Share

Bab 4. Over Dosis

*Kamu tahu nggak bedanya ayam goreng yang kumakan sekarang dengan kamu?

-Enggak tahu. Emang ada bedanya?

*Kalau Ayam goreng makan siang, kalau kamu makin sayang.

***

"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?"

"Hah? Apa?"

"Iya Bund. Misalkan saja Ganis dan mas Erick batal nikah, gimana?"

"Tapi kenapa?"

"Bunda ih, Ganis kan nanya. Bunda kok nanya balik sih?" 

Bunda mendelik dan menjewer telingaku.

"Ucapan itu doa, Nis. Gimana sih. Bercandamu kelewatan!"

"Aaww! Sakit Bunda!" Aku menggosok telingaku yang memerah. Bunda masih saja menganggapku bercanda. 

"Coba jelasin kenapa kamu bicara seperti itu!" tuntut Bunda.

Aku menghela nafas. Berpikir untuk menunjukkan rekaman itu sekarang atau nanti sesaat sebelum akad.

"Nis."

Wajah ayah menyembul dari arah pintu kamar.

"Kenapa sih? Aneh banget sama Erick. Biasanya kamu kalau ada Erick, sakit gigipun langsung amblas."

Aku memutar bola mata. 

"Nggak ada apa-apa. Cuma takut aja nanti berpisah sama Ayah dan Bunda," sahutku berbohong.

Mereka harus tahu di saat yang tepat. Dan keluarga mas Erick harus merasakan malu akibat rencana gilanya.

"Hm, kan bisa sering berkunjung kesini. Kasihan tahu Erick tadi sampai bingung. Kamu yang biasanya bawel jadi pendiam." 

Ayah memandangi mataku. Aku segera menunduk. Aku paling tidak bisa berbohong. Pasti ketahuan dari pandangan mata.

"Bener kamu tidak menyembunyikan sesuatu?" tanya ayah terus memandangiku.

"Benar, Yah," jawabku. Tentu saja sambil menunduk.

"Ya sudah, kamu istirahat saja. Jangan mikir macam-macam. Banyak-banyak berdoa agar pernikahan kamu nanti langgeng," kata ayah. 

Aku hanya mengangguk.

"Aamiinn," kata bunda mengaminkan doa ayah.

Ayah dan bunda lantas keluar dari kamarku dan sebelumnya ayah memungut buket bunga yang terjatuh di lantai kamar dan meletakkannya di atas meja rias.

Aku kembali menyalakan data seluler di ponsel. Dan bermunculan lah beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari aplikasi hijau. Dengan perlahan, aku membuka pesan itu satu persatu.

[Sayang, kamu kenapa? Hari ini kok aneh banget. Kalau ada masalah, kita bisa membicarakannya baik-baik kan?]

Aku melengos setelah membaca pesan dari Mas Erick. Tanpa berniat membalasnya, pandangan mataku teralih pada pesan dari dokter Reyhan.

[Nis, ada apa sih? Dari tadi pagi saat mengantar surat cuti kerja, sikap kamu aneh. Kalau ada masalah, sharing saja. Kita kan teman sejerawat. Eh, teman sejawat.]

Aku tertawa membaca pesan dari dokter itu. Lalu memutuskan untuk mematikan data seluler sekali lagi dan mengganti lampu kamar dengan lampu tidur.

Bodo amat. Sekarang tidur ajalah. Terlalu banyak hal aneh yang terjadi hari ini.

*

"Yah, siapa dia?" tanyaku saat ayah pulang bersama seorang anak yang kira-kira sebaya dengan mas Aris.

"Namanya Erick. Papanya baru saja meninggal dunia. Mulai sekarang, Erick akan sering datang kesini dan bermain bersama kalian."

Ayah tersenyum sambil menepuk kepalaku. Aku memandangi anak lelaki yang terdiam itu.

Ayah lalu meninggalkan kami di halaman depan rumah dan menemui bunda yang menunggu di ambang pintu ruang depan.

Ayah dan bunda terlihat berbicara serius lalu tak lama kemudian bunda mendatangiku.

"Sayang, sambil menunggu mas Aris pulang dari sekolah, kamu ajak mas Erick main dulu ya. Bunda mau bicara serius dengan Ayah," kata bunda lirih sambil membelai pipiku. 

Dan aku mengangguk.

"Mas Erick kan namanya tadi? Yuk liat kolam ikan itu. Warnanya bagus-bagus. Mas Erick pasti suka."

Aku memberanikan diri memegang telapak tangannya. Dan mas Erick menurut. Kami melihat ikan warna warni di kolam bersama.

*

"Jangan ganggu Rengganis!" seru mas Erick seraya mengusir beberapa teman perempuanku yang sering mengataiku kurus dan tulang belulang berjalan.

"Kamu nggak apa-apa Nis? Mana Aris?" tanya mas Erick lembut sambil mengambilkan tasku yang terjatuh di tanah akibat dirampas oleh "teman" sekelasku.

"Aku nggak apa-apa Mas. Mas Aris tadi katanya ada pertandingan bola. Jadi aku nunggu jemputan sendiri."

"Hm, kalau gitu pulang dengan aku saja. Ayo!"

Mas Erick setengah menarikku mendekat ke arah motornya. 

"Tapi maaf ya, motor Mas cuma motor biasa. Bukan motor keren," kata mas Erick sambil memakai helm. 

Aku memandangi wajah tampannya sesaat lalu segera menunduk.

"Yang penting kan Mas membeli jupiter ini dengan dengan bekerja di rumah apung Ayah saat pulang sekolah. Hasil kerja keras sendiri lebih keren," sahutku. 

Mas Erick tersenyum.

"Iya, yuk naik."

Aku lalu naik di boncengan motor mas Erick dan sebelumnya membenahi rok abu-abuku.

"Kamu makan yang banyak aja, Nis."

"Lah, emang kenapa Mas kalau makanku dikit?" protesku.

"Aku ngerasa cuma boncengin angin. Hahaha."

"Ah, asem kamu Mas!"

Aku mencubit pinggangnya dengan keras. 

"Aawww! Ganis tega amat sih nyubit orang yang udah cinta mati sama ... eh!"

Mas Erick menutup mulutnya mendadak. Aku pun terkejut mendengarnya. Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran di hati.

"Mas, tadi bilang apa? Coba diulang?" pintaku dengan dada berdebar. 

Tanpa kuduga, mas Erick justru menepikan motornya lalu turun dari motor dan memetik sekuntum mawar merah yang ada di pagar rumah orang.

"Rengganis Yasmin, aku mencintaimu sudah sejak lama. Maukah kamu menungguku untuk menjadi seorang arsitek yang handal lalu menjadi istriku?" tanya mas Erick.

'Ya Tuhan, ini mimpi bukan sih? Seseorang yang telah lama kuimpikan menyatakan cinta padaku?'

"Jadi apa jawabannya?"

"Tentu saja iyaaaaa," jawabku sambil menerima mawar merah yang diulurkannya padaku.

"Makasih Ganis," sahut mas Erick seraya mengelus rambutku.

"Jadi kita resmi pacaran nih?" tanya mas Erick sambil menatapku. 

Aku memutar bola mata. "Gimana ya Mas, Ayah kan melarangku untuk pacaran," jawabku mengambang.

Mas Erick tampak berpikir sejenak. "Ya sudah kita nggak usah pacaran saja."

"La terus, kalau aku dekat dengan temen laki-laki lain, boleh gak?"

Mas Erick memajukan bibirnya. "Jangan dong Nis. Kita nggak usah pacaran, tapi TTMan. Jadi kita tahu kalau saling mencintai tapi tidak berlebihan kontak fisik. Gimana?"

Aku tersenyum lebar. "Bagus juga ide mas Erick. Mas Erick bisa melindungiku dari para cewek pembuli yang cowoknya demen sama aku dong."

"Tentu saja. Aku kan pemberani," tukas mas Erick.

"Yeeey. Asik. Terimakasih Mas!" seruku nyaris melompat karena bahagia. 

"Iya, sama-sama. Dan tolong tunggu Mas sampai selesai sekolah, kuliah, dan mendapat pekerjaan yang bagus, agar bisa melamar kamu di depan Ayah."

Mataku berbinar mendengarnya. "Tentu saja. Aku akan selalu menunggu mas Erick."

"Janji?!" Mas Erick mengulurkan jari kelingkingnya kearahku. 

"Janji!" Aku pun menautkan jari kelingkingku pertanda kami saling meresmikan janji.

*

Aku menangis terisak saat mengingat semua masa lalu yang indah tapi ternyata membungkus sebuah kebohongan fatal.

"Tega kamu, Mas. Tega!" bisikku seraya terisak.

Aku menelungkupkan wajahku pada kedua telapak tangan di atas meja rias. Sekali lagi flashback tentang mas Erick yang telah menikah bahkan istrinya yang telah mengandung membuat hatiku terkoyak.

Bergantian dengan ingatan tentang perhatian yang selalu diberikannya padaku. Bunga mawar merah pemberiannya yang selalu menghiasi meja belajarku, dan rekaman-rekaman lagu yang dinyanyikannya dengan gitar akustiknya yang bisa membuatku melayang.

'Ah, rasanya aku tidak sanggup mempermalukannya saat akad nanti. Akupun tak kuat jika harus memendam sendiri tentang kenyataan bahwa dia telah mempermainkanku.'

Aku membuka laci meja riasku. Mengambil sebotol obat yang bertuliskan diazep*m.

"Aku gak bisa menanggung hal ini seorang diri."

Kubuka botol obat itu, lalu kuambil 10 butir pil kecil berwarna putih, mengembalikan botolnya pada laci kemudian menelannya sekaligus.

Tak berapa lama aku merasa pandangan mataku menggelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status