Di bawah ancaman Furqon, Ferdi selau pergi ke masjid setiap datang waktu sholat. Bahkan kini, dia sendiri yang menunggu Furqon agar datang ke rumahnya untuk datang bersama-sama ke masjid.Dari sebrang rumahnya, ada Bu Friska dan Pak Hasan yang sedang mengamati Ferdi. "Lihatlah! Sekarang anakku lebih hebat dari kita, dia sudah rindu untuk pergi ke rumah Allah." ucap Bu Friska sambil menitikan air mata.Ia sungguh tidak percaya kalau putranya yang sombong itu berangsur berubah. Kini, Ferdi bahkan tidak pernah lagi menelponnya hanya untuk meminta uang. Tidak, beberapa waktu lalu, Ferdi menelpon hanya untuk menanyakan kabar orang tuanya saja.Setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telpon."Bukan anakmu, tapi anak kita!" seru Pak Hasan tak terima.Bu Friska menatap suaminya itu lekat, sampai akhirnya beberapa
PoV FerdiAtas bantuan Furqon dan jalan hidup yang telah Allah takdirkan untukku, kini aku sudah kembali ke jalan yang insyaAllah diridhoi Allah.Meksipun aku sudah diajak Mama dan Papa untuk kembali ke rumah besar, entah kenapa aku enggan untuk pergi. Rasanya lebih baik tinggal di dalam kesederhanaan daripada kemewahan yang tidak bisa membuatku tersenyum.Andai saja Muara masih menjadi istriku, tentu saja aku akan pulang dengan senang hati, dan bisa bermain dengan Aira. Namun, sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Lebih tepatnya kakak sepupu."Jangan lupa besok datang ke rumah," ucap Mama penuh penekanan setelah kami lama terdiam dalam bisu. Perbuatan yang kulakukan di masa lalu membuatku sadar kalau perempuan seperti Maura sangatlah langka."Ada apa? Pertemuan keluarga itu hanya buang-buang wa
Dafi***Ada rasa aneh ketika melihat Aira memeluk Ferdi, padahal dia adalah ayahnya sendiri. Hanya saja ada yang sakit di hatiku ini karena kedekatan mereka. Apalah jika mengingat dulu Ferdi memperlakukan mereka dengan sangat buruk, rasanya hatiku seperti disayat-sayat."Lihat, sekarang anak tirimu sudah kembali kepada ayahnya." Tante Rena mulai menjadi kompor untukku dan Aira."Wajarlah, dia ayah kandungnya." Aku bicara santai dan menampilkan senyuman yang begitu indah.Meskipun hatiku sakit, tapi aku tidak ingin kelemahanku diketahui oleh orang lain. Toh, memang wajar mereka dekat, namanya juga ayah dan anak. Justru di sini akulah yang orang luar."Aku bangga padamu, Mas," ucap Maura setengah berbisik.Tadinya
FerdiAku tahu kalau mereka dekat, hanya saja aku benar-benar tidak tahu kedekatan hubungan mereka seperti ini. Dia bahkan mampu melewati aku begitu saja yang selama ini selalu sholat dan sekasur dengannya demi untuk menghampiri Dafi.Bukan apa-apa, aku takut nanti dia juga bisa mengkhianati Dafi.Maura tiba-tiba mendekat dengan Aira ke arahku. "Tidak apa, biarkan saja mereka. Katanya ada banyak hal penting yang harus dibicarakan," ucapnya dingin."Iya, Papa, mereka itu sudah seperti bumbu dapur dan masakan, tidak akan terpisahkan. Kalau pun bisa, maka dua-duanya akan menjadi tidak berguna," jelas Aira membuatku mengerti kalau aku hanya salah faham."Oh, oke. Baiklah. Maaf kalau barusan aku sudah salah sangka," pamitku dan mengajak Aira bermain bersama.&n
MauraHari ini semua ruangan di rumah besar ini dipenuhi bunga untuk menyambut kedatangan Mas Ferdi dengan Syahira. Mereka baru menikah tadi sore dan langsung dibawa ke sini. Meksipun rumah ini milik orang tuanya Mas Ferdi, tapi Mas Dafi punya andil besar. Bisa dibilang kepemilikannya dibagi dua.Meksipun masih muda, Mas Dafi memang ahli dalam berwirausaha sehingga sukses di usia yang begitu muda, dan punya aset banyak. Awalnya aku juga kaget, tapi Mas Dafi memintaku untuk membiasakan diri. Ya sudahlah, toh dia memang bukan lelaki biasa."Kok, diam di sini? Orang-orang sudah ada di sana untuk menyambut pengantin tahu?" Mas Dafi menepuk pelan bahuku. "Apa jangan-jangan kamu cemburu melihat mereka bersama?" tebaknya."Ngaco!" Aku bangkit dari duduk dan menatapnya tajam. "Siapa yang bilang cemburu barusan? Jangan-jangan Mas yang cemburu kalau nanti menatapnya?" godaku sambil menahan
"Istrimu kerja apa, Fer?" tanya Majid, dia adalah rekan kerjaku di restoran mewah ini. Kebetulan aku bisa masuk ke sini tepat ketika akan menikah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi karyawan. "Hanya mengurus rumah, mana mungkin dia bisa bekerja. Orang hanya lulusan SMK, mana pemasaran lagi. Jangankan kerja seperti orang lain, jualan online aja selalu sepi," jawabku menggebu. Begitulah Maura, dua terlalu sibuk rebahan di kamar sampai tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang wanita karir. Jika bukan karena orang tuaku yang menyayanginya, mungkin sudah lama kutinggalkan. Delapan tahun lalu aku dipaksa menikah dengannya ketika umurku baru menginjak dua puluh tiga tahun dan dia sembilan belas tahun. Dulu, aku hanyalah pengangguran selalu berdiam diri di rumah. Apalagi orang tua serba kecukupan, jadi tidak usah pusing-pusing mencari pekerjaan. Karena orang tuaku mendesak untuk menikah, tepaksa kuterima. Setelah lamaran, aku mendapatkan tawaran dari Majid untuk bekerja di re
Kali ini aku benar-benar kesal dengan Aira, bisa-bisanya dia menceramahi aku begitu. "Kamu di rumah ngapain aja, Maura? Masa urus anak aja gak becus!" Aku menatapnya sangar.Ingin sekali kudorong meja makan ini, bikin kesal saja. Apalagi bukannya marahin anaknya, Maura malah tersenyum sambil menyerahkan satu gelas air minum kepada Aira. Semakin dimanja tuh anak."Sudah kenyang?" tanyanya lembut."Kamu harusnya bisa didik dia dengan baik, Maura! Jangan jadi ibunya yang memanjakan anak!" teriakku geram.Bukannya takut dan patuh seperti anaknya Majib, Aira malah melanjutkan makannya kembali. "Belum, Ma. Percuma kalau aku ngambek, kenyang enggak, kelaparan iya." ucapnya seenak jidat.Ingin sekali menyumpal mulutnya itu. "Dasar anak durhaka!" makiku geram."Mas, kamu gak boleh gitu sama anak. Dia masih
Selesai transfer, aku langsung pergi ke restoran, dan tentu saja akan meminta bagian sarapan ke staf dapur. Baru saja sampai, aku dikejutkan dengan sebuah mobil mahal keluaran terbaru.Mataku sungguh takjub melihat kegagahannya, ingin rasanya bisa memiliki yang sama seperti ini. Hanya saja kondisi keuanganku selalu tidak cukup, kecuali istriku seorang anak konglomerat, atau wanita karir. Sudah pasti mobil seperti ini bisa langsung kebeli."Ferdi, kamu dari mana saja?" tanya Majid. Loh, kenapa dia ada di sini? Ini kan tugasku untuk mengurus restoran. Sementara dia akan jadwalnya dari jam dua."Kamu ngapain di sini?" tanyaku heran sambil mengambil seragam di loker."Yah kerjalah, siapa suruh kamu baru datang!" Majid terdengar emosi."Aku baru setor!""Setor? Kamu gak baca pesanku?" Majid terlihat sangat ke