Maura
Hari ini semua ruangan di rumah besar ini dipenuhi bunga untuk menyambut kedatangan Mas Ferdi dengan Syahira. Mereka baru menikah tadi sore dan langsung dibawa ke sini. Meksipun rumah ini milik orang tuanya Mas Ferdi, tapi Mas Dafi punya andil besar. Bisa dibilang kepemilikannya dibagi dua.
Meksipun masih muda, Mas Dafi memang ahli dalam berwirausaha sehingga sukses di usia yang begitu muda, dan punya aset banyak. Awalnya aku juga kaget, tapi Mas Dafi memintaku untuk membiasakan diri. Ya sudahlah, toh dia memang bukan lelaki biasa.
"Kok, diam di sini? Orang-orang sudah ada di sana untuk menyambut pengantin tahu?" Mas Dafi menepuk pelan bahuku. "Apa jangan-jangan kamu cemburu melihat mereka bersama?" tebaknya.
"Ngaco!" Aku bangkit dari duduk dan menatapnya tajam. "Siapa yang bilang cemburu barusan? Jangan-jangan Mas yang cemburu kalau nanti menatapnya?" godaku sambil menahan
"Istrimu kerja apa, Fer?" tanya Majid, dia adalah rekan kerjaku di restoran mewah ini. Kebetulan aku bisa masuk ke sini tepat ketika akan menikah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi karyawan. "Hanya mengurus rumah, mana mungkin dia bisa bekerja. Orang hanya lulusan SMK, mana pemasaran lagi. Jangankan kerja seperti orang lain, jualan online aja selalu sepi," jawabku menggebu. Begitulah Maura, dua terlalu sibuk rebahan di kamar sampai tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang wanita karir. Jika bukan karena orang tuaku yang menyayanginya, mungkin sudah lama kutinggalkan. Delapan tahun lalu aku dipaksa menikah dengannya ketika umurku baru menginjak dua puluh tiga tahun dan dia sembilan belas tahun. Dulu, aku hanyalah pengangguran selalu berdiam diri di rumah. Apalagi orang tua serba kecukupan, jadi tidak usah pusing-pusing mencari pekerjaan. Karena orang tuaku mendesak untuk menikah, tepaksa kuterima. Setelah lamaran, aku mendapatkan tawaran dari Majid untuk bekerja di re
Kali ini aku benar-benar kesal dengan Aira, bisa-bisanya dia menceramahi aku begitu. "Kamu di rumah ngapain aja, Maura? Masa urus anak aja gak becus!" Aku menatapnya sangar.Ingin sekali kudorong meja makan ini, bikin kesal saja. Apalagi bukannya marahin anaknya, Maura malah tersenyum sambil menyerahkan satu gelas air minum kepada Aira. Semakin dimanja tuh anak."Sudah kenyang?" tanyanya lembut."Kamu harusnya bisa didik dia dengan baik, Maura! Jangan jadi ibunya yang memanjakan anak!" teriakku geram.Bukannya takut dan patuh seperti anaknya Majib, Aira malah melanjutkan makannya kembali. "Belum, Ma. Percuma kalau aku ngambek, kenyang enggak, kelaparan iya." ucapnya seenak jidat.Ingin sekali menyumpal mulutnya itu. "Dasar anak durhaka!" makiku geram."Mas, kamu gak boleh gitu sama anak. Dia masih
Selesai transfer, aku langsung pergi ke restoran, dan tentu saja akan meminta bagian sarapan ke staf dapur. Baru saja sampai, aku dikejutkan dengan sebuah mobil mahal keluaran terbaru.Mataku sungguh takjub melihat kegagahannya, ingin rasanya bisa memiliki yang sama seperti ini. Hanya saja kondisi keuanganku selalu tidak cukup, kecuali istriku seorang anak konglomerat, atau wanita karir. Sudah pasti mobil seperti ini bisa langsung kebeli."Ferdi, kamu dari mana saja?" tanya Majid. Loh, kenapa dia ada di sini? Ini kan tugasku untuk mengurus restoran. Sementara dia akan jadwalnya dari jam dua."Kamu ngapain di sini?" tanyaku heran sambil mengambil seragam di loker."Yah kerjalah, siapa suruh kamu baru datang!" Majid terdengar emosi."Aku baru setor!""Setor? Kamu gak baca pesanku?" Majid terlihat sangat ke
Jika berkenan, bisa bantu Subscribe ya, Kak. Terima kasih. Semoga suka dengan ceritanya.———Akhirnya Pak Yuda gak jadi ke ruangan itu dan kita hanya mengobrol di ruangan istirahat. Beruntungnya aku kali ini, nyaris saja kehilangan pekerjaan."Mas, kamu sudah pulang?" Maura langsung mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Berhubung banyak kejadian di tempat kerja, aku semakin malas untuk melihatnya, apalagi bersentuhan.Kutepis tangannya dan kulewati ia begitu saja. "Mulai saat ini kita gak perlu bersentuhan langsung, meskipun hanya bersalaman. Toh kamu juga bukan dari kalangan pesantren."Maura sempat terdiam sejenak, ia sepertinya masih mencerna apa yang baru saja kukatakan. "Maksudnya, Mas?" tanyanya kemudian."Makanya kamu itu sekolah Maura!
Jika berkenan, bisa bantu subscribe ya, Kak. Semoga suka dengan ceritanya dan jangan lupa tinggalkan jejak.————"Kenapa, Mas?" tanya Maura setelah mengantar Pak Yuda dan Alvero pulang.Menjijikkan! tadi aja pura-pura pintar, tapi sekarang malah pura-pura polos dan tidak merasa bersalah."Kamu pikir aja sendiri!" bentakku kesal."Loh, Mas? Aku kan gak ngelakuin kesalahan apapun." Maura malah membereskan piring kotor di meja makan, biasanya kan minta maaf. Ini enggak sama sekali."Iya, Mama kan gak salah." Aira mulai membela."Diam kamu! Anak kecil tahu apa!" mereka berdua hanya bisa membuatku kesal. Sudah tadi tidak jadi pergi, sekarang ma
Aku minta subscribe-nya ya, Kak. Terima kasih.———"Kamu ngapain di sini?" Aku terkaget ketika Majid menepuk pundakku tiba-tiba. Ngapain juga sih dia di sini, aku kan sedang fokus mendengarkan apa yang dibicarakan Maura, Aura, dan juga orang-orang itu. "Cepat kerja! Pak Yuda mau sejam lagi meja depan sudah penuh dengan hidangan yang sempurna!" lanjutnya membuatku lebih syok.Hidangan yang sempurna? Berarti tanpa cacat sedikit pun dari rasa ataupun tampilan? Ya ampun, mana bisa secepat ini."Enggak ada waktu lagi, ayo ikut!" Majid langsung menarik tanganku untuk pergi mengecek makanan yang akan dihidangkan. Setelahnya aku langsung pergi ke dapur untuk melihat makanan apa yang sudah siap."Mana yang sudah selesai dimasak?" Aku mulai memperhatikan semuanya
Jangan lupa subscribe ya, Kak. Terima kasih banyak.———Semalaman aku tidak bisa tidur, perkataan Papa benar-benar seperti mimpi buruk. Mana bisa mereka membuat keputusan yang salah seperti ini. Maura juga, bukannya bujuk Papa biar keputusannya dirubah, malah diam saja.Aku mengacak wajah frustasi, bisa gila jika seperti ini terus. Kalau didiamkan, Maura akan menguasai semua harta kekayaan yang harusnya menjadi milikku."Kamu gak tidur, Mas?" tanya Maura dari balik selimut. Aku langsung menatapnya intens."Kau senangkan melihatku seperti ini, hah?" kucengkram bahunya kuat. "Kau mau melihatku miskin, ya?"Bukannya marah atau takut, Maura malah tersenyum. "Untuk apa kamu marah, Ma
Bantu Subscribe/ berlangganan ya, Kak.Terima kasih banyak.————"Pulang ataupun tidak, bukan keputusan anda!" laki-laki yang dari tadi mengobrol bersama Maura ikut mencekal tanganku dengan kasar. Gaya bahasanya terdengar angkuh, padahal dia hanyalah laki-laki biasa.Pakaian yang melekat di tubuhnya saja bukan merek terkenal dan mahal. Sudah pasti hanya seseorang yang biasa saja, jauh jika dibandingkan dengan pakaian yang kuberikan pada tukang sampah dan Pak Satpam.Namun punya segitu aja sudah berlagak Bos. Enggak punya kaca kayaknya dia."Anda siapanya Maura?" Aku langsung memberikan pertanyaan yan