Di sisi lain, Rex masih bertelpon ria dengan kekasihnya. “Malam pertama? Aku dengan perawat yang gila itu? Lebih baik aku mati daripada malam pertama dengannya!” sinisnya, tak peduli bahwa dia dapat didengar Lyra.
“Tenang saja, Sayang. Cintaku hanya buat kamu! Mana mungkin aku bisa mencintai perempuan lacur kampungan seperti Lyra?”
“Nanti kalau aku sudah kembali ke Jakarta, pasti aku akan segera menemuimu. Kita check in di hotel seperti biasa, ya?” rayu Rex dengan suara mendayu. “Aku merindukan pelukan serta sentuhanmu.”
“Oke, love you, Marina Sayang!” pungkas Rex kemudian selesai menerima telepon.
Lalu, ia berseru kencang. “Dengar itu, Lacur? Wanita yang aku cintai bernama Marina! Dia anak orang terhormat! Anak pejabat! Tidak seperti kamu yang anaknya petani desa! Bukan seperti kamu yang anaknya Suripto pengumpul kotoran ayam!”
Rex menghina keluarga Lyra bukan kepalang tanggung. Ayah wanita itu dikatakan pengumpul kotoran ayam karena rumahnya kemarin banyak ayam berkeliaran saat dikunjungi.
Tak berani menjawab apa pun, Lyra terus menyembunyikan wajahnya di antara lutut dan dada. Ia menangis, menitikkan air mata untuk melepas pedih. Walau meski telah sekian butir turun deras, tak ada rasa sakit yang berkurang di dalam asa. Justru semakin kencang menggilas tiap titik batin.
Setelahnya, Rex benar-benar tak mengijinkan istrinya naik ke atas ranjang sepanjang malam.
Hingga jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, ia telah mengorok di atas peraduan, sementara Lyra terkulai lemas dan meringkuk kedinginan di atas lantai tanpa selimut sama sekali.
Akhirnya fajar menjelang dan Lyra yang sudah terbiasa bangun di jam-jam seperti itu mulai membuka mata. Udara dingin kamar menusuk ke tulang hingga ia menggigil. Ujung jari sedikit kebas mati rasa. Mengumpulkan semua tenaga yang ia punya, mencoba untuk duduk.
Sekujur raga kaku dan sakit karena tidur di atas benda keras yaitu lantai yang hanya berlapis karpet tak terlalu tebal. Menarik napas panjang, dada pun sesak akibat teringat apa yang terjadi dengannya semalam.
“Aku akan membuat pernikahan kita menjadi neraka!”
Suara Rex kembali teringiang, membuat ulu hati nyeri dan takut. Melirik ke atas ranjang, lelaki itu masih tertidur lelap, bahkan mengorok cukup kencang.
‘Tuhan, kuatkan aku melalui ini semua. Aku sudah menandatangani surat perjanjian dengan Tuan Harlan. Kalau aku mundur sekarang, bagaimana jika aku hamil? Anakku lahir tanpa ayah.’
‘Dan bagaimana aku bisa membayar lima kali lipat dari apa yang sudah diberikan oleh beliau? Satu milyar, aku bisa dapat uang sebanyak itu dari mana?’
Menguatkan diri, Lyra sadar kalau ia harus kuat melalui semua yang telah ia putuskan sebelumnya. Apa pun yang terjadi, dia tidak bisa meminta cerai dari Rex.
Menopang diri dengan kedua kepal tangan, akhirnya ia bisa berdiri lagi. Mengambil pakaian ganti dan memasuki kamar mandi, lalu ia membuka pakaian. Melihat di depan kaca, pundak serta lengannya ada lebam tipis akibat perbuatan Rex semalam.
Tak hanya itu, ujung bibirnya juga sedikit lecet karena ditampar sangat keras. Bahkan. Di bagian rahang masih terlihat memerah.
Dada kembang kempis, karena seumur hidup baru kali ini dia dipukul dan dikasari seperti tadi malam. Sakit! Sungguh sakit! Mata kembali berkaca-kaca, dan air mata berjatuhan.
Melangkah menuju shower, mulai menyiram diri dengan berharap kepedihannya bisa ikut tersiram.
***
Pukul tujuh pagi, semua sudah berkumpul di restoran hotel untuk sarapan pagi. Setelahnya, mereka harus segera berangkat ke Surabaya untuk menaiki pesawat dan kembali ke kota Jakarta.
Lyra berjalan bersama Rex, di mana sang suami kemudian berbisik. “Awas, ya, kalau kamu ceritakan kejadian semalam. Aku akan menghajarmu lebih keras lagi!”
“Di depan Papaku, kita harus terlihat harmonis. Paham?”
Tak berani memandang wajah Rex, wanita berkulit kuning langsat itu hanya mengangguk lesu. Apa saja yang diinginkan sang suami, ia tidak akan melawan.
Mendadak, Rex menggandeng tangan Lyra dengan erat. Bahkan, ia usap lembut jemari sang istri seakan benar-benar menyayanginya.
Sontak, Lyra menoleh dengan wajah bertanya-tanya.
Akan tetapi, Rex tersenyum dingin, “Jangan besar kepala! Sudah kubilang, kita harus terlihat harmonis, Bodoh! Paham atau tidak? Jawab!”
“Pa-paham … paham, Rex,” angguk Lyra gugup.
“Bagus! Tumben, kamu pintar!” desis Rex kemudian memasuki restoran dan disambut dengan senyum sang ayah.
Harlan berseri-seri melihat putranya menggandeng Lyra. “Wah, sepertinya tadi malam ada yang sudah mulai berbaikan?”
Ajeng dan Eva spontan menoleh pada Rex dan terbelalak karena melihat keduanya bergandengan. Akan tetapi, karena pemuda itu memberi kode-kode tertentu lewat kedipan mata, membuat ibu dan adiknya paham kalau itu hanya pura-pura.
Duduk di samping ayahnya, “Iya, dong, Pa! Punya istri kalau hanya dibuat menganggur saat malam, rugi sekali! Apalagi cantik begini!” tawa Rex bermain peran, membelai pipi Lyra.
Harlan menoleh pada Lyra. “Kamu dan Rex sudah berbaikan, Lyra? Dia sudah tidak membentak atau memarahimu lagi?”
“Tidak, Tuan Harlan,” geleng Lyra tersenyum kecut.
“Ah, jangan panggil Tuan! Panggil Papa, lalu Bu Ajeng itu kamu harus panggil dengan Mama. Kan kita sudah jadi keluarga.” Harlan menggeleng sambil tertawa. “Eva kalau memanggil Lyra juga harus dengan kata Mbak atau Kak.”
Eva tersenyum malas, tidak mempedulikan ucapan ayahnya dan kembali bermain dengan gadget-nya.
Namun, mendadak Harlan melihat sesuatu di wajah menantunya. “Kenapa pipi bagian bawahmu seperti memar? Lalu, itu di ujung bibir seperti lecet?”
Harlan melihat bekas merah di wajah Lyra dan mulai bertanya. “Wajahmu memar?”
Rex langsung menunduk sambil menahan geram. ‘Awas saja, kalau sampai dia mengadukan aku, akan kubanting dia di kamar nanti!’Lyra tersenyum datar, “Tadi terpeleset di kamar mandi, Pa. Ini terbentur tembok, makanya seperti memar,” dustanya melindungi sang suami. Bukannya apa, ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi jika berkata jujur.Rasanya, jika berkata jujur akan semakin menyakitkan Harlan yang sudah begitu baik kepadanya. Belum lagi Rexanda pasti akan semakin marah, nanti mereka kian bermasalah.“Makanya kalau punya mata dipakai! Apa sudah silau melihat Kak Rex sampai terpeleset?” cibir Eva melirik malas dan mengejek.Ajeng menyahut, “Biasalah, Eva. Orang kampung belum pernah tahu kamar mandi hotel. Saking terkejutnya sampai jalan saja tidak be—““DIAM!” bentak Harlan menggebrak meja. Tatapannya marah pada istri serta anak perempuan, sementara Rex tetap terdiam.Ajeng dan Eva saling lirik sebelum akhirnya menunduk dengan wajah bersungut-sungut. Beberapa orang yang menikmati sarapan di sekitar mereka menoleh, memandang penasaran ada apa dengan keluarga tersebut.“Harus berapa kali aku katakan pada kalian semua untuk jaga mulut? Lyra jadi seperti ini juga karena kelakuan Rex yang bejat! Dan siapa yang selalu membiarkan Rex mabuk saat aku tidak di rumah, hah? Kamu, Ajeng!” sembur sang ayah.“Ih, Papa ini bagaimana? Kenapa jadi Mama yang salah?” protes Ajeng mendelik. “Yang salah itu Lyra karena sudah dengan sengaja menjebak Rex! Lihat saja, lama-lama pasti akan terbukti ucapanku ini!”“Kalau Rex tidak mabuk, semua ini tidak akan terjadi! Kerjamu setiap hari hanya mabuk dan mabuk! Bersenang-senang dengan teman-teman sesat di klub malam seperti tidak punya masa depan!” amuk Harlan pada putra pertamanya.Rex mendengkus panjang, “Ya, ya ... salahkan saja aku terus menerus. Aku sudah menikahi Lyra masih saja disalahkan?”“Awas, ya, Papa tidak mau dengar lagi kalian menghina Lyra! Mulai sekarang, perlakukan dia sebagai keluarga kita! Sampai ada yang menghinanya, akan Papa cabut fasilitasnya!” ancam Harlan meremas gelas kaca.Ajeng berdesis kesal, “Membela perawat kampung sampai sebegitunya? Terserah kamu saja, Mas!”“Sekarang, kita cepat selesaikan sarapan ini dan kembali ke Jakarta!” tandas Harlan menghela sungguh berat. Ia terkadang berpikir, dosa apa yang telah diperbuat hingga memiliki keluarga seperti ini?Namun, biar bagaimana semua adalah anak dan istri yang sangat dia sayangi. Hanya bisa berharap ke depannya akan ada sesuatu yang mengubah semua ini.Lyra menunduk pedih. ‘Terjebak dalam keluarga Adiwangsa seperti ini tidak pernah ada dalam mimpiku meski hanya satu kali. Apalagi menjadi istrinya Rexanda, sama sekali tidak pernah kubayangkan.’‘Tapi, bagaimana aku bisa bersyukur atau bahagia jika mereka semua membenciku seperti ini? Jika saja aku tidak terancam hamil, sudah pasti aku tidak mau berada di situasi seperti sekarang.’Menyendok nasi ke dalam bibir, bagi Lyra menelan makanan pun sulit. Seisi meja makan menjadi hening akibat perdebatan barusan. Di mana semua itu terjadi karena dirinya.***Pesawat kini telah mendarat, keluarga Adiwangsan telah kembali ke Jakarta yang sangat ramai. Sopir telah menunggu para majikan untuk datang. Satu mobil Alphard siap membawa kembali ke rumah.Di jok belakang, Ajeng dan Eva duduk menjauh dari Lyra seakan gadis itu memiliki penyakit. Keduanya tidak mau berdekatan, apalagi sampai bersentuhan.Sepanjang perjalanan, suasana tidak jauh berbeda dengan di meja makan tadi. Hening, senyap, masing-masing sibuk dengan diri sendiri.Sampai di rumah, Harlan memanggil putranya untuk masuk ke ruang kerja.“Ada apa lagi, Pa? Aku lelah! Mau istirahat!” kesal Rex duduk sambil cemberut.‘”Kamu apakan Lyra? Kenapa di wajahnya ada memar?” tukas Harlan memandang penuh curiga.Terhentak, jantung Rex berdenyut lebih cepat. Telapak tangannya pun terasa dingin. Akan tetapi, ia masih menyangkal. “Aku tidak tahu. Dia bilang terpeleset di kamar mandi, ‘kan?” jawabnya mengendikkan bahu.“Kamu pikir Papa bodoh, hah? Kamu menamparnya? Kamu memukulnya? Pengecut kamu, Rex! Laki-laki macam apa memukuli wanita tak berdaya macam Lyra?”BERSAMBUNGBentakan dari sang ayah menggebrak nurani Rex. Mengusik seakan sedang ditampar secara langsung. Akan tetapi, bukannya sadar, ia tetap tidak mau mengaku.“Aku tidak berbuat apa-apa,” dustanya lagi.Harlan menggeleng, napas pun terengah. “Sejak kamu lahir, Papa begitu bangga denganmu. Nilai di sekolah selalu yang terbaik! Kamu selalu menjadi salah satu lulusan terbaik, Rex!”“Papa selalu berpikir bisnis kita akan berlanjut di tangan yang tepat karena kecerdasanmu di atas rata-rata. Kamu pun tidak ada masalah hingga lulus kuliah! Tapi, setelah kamu bersama Marina ... semua berubah!” dengkus Harlan pilu.Mendengar nama kekasihnya disebut, Rex tidak terima. “Apa maksud Papa? Marina dan aku saling mencintai! Apanya yang berubah? Dia sangat memperlakukan aku dengan baik!”“Baik apanya? Sejak bersama Marina, kamu jadi sering party di klub malam! Papa sudah bertanya ke teman-teman, mereka bercerita bahwa sejak ayahnya Marina meninggal dunia, gadis itu hanya terus menghamburkan harta warisan!”
Rex selesai menelepon Marina, lalu jatuh tertidur hingga sore. Saat pintu kamarnya diketuk, ia pun terbangun. Berjalan gontai menuju pintu, membukanya, dan melihat sang ayah di depan kamar. “Malam ini kita akan makan di luar. Berangkat satu jam lagi. Beritahu Lyra, ya? Mana dia?” tanya Harlan saat melongok ke kamar dan tidak menemukan menantunya. “Aku tidak tahu, dia keluar kamar dari siang. Katanya mau ke bawah,” jawab Rex mengendikkan bahu.“Kamu ini bagaimana? Istri sendiri di mana, kok, tidak tahu? Kamu lupa kata-kata Papa? Mau fasilitas dicabut?” kesal Harlan menghela jengkel. “Ayo, cari sekarang!”Rex menahan emosi, “Papa ini kenapa, sih? Dengan Lyra, kok, perhatian sekali? Dia itu Cuma perawat Nenek Tariyah saja, Pa!”“Dia itu perempuan yang sudah kamu rudapaksa, Rex! Sebagai seorang wanita dia pasti hancur! Papa kasihan padanya! Apa kamu tidak punya hati nurani sampai terus mengasarinya?” balas Harlan ikut melangkah mencari Lyra.Rex hanya diam diomeli begitu oleh sang Ayah.
Lyra sampai tidak jadi menyuap sendok makanan ke dalam mulut. Ia letakkan kembali ke atas piring. “Kok, lama sekali, Mas?” tanya Ajeng. “Pa, kalau Papa pergi selama itu, bagaimana dengan Honda Accord terbaruku? Teman-teman sudah terus bertanya kapan mobilku diganti?” rengek Eva cemberut. “Papa mundurkan terus beli mobil baruku!” Harlan menghela, “Ini ke Jepang untuk meninjau beberapa pabrik, lalu memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu mau Papa kena tipu? Kalau sampai kena tipu, tidak usah bicara Honda Accord terbaru! Mengerti?” tegas sang ayah pada Eva. Lyra menunduk, meremas jemarinya sendiri dengan kegugupan yang luar biasa. Ia melirik ke sebelah di mana Rex mengeluarkan ponsel. Sekilas, bisa melihat apa yang dilakukan suaminya yaitu mengirim pesan kepada kekasih gelapnya. [Papa akan ke Jepang selama dua minggu. Kita merdeka! Sampai rumah akan kutelepon. Love you, Sayang.] Terengah, tetapi ditahan. Benar saja, kepergian Harlan tentu menjadi surga bagi Rex untuk berbuat apa
Lyra tak percaya dengan apa yang dia dengar. Apalagi, Rex mengucap dengan tanpa beban. Seakan benih yang mungkin ada itu hanyalah seonggok sampah tak penting! Padahal, bukankah itu darah dagingnya sendiri?“Mengugurkan bayi tak berdosa sama saja melakukan pembunuhan! Aku tidak mau membunuh anak kita sendiri!” hentak Lyra dengan tegas. Rex makin emosi hingga dadanya kembang kempis dan napas memburu panas. “Bawel, kamu, ya! Sok punya nurani, padahal aslinya kamu yang menjebakku, sialan kamu!” makinya mendadak menerkam Lyra. Akan tetapi, sang wanita berhasil menghindar hingga tangan Rex hanya menyentuh udara kosong. Tentu saja, ini membuatnya semakin murka. “Lacur sialan! Awas, kamu!” “Aku ini istrimu! Tidur di ranjang saja tidak boleh, itu keterlaluan!” seru Lyra kembali mencoba menghindar. “Apa kamu sama sekali tidak punya hati, Mas?” Namun, kali ini ia gagal! Jemari kokoh Rex berhasil mencengkram lengannya. Tanpa rasa kasihan sama sekali, tubuh Lyra dihempas ke arah pintu hingga m
Niat hati tidak ikut makan pagi bersama keluarga Adiwangsa. Akan tetapi, saat Harlan menelepon dan mencari Rex, tidak ada yang bisa ia perbuat selain mencoba untuk masuk ke dalam ruang yang terasa menyeramkan tersebut. “Kamu itu pantasnya makan di belakang, dengan pembantu dan sopir! Jangan merasa sudah menjadi bagian dari keluarga kami, ya!” bentak Ajeng sekali lagi. Lyra berhenti melangkah, hatinya bergetar dengan perih kesekian ribu kalinya. Eva tertawa pelan, “Mungkin dia merasa besar kepala karena Papa selalu membelanya. Ajian apa, sih, yang kamu beri ke Papaku sampai bisa tunduk begitu?” Menggeleng, “Demi Tuhan, saya tidak pernah menggunakan hal-hal kotor semacam itu!” seru Lyra mendelik. “Eh, tapi benar, lho, Ma! Katanya Marina juga paling Lyra ini memakai ilmu hitam sampai Papa seperti kerbau dicocok hidung. Lihat saja bagaimana Papa selalu membelanya dan menyengsarakan kita!” desis Rex terkekeh, melirik sinis pada sang istri. “Kalau aku pakai ilmu hitam, kenapa tidak ka
Rex terbahak mendengar apa yang diucapkan oleh Marina, kekasih gelapnya. Mereka berdua dengan sengaja menghina mantan perawat lansia tersebut."Coba dicek, Rex. Apa dia bau GPU?" gelak Marina makin kencang."Apa itu GPU?" Rex ikut tertawa meski tidak paham apa yang dimaksud. "Itu, GPU minya gosok! Biasanya orang tua kalau dipijat pakai minyak GPU!" Meledaklah tawa Marina disambut hak serupa oleh Rex. Tertegun, Lyra menatap layar, memperhatikan wajah Marina yang nampak sangat cantik. Hidung mancung, rambut dicat cokelat terang, dan memakai soft lens berwarna biru terang. Untuk sesaat, kekasihnya Rex itu terlihat seperti orang asing sungguhan. 'Ya, Tuhan. Inikah yang bernama Marina? Dia sungguh cantik! Sedangkan aku? Astaga! Mereka pasti akan terus menghinaku karena aku tak secantik dia!' jerit Lyra di dalam batin. Rex tertawa mendengar ejekan kekasihnya, “Iya, ‘kan, dia jelek? Makanya, kamu tidak usah cemburu meski aku satu kamar dengannya. Biar ada gempa bumi sekalipun, aku tidak
Rexanda Adiwangsa, pemuda kaya raya yang minus didikan moral dari ibunya akibat terlalu dimanja serta ayah yang terlalu banyak ke luar negeri untuk bekerja. Kini, ia tidak pernah merasa bersalah telah menodai seorang gadis perawan. Bahkan, terus mempercayai kalau dia dijebak demi menutupi kesalahan diri sendiri. Lyra Kanigara, wanita desa sederhana yang bekerja menjadi perawat lansia demi menanggung beban pengobatan orang tua di rumah. Tak pernah menyangka kesuciannya direnggut sedemikian kasar, ditambah siksaan batin serta raga yang seakan tiada ujung. Bahkan, sang suami kini menamparnya dan menawarkan untuk bercerai. Berderai air mata di pipi akibat sentuhan kasar tak berbelas kasih. Jika hati bisa bersenandung, maka hanya kehancuran yang ia nyanyikan. “Ayo, tinggalkan rumah ini! Pergi dari hidupku! Katakan pada Papa kalau kamu minta cerai! Cepat!” bentak Rex pada istri barunya dengan berapi-api. Namun, sebesar apa pun keinginan Lyra untuk pergi dari siksaan neraka dunia ini, ad
Rex terus berpikir dan memutar otak bagaimana caranya membelikan tas Balenciaga keluaran terbaru untuk Marina. Ia sampai berniat ingin berbohong pada ayahnya supaya dikucuri uang lebih banyak lagi.Di saat ia sedang berpikir keras, Marina tiba-tiba merebahkan kepala di pundaknya dan mengembus lelah.“Tapi, kalau kamu memang sedang tidak ada uang, ya, tidak apa-apa, Rex. Aku soalnya juga harus membayar tagihan credit card yang agak banyak bulan ini. Siapa tahu kamu bisa bantu.” Marina membelai dada bidang sang Tuan Muda. “Atau … bagaimana kalau aku pinjam saja dulu uangmu? Nanti kalau rumah mendiang ayahku yang di Pantai Indah Kapuk sudah laku, aku akan mengembalikan uangnya. Kemarin sudah ada pembeli yang sepertinya tertarik dengan serius,” ucap Marina berbinar.Sesungguhnya, saat ini Marina dan keluarganya sedang mengalami kesulitan keuangan. Semenjak ayahnya yang pejabat eselon itu meninggal, harta mereka sedikit demi sedikit terkuras habis. Kebiasaan Marina dan ibunya bermewah-me