"Apa maksudmu, Sofia? Kita tak akan pernah berakhir!" ucap Adnan penuh penekanan.
"Aku ingin bercerai! Aku ingin bercerai, Adnan! Kau dengar apa yang aku ucapkan!" tegas Sofia penuh penekanan."Tidak akan ada perceraian di antara kita berdua!" bentak Adnan yang merasa gusar saat mendengar ancaman yang diberikan oleh Sofia."Ya, itu sebelum aku tahu bahwa kamu telah membohongiku. Sekarang tak ada lagi yang harus aku pertahankan denganmu. Tak ada!" teriak Sofia emosi, terpancar jelas bahwa Sofia sekarang sedang meluapkan amarahnya pada Adnan."Sofia, pikirkan baik-baik. Kamu sekarang hanya sedang kacau, aku yakin jauh di dalam hatimu pasti masih ada rasa terhadapku!" Sofia berjalan menjauh masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi tempat keluh kesah antara dia dan juga Adnan.Sofia lalu mengambil tas untuk memasukkan beberapa bajunya tak termasuk yang dibelikan oleh Adnan."Berhenti!" Adnan menggertak Sofia, tapi Sofia seolah tak lagi takut pada amarah Adnan."Aku bilang berhenti, Sofia! Turuti kataku atau--""Atau apa? Kau ingin menamparku lagi, tamparlah itu akan lebih mempermudah aku untuk bercerai denganmu!" Sofia menatap Adnan dengan nyalang.***Di sisi lain, Romlah, mertua dari Sofia sedang berjalan mondar-mandir gelisah."Bu, kenapa si daritadi nggak bisa diam?" tanya Rani yang heran dengan perilaku sang Ibu."Ibu nih daritadi nungguin Adnan bawa itu istrinya ke rumah, kok ngga datang-datang, ya?" tanya Romlah yang tak sabar melihat Sofia meminta maaf padanya."Sabarlah, Bu. Rani juga nggak sabar melihat dia ngemis-ngemis minta maaf pada kita. Enak saja dia tadi nyumpahin kita, dikira bakalan terkabul gitu. Nggak akan lah, emang dia siapa? Tuhan aja bukan." Rani berucap dengan nada ketus. Ia benar-benar merasa kesal dengan sikap berani yang ditunjukkan oleh Sofia tadi."Tapi, Lisa dulu pernah dengar, Mbak, katanya doa orang yang terzalimi itu bakalan terkabul." Lisa yang tadi hanya diam saja, sekarang ikut berbicara."Ngomong apa sih kamu, Lisa? Jangan bilang kamu sekarang berada di pihak itu cewek. Ingat ya, Adnan itu tidak zalim, dia hanya berlaku sebagaimana seharusnya. Surga Adnan itu ada pada Ibu, wajar saja jika dia harus berbakti pada Ibu hingga Ibu tiada.""Sofia saja yang terlalu baperan, sudah dikasih uang kok masih merasa kurang. Dari awal Ibu sudah tak setuju saat Adnan pulang dari KKN malah minta dinikahkan dengan perempuan desa itu. Kalo bukan karena anak kesayangan Ibu, Ibu tak akan merestui pernikahan mereka.""Tapi kan, Bu, Mbak Sofia selama ini baik sama kita. Dia juga sering kok ajarin Lisa pelajaran yang Lisa nggak bisa." Jauh di lubuk hati Lisa yang paling dalam, rasa sayang terhadap Sofia memang ada. Hanya saja, kadang Lisa ikut-ikutan memusuhi Sofia, karena cerita buruk yang diceritakan oleh Ibu dan kakaknya."Hei, Lisa! Kamu membela perempuan itu, kalo begitu kenapa.kamu tidak ikut dia saja. Biar kamu sekalian hidup terlunta-lunta di jalanan, kamu mau emangnya dicap sebagai adik seorang mantan napi. Kamu ini bukannya ngebelain masmu, malah ngebelain itu perempuan daritadi!""Kamu nggak dengar dia tadi nyumpahin kita, nggak dengar atau kamu sengaja tutup telinga. Dia selama ini baik sama kamu itu cuma sandiwara, sebenarnya dia nggak benar-benar baik. Mbak malah curiganya jangan-jangan dia itu sebenarnya mau morotin harta Adnan, masmu!"Romlah dan Rani saling bertatapan, pemikiran anak dan Ibu ini memang sama. Sama-sama sesatnya."Iya-iya, maaf," jawab Lisa dengan malas. Dia saat ini tak ingin berdebat dengan dua orang yang saat ini bersama dengannya.Masih terekam jelas di pikiran Lisa bagaimana Sofia tadi menangis dan melontarkan kalimat yang memang terasa sakit didengar oleh telinga.Namun, di sisi lain, hati nurani Lisa juga tersentuh. Apalagi selama ini dia tahu, bahwa Sofia adalah sosok kakak ipar yang sangat baik. Ia bahkan bisa dibilang sangat dekat dengan Sofia, jika tak ada Ibu dan mbaknya.'Maafkan Lisa, Mbak. Saat ini Lisa benar-benar tak mampu membelamu, Mbak,' tutur batinnya berujar. Ada pedih yang menjalar saat Lisa memejamkan matanya."Sofia, Mas sedang berbicara denganmu, kamu dengar tidak?" tanya Adnan saat Sofia sama sekali tak menghiraukan keberadaannya.Sofia membawa ke luar tas yang sudah disiapkan, ia berniat malam ini juga akan pulang ke kampung halaman sang Ayah.Tak peduli jika harus sendirian, daripada dia tersiksa bersama Adnan yang tak pernah menghargai perjuangannya selama ini sebagai seorang istri.Drrt ... drrt ... drrt ....Belum sempat Sofia mengangkat telepon, Adnan datang dan langsung merampasnya lalu melempar ponsel tersebut ke lantai.Prak!Bersamaan dengan itu tangan Sofia melayang ke pipi milik Adnan.Plak!"Mengapa kau hancurkan ponselku, Mas! Tahukah kamu, hanya di ponsel itu kenangan ibuku. Hanya di ponsel itu aku bisa melihat Ibu selalu! Kenapa kamu selalu menghancurkan kebahagiaanku!""Tak cukupkah selama ini, semua perlakuan buruk yang kalian lakukan padaku." Sofia menatap Adnan dengan nyalang, lalu ia bergegas mengumpulkan serpihan ponsel yang pecah."Kita bisa memperbaikinya, Sofia.
"Mana dia?" tanya Romlah saat Adnan baru saja sampai di rumah. "Siapa?" tanya Adnan pada sang Ibu. Adnan memijit kepalanya yang terasa sakit, ia mendudukkan dirinya di sofa empuk milik sang Ibu."Ya siapa lagi kalo bukan istrimu itu. Kenapa dia tak ikut kemari?" Romlah bertanya dengan nada suara ketus. Ia sangat marah karena perlakuan buruk yang diberikan Sofia padanya "Adnan memberinya waktu untuk menenangkan diri, Bu. Saat ini Sofia sedang kusut, pikirannya kacau. Mungkin dia terkejut setelah mengetahui kebenarannya." Adnan berniat langsung pergi ke kamar, tapi tangannya ditarik oleh sang Ibu dan membawanya untuk duduk di sofa."Menenangkan diri bagaimana? Memangnya istrimu pergi ke mana?" Romlah benar-benar penasaran."Dia bilang ingin ke rumah ayahnya, Bu," jawab Adnan yang memang sudah lelah. Pasalnya sejak pulang dari toko, dia sama sekali tak diberi kesempatan untuk beristirahat.Sekarang yang ada malahan masalah tak kunjung selesai, apalagi setelah mendengar ucapan Sofia yan
"Mbak, mau ke mana memakai pakaian seksi begitu?" tanya Adnan saat Rani beranjak dari duduknya dan senyum-senyum sendiri."Mbak mau ketemu teman-teman dulu, kamu bisa kan sendiri aja di sini?" tanya Rani pada Adnan. Adnan mengernyitkan keningnya."Lagi, Mbak? Perasaan baru hari kemarinnya ketemu sama teman-teman Mbak, kok sekarang ketemuan lagi," kata Adnan merasa sedikit terganggu dengan cara hidup sang kakak."Sst! Kamu jangan banyak ngomong, kamu tuh nggak ngerti perempuan, Adnan. Kami sebagai perempuan ini berbeda dengan kalian yang laki-laki, perlu refreshing," jawab Rani pada Adnan. Rani mengeluarkan cermin dari dalam tasnya, lalu mengoleskan lipstik berwarna cerah ke bibirnya."Sofia dulu tidak begitu kok, Mbak, malah dia sering menghabiskan waktu di rumah melayaniku. Lagi pun, apa Mas Rehan tidak masalah jika Mbak selalu keluyuran dengan teman-teman sosialita Mbak itu?" tanya Adnan pada kakak tertuanya itu."Istrimu itu kampungan, mana ngerti dia yang kayak aku. Mas Rehan juga
(POV Adnan)"Bu Desi bawa kabur duit arisan, Adnan!" teriak Ibu histeris, lalu duduk ke lantai sambil menangis seperti seorang anak kecil."Apa! Kok bisa, Bu?" tanyaku heran, padahal selama ini Bu Desi terkenal orang yang sangat baik.Ibu berdiri dan mendudukkan dirinya ke sofa. Aku menatap manik mata Ibu yang tampak sendu."Bisa dong, Adnan. Uang segitu banyaknya siapa yang nggak mau, mana Ibu udah ikut dua lagi. Bayangkan saja berapa banyak uang Ibu yang hilang. Padahal awal-awal dulu Bu Desi sama sekali tak pernah berbuat curang. Entah kenapa sekarang dia malah kabur membawa uang kami." Ibu curhat panjang lebar padaku, belum habis rasa pusingku karena masalah toko. Sekarang datang lagi masalah Ibu."Arisannya berapa ratus ribu sih, Bu, dalam sebulan?" tanya Adnan penasaran. Karena selama ini dia tak tahu berapa nominal yang ibunya keluarkan untuk biaya arisan."Dua juta perbulannya Adnan, tapi karena Ibu ikut dua jadinya empat juta. Mana sekarang arisan itu udah berjalan hampir sat
"Berhenti untuk ikut grup sosialitamu itu, Rani!" bentak Rehan pada sang istri. Setelah seharian bersenang-senang, Rani baru saja menginjakkan kakinya di rumah sang suami. Bahkan saat ini mertuanya pun menyaksikan saat Rani dimarahi oleh Rehan.Tak ada lagi pembelaan yang dilakukan Ibu mertuanya pada Rani ketika dia dimarahi oleh Rehan. Namun sekarang, mungkin karena sudah bosan karena Rani yang tak pernah menurut bahkan menghargai kasih sayangnya. Jadi sang mertua memilih diam dan menyetujui apapun keputusan putranya kelak."Nggak bisa, Mas! Aku tuh nggak ada lagi punya teman selain mereka. Lagian, apa sih yang salah dengan grupku. Kami itu cuma kumpul makan-makan doang, berkeluh kesah. Udah itu aja," jawab Rani. Ia tak terima jika Rehan menyuruhnya keluar dari grup sosialitanya."Aku heran kenapa hari demi hari, kamu semakin melawan denganku. Seolah-olah aku ini tak ada harganya lagi sebagai suami di depanmu! Lihat ini ...!"Rehan menarik baju seksi yang dikenakan Rani. Rani berteri
"Ayah, Sofia pulang." Sofia membuka rumahnya dan terlihat sang Ayah yang sudah sepuh terbaring di kursi kayu. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan. Akhirnya Sofia sampai di kampung halamannya. Ia tak dapat lagi menahan rasa harunya saat menatap manik mata milik sang Ayah. Sofia benar-benar sangat merindukan cinta pertamanya.Sang Ayah pun mengucek matanya berkali-kali memastikan bahwa yang saat ini datang adalah Sofia, putrinya.Adinda mengantarkan Sofia ke halte bus. Setelahnya mereka saling berpamitan."Sofia?" Sang Ayah mencoba mendekati seseorang yang sekarang ada di dalam rumahnya. Perlahan ia melangkah maju sambil menahan tangisannya karena ternyata benar, sekarang yang berdiri di depannya adalah putri kesayangannya."Ini Sofia, Ayah. Sofia pulang menemui Ayah sekarang," ucap Sofia lalu menyalimi punggung tangan sang Ayah. Lama dia mencium punggung tangan milik sang Ayah. Melihat tangan ayahnya yang keriput membuat sesak di dalam dada Sofia. Begitu lama ia pergi bersama sang
[Pulanglah Sofia, aku ingin kamu mempertanggungjawabkan ucapanmu padaku dan keluargaku!]Sofia melirik ponselnya yang berada di atas meja. Tak ada niat sedikit pun untuk membalas pesan yang dikirimkan Adnan.Pagi hari ini, Sofia berniat berbelanja ke pasar. Sekalian melihat-lihat kampung halamannya yang sudah hampir dua tahun tak ia pijaki."Sofia, kamu sudah makan?" tanya Habibi, mengetuk pintu kamar sang putri."Iya, Ayah, nanti Sofia makan," jawabnya. Sofia lalu buru-buru membersihkan tempat tidur dan bergegas ke luar kamar.Dulu, sebelum Sofia dilahirkan ke dunia. Ibunya adalah keturunan orang berada. Mereka menikah karena saling mencintai. Habibi juga sama, dia diperlakukan tak layaknya seorang babu di rumah mertuanya sendiri. Itu karena pernikahan mereka yang belum dapat restu dari orang tua istrinya."Aa, kita pergi saja dari sini. Zahra tidak kuat mendengar hinaan yang terus dilontarkan pada Aa," ucap Zahra menemani Habibi yang sedang membersihkan rumput di halaman rumah mertu
"Loh, ini Sofia? Kok makin kurus sekali sih kamu, wajahmu juga kusam. Padahal kan suamimu orang kaya, hidupnya berkecukupan, kok kamu pulang ke desa malah kayak orang gembel. Nggak diberi makan suamimu ya di kota?" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan tawa mereka berdua. Ada perasaan beda saat dirinya diberi pertanyaan yang menurutnya sedikit menyakitkan."Ladalah, Bu Rina ini datang-datang main nyerocos aja. Cantik begini kok dibilang kayak gembel," protes Bu Ijah sambil menatap kesal wajah Bu Rina."Bukannya ngatain ya, Bu, kita bisa lihat sendiri. Cantikan kamu yang di sini loh Sofia daripada pas pulang dari kota. Kamu ini juga Sofia, mentang-mentang sudah bersuami orang kota sampai lupa sampai kampung halaman sendiri. Sama ayahmu pun kamu seperti lupa, sakit senang ayahmu tetap sendiri," kata Bu Rani mengomeli Sofia. Sofia terdiam, benar, sebagian banyak perkataan dari Bu Rina memang benar.Semenjak dia menikah dengan Adnan, tak sekali pun dia bisa pulang ke kampung halaman. Namun