Mas Hanan melirik tangan kami yang saling bergenggaman, kemudian melirikku. Ku pasang tampang menyedihkan didepannya, aku berekspresi sesendu mungkin, semua itu kulakukan agar Mas Hanan tak termakan omongan wanita didepan kami itu.
"Maaf, Bu. Aku tetap pada pendirianku. Pilihanku tetap dengan Nayma. Dan kami ... akan menikah secepatnya."Puas! Aku puas sekali. Terlebih saat melihat wajah pias Ibu dan anak didepanku itu. Aku tersenyum mencibir Mbak Ike, wanita itu membalasku dengan tatapan tajam. Bukankah ini drama yang baik? Aku lebih dipentingkan dibanding keluarganya sendiri."Kalau begitu, jangan harap kamu akan dapat restu dari Ibu!" ancam Ibu Mas Hanan. Aku melirik Mas Hanan, apa dia terpengaruh dengan ancaman wanita itu?"Aku akan tetap menikahi Nayma, dengan atau tanpa restu Ibu. Pernikahan kami tetap akan sah, karena dari pihak laki-laki tak perlu wali. Tetapi ... karena ingin menghargai Ibu, maka aku datang kemari dengan membawa Nayma. Kukira sambutan kalian akan baik terhadapnya, tapi apa? Malah cacian dan hinaan yang ia dapat disini. Jadi, aku putuskan untuk tak lagi meminta restu dari Ibu. Karena semua itu juga tak ada gunanya." Mas Hanan mengucapkan kata demi katanya dengan penuh penekanan. Dia berucap dengan lugas, membuat hatiku semakin tersiram hawa kebahagiaan.Ku lihat Ibu Mas Hanan menghela napas dan menghembuskannya secara pelan. Wanita itu memijit pelipisnya, mungkin pusing memikirkan sikap keras sang putra. Apa peduliku?"Kalau begitu, pergi dari sini dan jangan pernah kembali. Aku tak sudi memiliki menantu yang awal kehadirannya saja tak mendapat sambutan baik disini." Aku memicing mendengarnya. Dasar wanita tua sombong!"Itu semua karena kalian. Kalian yang tak menyambutnya dengan baik!" balas Mas Hanan marah. Aku diam saja memperhatikan perdebatan sengit ini."Karena dia tak pantas mendapat tempat di rumah ini! Dia bukan Aluna, perempuan baik, sopan dan lemah lembut. Dia Nayma, perempuan berhati iblis yang menyamar menjadi malaikat untukmu! Kamu pikir kami akan menerima iblis disini? Tentu saja tidak!" Darahku mendidih mendengar ucapan Mbak Ike yang mengatakan aku iblis. Ingin sekali ku tampar mulut tajamnya itu, tapi aku harus tetap menjaga marwahku didepan Mas Hanan."Mulutmu sudah melewati batas, Mbak!" bentak Mas Hanan berdiri. "Ayo, Nay. Kita pergi dari sini. Aku menyesal datang kemari, nyatanya kedatangan kita tak mendapat sambutan baik dari mereka." Mas Hanan menarik tanganku. Aku menurut saja, ku lempar tatapan penuh dendam pada Mbak Ike."Kupikir, keluarga adalah tempat ternyaman untukku pulang. Ternyata aku salah," sindir Mas Hanan. Ibunya dan Mbak Ike tak menyahut, mereka diam saja seolah tak peduli dengan ucapan anak lelaki satu-satunya itu.Mas Hanan membawaku keluar. Aku benar-benar sakit hati dengan penghinaan ini. Lihat saja, akan ku balas mereka. Akan ku buat Mas Hanan tak pernah kembali kesini, karena dia hanya akan menjadi milikku seorang.Saat kami mencapai teras, Aluna berjalan menuju rumah ini. Dia tampak terkejut melihat keberadaan ku dan Mas Hanan disini, dia melirik tanganku dan Mas Hanan yang saling bertautan, kemudian kembali mengalihkannya pandangannya. Aku mengeratkan genggaman pada tangan Mas Hanan, dan dibalas oleh lelaki itu."Ngapain kamu kesini?" ketus Mas Hanan."Aku ingin menjemput Alana. Kenapa?" balas Aluna dengan wajah datar."Lebih baik kamu menjauh dari keluargaku. Sekarang kita bukan lagi suami istri. Sudah seharusnya kamu tak lagi datang kemari dengan bebas, karena secepatnya Nayma akan menggantikan posisimu disini." Mas Hanan menatap Aluna dengan angkuh. Aluna menaikkan sebelah alisnya, kemudian tersenyum kecut."Memangnya apa hakmu melarangku datang kemari? Kita memang bukan lagi pasangan suami istri, tetapi Alana ... dia tetap memiliki tempat di rumah ini, sampai kapan pun itu. Dan satu hal lagi, selagi bukan Ibu yang menolak kedatanganku, tak akan ada yang bisa menghalangi kapan aku ingin kemari. Termasuk kamu!" Jemari lentik Aluna menuding tepat didepan wajah Mas Hanan.Wajah Mas Hanan pias. Aku menggeram kesal dengan tingkah sok berkuasa Aluna. Mentang-mentang keluarga Mas Hanan lebih berpihak padanya, seenaknya saja dia bersikap."Hey, jaga sikapmu itu! Buang saja hijabmu itu jika tak bisa bicara dengan sopan!" balasku menantangnya.Huh! Sejak didalam tadi aku menahan diri untuk tak bicara kasar, sekarang malah bertemu dengan perempuan sial ini. Bagaimana aku tidak meledak?Aluna tersenyum miring, dia berpangku tangan. Kemudian menatapku sinis dari atas hingga bawah, sebenarnya apa mau perempuan ini?"Jangan bawa-bawa hijabku, Nayma. Menutup aurat adalah kewajiban untukku, dan membalas kalimat menjijikan dari kalian adalah hakku. Kau tak bisa menyamakannya." Dia berucap tenang, tapi penuh penekanan. Aku mencebik mendengarnya, benar-benar wanita sialan, kenapa dia tak lebih dulu bicara kasar saja? Supaya aku punya alasan untuk membalasnya."Katakan saja jika kamu cemburu padaku, Aluna. Kamu sakit hati, kan, karena Mas Hanan lebih memilihku dibanding dirimu? Tak perlu menyembunyikan lukamu itu, karena sejak awal aku sudah bisa membacanya." Aku mencemooh Aluna. Ku pancing saja dia agar emosi, pasti setelahnya sifat aslinya akan keluar."Katakan apa alasannya aku harus cemburu padamu? Memangnya apa kelebihanmu? Jika dari segi harta, jelas kamu tertinggal jauh dibawah ku. Jika dari segi penampilan, kurasa aku tak terlalu buruk juga darimu. Jadi coba katakan, kenapa aku harus merasa cemburu padamu?" balas Aluna.Darahku mendidih mendengarnya. Perempuan itu jelas sedang menghinaku. Aku maju selangkah, kuangkat tanganku tinggi-tinggi ingin melayangkan tamparan pada perempuan itu."Apa yang sedang kau lakukan, Nayma? Jangan berani-beraninya menyentuh menantuku!" teriak seseorang dari arah belakangku. Tanganku terhenti di udara. Ku turunkan secara perlahan dengan emosi yang masih memuncak. Mataku menatap nyalang Aluna yang sedang tersenyum mengejek kearahku."Bu, seharusnya yang Ibu tegur itu Aluna. Dia yang lebih dulu menghina Nayma," bela Mas Hanan. Untung ada lelaki itu."Ibu tau bagaimana Aluna. Ternyata 3 tahun berumah tangga dengannya, tak membuatmu mengenali sikap asli istrimu sendiri, Hanan! Aluna tak akan mengganggu, jika dia tak lebih dulu diganggu!" Ibu Mas Hanan masih tetap membela Aluna."Tetap saja dia salah, Bu. Sebenarnya yang anak Ibu itu siapa, sih? Aku atau Aluna? Kenapa Ibu selalu membelanya?" kesal Mas Hanan. Aku jadi kasihan pada kekasihku itu, dia jadi diasingkan gara-gara perempuan asing itu."Lebih baik Ibu tak memiliki anak laki-laki sepertimu! Hatimu benar-benar sudah tertutup gara-gara kehadiran perempuan itu. Ibu tak sudi bertukar menantu, dari yang awalnya berlian malah turun kasta menjadi batu kerikil." Aku melongo mendengar ucapan wanita tua itu. Sialan! Dia benar-benar sialan. Seenaknya saja membandingkan aku dengan Aluna. Mana aku diibaratkan seperti batu kerikil lagi!Kulihat Aluna dan Mbak Ike saling menahan tawa. Ku lempar tatapan tajam pada keduanya. Kesal sekali aku, keliatan sekali mereka ingin menjatuhkanku dihadapan Mas Hanan. Dari pada berlama-lama disini, lebih baik aku mengajak Mas Hanan pergi."Sudahlah, Mas. Ngapain kita disini coba? Kedatangan kita tidak disambut baik, kita tak dianggap. Malah lebih dianggap orang asing dibanding anak sendiri. Lebih baik kita pergi saja, Mas," sindirku sambil menarik lengan Mas Hanan. Lelaki itu mengangguk, kami siap melangkahkan kaki, hingga suara Ibu Mas Hanan kembali menghalangi langkah kami."Bagus itu. Ternyata kamu sadar diri juga tak dianggap disini. Pergilah, pergi yang jauh. Jangan pernah berpikir untuk kembali kesini. Aku lebih baik kehilangan anakku yang bodoh itu, dibanding harus menerima kamu di rumah ini. Kalian berdua cocok, sama-sama bodoh dan tak punya hati," tandas Ibu Mas Hanan. Dia berbalik dengan menggandeng tangan Aluna, sedang Mbak Ike menyempatkan diri melempar tatapan mencemooh padaku sebelum benar-benar masuk mengikuti langkah Ibunya dan Aluna.Arrrghhh! Aku kesal sekali dengan mereka semua.Hati perempuan mana yang tak hancur saat mendapati sebuah kenyataan jika pasangannya berselingkuh?Aku Aluna, perempuan yang diselingkuhi berulang kali oleh suamiku–Mas Hanan. Memang bukan ini pertama kalinya aku memergoki Mas Hanan selingkuh, sebelum dengan Nayma, pernah dengan beberapa perempuan lainnya juga. Tapi ... tak separah ini. Pertama kali ia ketahuan selingkuh, saat pernikahan kami baru menginjak 1 tahun. Saat itu, aku mendapatinya berkirim pesan mesra dengan perempuan lain, hanya sebatas itu. Saat kutanya pun katanya mereka tak pernah bertemu, hanya sering berbalas pesan dan kenalnya dari aplikasi biru.Meski saat itu aku merasakan sakit, tapi ku putuskan untuk memaafkan, apalagi Mas Hanan berjanji tak akan mengulangi lagi.Tapi, dia kembali berulah saat aku sedang hamil Alana–putri kami. Kejadiannya sama, hanya sebatas chat dan panggilan suara saja. Aku kembali memaafkan karena tak mendapati mereka pernah bertemu.Itu bukan yang terakhir, saat Alana berumur 1 tahun lebih
Aku masuk ke apartemen dengan langkah cepat. Rasa sakit hatiku akibat penghinaan keluarga Mas Hanan tadi masih sangat membekas, ditambah lagi dengan kehadiran perempuan sialan itu, siapa lagi kalau bukan Aluna?"Yank, jangan marah-marah gitu, dong!" seru Mas Hanan berusaha mengejar langkahku. Tak ku pedulikan panggilannya, aku terus melangkah hingga ke kamar.Ku banting pintu kamar dengan keras. Aku yakin, Mas Hanan pasti terperanjat kaget diluar sana. Tapi aku sedang marah, jadi aku tak peduli dengan Mas Hanan sekali pun."Arrrghhh! Sial, sial. Kenapa mereka harus berpihak pada Aluna, sih?" Aku berteriak dengan kesal. Aluna sangat pintar bermain cantik. Dia tak sedikit pun terpengaruh saat aku mengata-ngatainya. Emosi saja tak dia perlihatkan, dia tetap tenang meski Mas Hanan membelaku secara terang-terangan. Sikap angkuhnya itu semakin bertambah saat semua keluarga Mas Hanan berpihak padanya."Kita lihat saja, Aluna. Apa setelah ini kamu akan tetap tenang?" ucapku pada diri sendiri
Aku dan Mas Hanan baru saja sampai di kampung saat jam makan siang. Perjalanan dari kota ke kampungku memakan waktu 5 jam. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bapak dan Ibu. Sebelum berangkat tadi, aku memang sempat menghubungi Ibu, memberitahu kedatanganku bersama Mas Hanan."Alhamdulillah, kalian sampai juga dengan selamat! Ayo, masuk. Istirahat dulu, kalian pasti capek," sambut Ibu memelukku. Aku membalas pelukan hangat Ibu yang sangat ku rindukan itu, setelah itu beralih pada Bapak juga.Aku dan Mas Hanan digiring masuk oleh Bapak dan Ibu. Aku mempersilahkan Mas Hanan istirahat di sofa lebih dulu, sedang aku ikut Ibu ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Beruntung rumah ini sudah direnovasi, bayangkan kalau belum? Pasti Mas Hanan akan risih berada disini. Aku meninggalkan Mas Hanan bersama Bapak disana, biarkan saja mereka berbincang-bincang dulu."Wah, Ibu masak banyak banget. Nay jadi kangen makan masakan Ibu," seruku saat melihat di meja makan sudah penuh dengan masakan Ibu.
"Bagaimana bisa kamu malah berpikir begitu? Kami tidak ingin Nayma dinikahi secara siri. Memangnya dia istri kedua?" protes Bapak, Ibu mengangguk setuju. Raut wajah orang tuaku sudah berubah, dari yang awalnya bersahabat menjadi lebih sangar."Apa jangan-jangan karena ini keluargamu tak ada yang datang? Apa kau ingin menikahi putriku secara diam-diam, hah?" hardik Bapak dengan muka memerah. Dia sudah berdiri dari duduknya, aku jadi takut luar biasa menyaksikan kemarahan Bapak.Ibu ikut berdiri, dia menenangkan Bapak yang tampak emosi. Kutatap Mas Hanan dengan tajam, tapi lelaki itu hanya diam dengan wajah datar."Pak, dengar dulu penjelasan Mas Hanan. Jangan emosi begini, Pak," kataku mencoba menengahi."Benar apa yang dikatakan Nayma, Pak. Malu kalau didengar tetangga ribut-ribut begini," timpal Ibu ikut menenangkan. Bapak menghembuskan napas kasar, kemudian beristighfar dengan lirih.Kami kembali duduk setelah Bapak tenang. Bapak menatap Mas Hanan dengan tajam. "Sebelumnya saya moh
Mas Hanan memegang bahuku, kemudian menatapku penuh harap. Aku tak sanggup jika harus mengecewakan laki-laki ini. Dia saja bisa meninggalkan keluarganya demi aku, kan? Lagian Bapak dan Ibu tak akan sanggup marah denganku lama-lama. Aku anak mereka satu-satunya, mana mungkin mereka sanggup kehilanganku seperti yang Bapak Katakan tadi.Aku memutuskan mengangguk. Aku akan tetap menikah dengan Mas Hanan di kota. Aku yakin, setelah aku menikah dan punya anak, Bapak dan Ibu pasti akan memaafkan. Biarlah sekarang mereka marah dulu. Lagian kemana lagi kucari laki-laki yang royal dan tampan seperti Mas Hanan? Apalagi aku sudah diperaw*ni oleh Mas Hanan, mana ada laki-laki yang mau lagi padaku, kan?"Terimakasih banyak, Yank. Mas janji akan terus membahagiakanmu," janji Mas Hanan. Lelaki itu menatapku. Bisa kulihat ketulusan dari bola mata lelaki itu, aku yakin tak akan menyesal mengambil keputusan ini."Jangan pernah tinggalkan aku, ya, Mas? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi setelah ini. B
[Seharusnya, jadi perempuan itu mahalan dikit, Nay. Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup, itu pun kalau tak ada PELAKOR yang akan menggoda suamimu. Masa iya nikah cuma pake kebaya dan riasan wajah yang tipis begitu? Aku yang otw janda aja ogah diajak nikah sederhana. Ya, kali nikah cuma dihadiri empat orang? Itu nikah atau rapat keluarga?]Darahku mendidih membaca pesan Aluna. Emosiku memuncak hingga ke ubun-ubun. Benar-benar perempuan sialan. Berani-beraninya dia menghinaku. Dengan menahan geram, aku membalas pesan darinya.[Yang penting halal, kan? Dari pada kamu, ditinggalkan hanya demi perempuan lain. Itu artinya, kamu itu tak berharga sedikit pun di hati Mas Hanan.]Aku berharap Aluna sakit hati dengan pesanku ini. Ingin sekali kulihat perempuan itu hancur sehancur-hancurnya. Lihat saja! Setelah ini, tak akan kubiarkan Mas Hanan bertemu dengan putri mereka lagi."Yank! Dari tadi mainin ponsel terus. Mending sekarang kita beres-beres," tegur Mas Hanan menepuk pundakku. Ak
[Darimana kamu tau tentang kontrakan baru kami? Kamu sengaja memata-matai kami, ya? Keliatan banget, kalau kamu itu belum bisa move on. Kasihan banget.]Aku membalas pesan Aluna. Aku yakin sekali, dia pasti sedang memata-matai kami. Kalau tidak, dari mana dia bisa tau tentang rumah ini? Dasar perempuan gatal. Sudah diceraikan, masih juga ngejar-ngejar.[Kontrakan baru? Jadi, Mas Hanan mengakui rumah itu sebagai kontrakan kalian? Nggak salah?] Aku semakin bingung membaca pesan Aluna selanjutnya. Memangnya kenapa jika Mas Hanan mengakui rumah ini sebagai kontrakan? Apa salahnya? Dari pada ngontrak ngakunya rumah pribadi, kan?[Maksudmu apa? Apanya yang salah? Orang rumah ini memang kontrakan baru kami, kok! Kamu itu jangan sombong, mentang-mentang punya rumah besar. Abis ini Mas Hanan juga sudah janji bakal beliin aku rumah yang lebih besar dari punyamu itu.] Aku sengaja memanas-manasi Aluna. Biar saja dia kebakaran jenggot. Dia pasti tidak senang melihat kebahagiaanku dengan Mas Hana
Tengah malam, aku tersentak dan baru sadar jika aku ketiduran di sofa. Kuraih ponsel dan melihat jam, sudah jam tiga? Tapi kenapa Mas Hanan belum juga pulang?Emosi yang tadi sempat melebur karena aku ketiduran, tiba-tiba bangkit kembali. Saat ingin menghubungi Mas Hanan, terdengar deru mesin mobil berhenti dihalaman rumah. Aku segera bangkit, kulangkahkan kaki keluar dan membuka pintu.Mas Hanan sempat berjingkat kaget saat pintu kubuka. Ku lempar tatapan tajam padanya. Dia tampak salah tingkah dan membalasku dengan senyuman."Kenapa kamu baru pulang jam segini, Mas? Kamu sudah lupa kalau punya istri? Kamu lebih mentingin mantanmu itu dibanding aku istrimu?" Aku langsung mencecarnya. Mas Hanan terdiam mendengarku, mungkin dia sadar akan kesalahannya."Ingat, Mas! Istrimu sekarang ini aku, bukan lagi Aluna. Tapi kenapa kamu lebih mementingkan dia?" sambungku dengan perasaan kesal luar biasa. Aku berteriak didepannya, entah suaraku bisa terdengar hingga rumah tetangga atau tidak aku pu