengan bingkai kaca tersebut jatuh ke lantai, hingga pecahan kaca bingkainya berhamburan ke mana-mana.
Aku hanya bisa terdiam melihat betapa berantakannya ruangan tengah saat ini.
Namun ….
Aku sontak tidak bisa berkata-kata ketika foto–di bingkai yang terjatuh itu–terlihat sangat aneh. Wajah Ayu yang seharusnya terlihat sedang tersenyum manis, kini justru robek oleh pecahan kaca! Wajahnya kini bahkan tidak terlihat lagi, sehingga di foto itu, hanya ada wajahku dan wajah Satria
“Ada apa lagi ini?” lirihku.
Aku akhirnya berjongkok untuk melihat foto itu dari dekat. Tak lupa, aku membersihkan bingkai kaca yang patah dengan kedua tanganku.
Kuangkat foto tersebut dengan seksama dan penglihatanku ternyata benar! Wajah Ayu memang robek–seolah ada orang yang sengaja melakukannya.
Karena, tidak masuk logika apabila ada benda terjatuh, lalu pecahan kacanya tiba-tiba menusuk wajah Ayu di dalam foto tersebut sampai hancur dan tak terlihat lagi, kan? Kecuali ….ada yang sengaja untuk menusuk wajah Ayu dengan pecahan kaca yang bertebaran di sana.
Brak!
Aku yang sedang fokus melihat foto itu tiba-tiba dikagetkan oleh suara jendela yang kini tertutup, bersamaan dengan angin yang sangat kencang ke arahnya. Bahkan, menerbangkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan di dekatku pada saat itu.
Sontak, aku langsung melihat ke arah jendela yang tertutup secara tiba-tiba di sana. Tanpa sadar, aku bahkan melihat ke sekeliling jendela itu karena aku takut ada sesuatu yang muncul lagi dan menakut-nakutiku.
Deg!
Tanganku tiba-tiba bergetar dengan sangat hebat. Aku benar-benar tidak percaya pada penglihatanku sekarang! Keringat dingin pun kembali muncul dan kini membasahi tubuhku.
“Sa–Sa–Satria? Yang tadi muncul itu, bukanlah sosok yang menyerupai kamu, kan?” ucapku terbata-bata, “ke–kenapa kamu melakukan hal ini? Aku yakin kamu tidak akan meneror kami setelah meninggal, kan?”
“Kenapa kamu menghantui aku dan Ayu?!” bentakku..
Mataku menatap samar foto Ayu saat ini. Terdapat sebuah tulisan berwarna merah darah yang ditulis di atasnya. Sebuah tulisan yang mungkin menjadi alasan kenapa hanya wajah Ayu saja yang robek terkena pecahan kaca sehingga wajahnya di foto hancur, nyaris tidak terlihat.
[ DIA HARUS MATI!!! ] Tulisan itu seolah ditulis dengan darah merah yang masih segar.
Aku sendiri bahkan masih bisa melihat cipratan basah dari cairan yang menyerupai darah itu.
Aku menatap ngeri. Jantungku berdegup kencang, tak percaya. Teror ini mengincar nyawa Ayu–anak sambungku!
Aku mual dan marah! Gegas kulemparkan foto yang penuh darah tersebut.
Tubuhku tanpa sadar mundur beberapa langkah, hingga menabrak kursi di dekat meja kerja.
Kakiku bahkan mulai berlumuran darah karena menginjak pecahan kaca yang tadi berserakan di lantai. Rasa perih akibat pecahan kaca itu sebenarnya sangat terasa olehku. Akan tetapi, semua dikalahkan oleh rasa takut.
Aku ingin sekali berteriak atas apa yang aku lihat dirumah ini! Namun, kucoba menahannya dengan menempelkan kedua tanganku yang bergetar di dekat mulut.
Aku yang terdiam dengan rasa takut yang mendalam pikiranku melayang-layang atas semua keanehan di tempat ini. Namun, seketika langsung berteriak karena aku sadar bahwa apa yang Satria incar pada malam ini bukanlah diriku, melainkan Ayu yang kini tertidur pulas di dalam kamar.
“Arggghhh! AYUUU!” Aku berusaha berdiri dan bergerak untuk berlari ke arah kamar Ayu.
Darah-darah segar dari telapak kakiku tak kupedulikan. Bahkan, pecahan kaca yang seharusnya memperlambat langkahku, tetap ku injak.
Aku sudah benar-benar tidak peduli dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang, karena aku sekarang tahu, siapa yang Satria incar pada malam ini.
Ayu–anak itu–tidak boleh terluka!
Arggghh!Aku merenyit kesakitan ketika pecahan-pecahan kaca itu aku injak, wajahku tak kuasa menahan rasa sakit ketika aku berlari ke arah kamar Ayu pada saat itu.Aku panik, benar-benar panik, aku tidak memperdulikan kakiku yang kini berlumuran darah segar yang menetes ke lantai.Suasana benar-benar terasa mencekam ketika aku berlari ke arah kamar, jarak yang seharusnya dekat pun terasa jauh, apalagi ditambah dengan rasa sesak yang aku rasakan, seperti sedang menembus beberapa orang yang saling berdesakan di ruangan yang kecil ini.Aku berusaha sekuat tenaga untuk cepat sampai ke arah kamar, meskipun aku harus berjibaku dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan sekarang.Namun,Ketika aku beberapa langkah lagi sampai ke depan kamar. Di balik sebuah tirai kamar yang terbuka, aku melihat seseorang yang sedang berdiri tegak dan memandang ke arahku.Lampu kamar yang terang membuatnya seperti bayangan yang berdiri di pintu kamar dengan tirai yang tersibak.Aku sontak berhenti, aku tak
Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada peneranga
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal d
BrakSuara pintu rumah tiba-tiba dibuka dengan sangat keras. Sebuah rumah yang mirip dengan yang Minah tinggali dari bentuk dan rupa terlihat dengan jelas, tetapi rumah ini difungsikan untuk menjadi sebuah Puskesmas kecil dengan kamar tambahan sebagai kamar pasien di sebelah kiri.Ruangan pertama ada ruangan tunggu, yang hanya beralaskan beberapa tikar sebagai alas dan tempat duduk pasien untuk menunggu. Tidak ada kursi yang berjejer, tidak ada meja resepsionis seperti Puskesmas-puskesmas lain yang ada di kota, semuanya begitu sederhana.Yang ada hanyalah sebuah gambar-gambar di dinding tentang pemeliharan kesehatan tubuh yang dikirim oleh pemerintah setempat, juga sebuah meja kecil tempat Pak Ridwan menerima semua pasiennya sebelum nantinya dia cek di ruangan yang ada dibelakangnya.Pak Ridwan tampak panik. Ayu yang awalnya dibawa Minah langsung dia gendong dan dia bawa masuk ke dalam rumah, dia masuk ke ruang tunggu dan berbelok ke arah kiri dimana kamar pasien itu berada.Dengan ce