Share

7

Mas Hanan melirik tangan kami yang saling bergenggaman, kemudian melirikku. Ku pasang tampang menyedihkan didepannya, aku berekspresi sesendu mungkin, semua itu kulakukan agar Mas Hanan tak termakan omongan wanita didepan kami itu.

"Maaf, Bu. Aku tetap pada pendirianku. Pilihanku tetap dengan Nayma. Dan kami ... akan menikah secepatnya."

Puas! Aku puas sekali. Terlebih saat melihat wajah pias Ibu dan anak didepanku itu. Aku tersenyum mencibir Mbak Ike, wanita itu membalasku dengan tatapan tajam. Bukankah ini drama yang baik? Aku lebih dipentingkan dibanding keluarganya sendiri.

"Kalau begitu, jangan harap kamu akan dapat restu dari Ibu!" ancam Ibu Mas Hanan. Aku melirik Mas Hanan, apa dia terpengaruh dengan ancaman wanita itu?

"Aku akan tetap menikahi Nayma, dengan atau tanpa restu Ibu. Pernikahan kami tetap akan sah, karena dari pihak laki-laki tak perlu wali. Tetapi ... karena ingin menghargai Ibu, maka aku datang kemari dengan membawa Nayma. Kukira sambutan kalian akan baik terhadapnya, tapi apa? Malah cacian dan hinaan yang ia dapat disini. Jadi, aku putuskan untuk tak lagi meminta restu dari Ibu. Karena semua itu juga tak ada gunanya." Mas Hanan mengucapkan kata demi katanya dengan penuh penekanan. Dia berucap dengan lugas, membuat hatiku semakin tersiram hawa kebahagiaan.

Ku lihat Ibu Mas Hanan menghela napas dan menghembuskannya secara pelan. Wanita itu memijit pelipisnya, mungkin pusing memikirkan sikap keras sang putra. Apa peduliku?

"Kalau begitu, pergi dari sini dan jangan pernah kembali. Aku tak sudi memiliki menantu yang awal kehadirannya saja tak mendapat sambutan baik disini." Aku memicing mendengarnya. Dasar wanita tua sombong!

"Itu semua karena kalian. Kalian yang tak menyambutnya dengan baik!" balas Mas Hanan marah. Aku diam saja memperhatikan perdebatan sengit ini.

"Karena dia tak pantas mendapat tempat di rumah ini! Dia bukan Aluna, perempuan baik, sopan dan lemah lembut. Dia Nayma, perempuan berhati iblis yang menyamar menjadi malaikat untukmu! Kamu pikir kami akan menerima iblis disini? Tentu saja tidak!" Darahku mendidih mendengar ucapan Mbak Ike yang mengatakan aku iblis. Ingin sekali ku tampar mulut tajamnya itu, tapi aku harus tetap menjaga marwahku didepan Mas Hanan.

"Mulutmu sudah melewati batas, Mbak!" bentak Mas Hanan berdiri. "Ayo, Nay. Kita pergi dari sini. Aku menyesal datang kemari, nyatanya kedatangan kita tak mendapat sambutan baik dari mereka." Mas Hanan menarik tanganku. Aku menurut saja, ku lempar tatapan penuh dendam pada Mbak Ike.

"Kupikir, keluarga adalah tempat ternyaman untukku pulang. Ternyata aku salah," sindir Mas Hanan. Ibunya dan Mbak Ike tak menyahut, mereka diam saja seolah tak peduli dengan ucapan anak lelaki satu-satunya itu.

Mas Hanan membawaku keluar. Aku benar-benar sakit hati dengan penghinaan ini. Lihat saja, akan ku balas mereka. Akan ku buat Mas Hanan tak pernah kembali kesini, karena dia hanya akan menjadi milikku seorang.

Saat kami mencapai teras, Aluna berjalan menuju rumah ini. Dia tampak terkejut melihat keberadaan ku dan Mas Hanan disini, dia melirik tanganku dan Mas Hanan yang saling bertautan, kemudian kembali mengalihkannya pandangannya. Aku mengeratkan genggaman pada tangan Mas Hanan, dan dibalas oleh lelaki itu.

"Ngapain kamu kesini?" ketus Mas Hanan.

"Aku ingin menjemput Alana. Kenapa?" balas Aluna dengan wajah datar.

"Lebih baik kamu menjauh dari keluargaku. Sekarang kita bukan lagi suami istri. Sudah seharusnya kamu tak lagi datang kemari dengan bebas, karena secepatnya Nayma akan menggantikan posisimu disini." Mas Hanan menatap Aluna dengan angkuh. Aluna menaikkan sebelah alisnya, kemudian tersenyum kecut.

"Memangnya apa hakmu melarangku datang kemari? Kita memang bukan lagi pasangan suami istri, tetapi Alana ... dia tetap memiliki tempat di rumah ini, sampai kapan pun itu. Dan satu hal lagi, selagi bukan Ibu yang menolak kedatanganku, tak akan ada yang bisa menghalangi kapan aku ingin kemari. Termasuk kamu!" Jemari lentik Aluna menuding tepat didepan wajah Mas Hanan.

Wajah Mas Hanan pias. Aku menggeram kesal dengan tingkah sok berkuasa Aluna. Mentang-mentang keluarga Mas Hanan lebih berpihak padanya, seenaknya saja dia bersikap.

"Hey, jaga sikapmu itu! Buang saja hijabmu itu jika tak bisa bicara dengan sopan!" balasku menantangnya.

Huh! Sejak didalam tadi aku menahan diri untuk tak bicara kasar, sekarang malah bertemu dengan perempuan sial ini. Bagaimana aku tidak meledak?

Aluna tersenyum miring, dia berpangku tangan. Kemudian menatapku sinis dari atas hingga bawah, sebenarnya apa mau perempuan ini?

"Jangan bawa-bawa hijabku, Nayma. Menutup aurat adalah kewajiban untukku, dan membalas kalimat menjijikan dari kalian adalah hakku. Kau tak bisa menyamakannya." Dia berucap tenang, tapi penuh penekanan. Aku mencebik mendengarnya, benar-benar wanita sialan, kenapa dia tak lebih dulu bicara kasar saja? Supaya aku punya alasan untuk membalasnya.

"Katakan saja jika kamu cemburu padaku, Aluna. Kamu sakit hati, kan, karena Mas Hanan lebih memilihku dibanding dirimu? Tak perlu menyembunyikan lukamu itu, karena sejak awal aku sudah bisa membacanya." Aku mencemooh Aluna. Ku pancing saja dia agar emosi, pasti setelahnya sifat aslinya akan keluar.

"Katakan apa alasannya aku harus cemburu padamu? Memangnya apa kelebihanmu? Jika dari segi harta, jelas kamu tertinggal jauh dibawah ku. Jika dari segi penampilan, kurasa aku tak terlalu buruk juga darimu. Jadi coba katakan, kenapa aku harus merasa cemburu padamu?" balas Aluna.

Darahku mendidih mendengarnya. Perempuan itu jelas sedang menghinaku. Aku maju selangkah, kuangkat tanganku tinggi-tinggi ingin melayangkan tamparan pada perempuan itu.

"Apa yang sedang kau lakukan, Nayma? Jangan berani-beraninya menyentuh menantuku!" teriak seseorang dari arah belakangku. Tanganku terhenti di udara. Ku turunkan secara perlahan dengan emosi yang masih memuncak. Mataku menatap nyalang Aluna yang sedang tersenyum mengejek kearahku.

"Bu, seharusnya yang Ibu tegur itu Aluna. Dia yang lebih dulu menghina Nayma," bela Mas Hanan. Untung ada lelaki itu.

"Ibu tau bagaimana Aluna. Ternyata 3 tahun berumah tangga dengannya, tak membuatmu mengenali sikap asli istrimu sendiri, Hanan! Aluna tak akan mengganggu, jika dia tak lebih dulu diganggu!" Ibu Mas Hanan masih tetap membela Aluna.

"Tetap saja dia salah, Bu. Sebenarnya yang anak Ibu itu siapa, sih? Aku atau Aluna? Kenapa Ibu selalu membelanya?" kesal Mas Hanan. Aku jadi kasihan pada kekasihku itu, dia jadi diasingkan gara-gara perempuan asing itu.

"Lebih baik Ibu tak memiliki anak laki-laki sepertimu! Hatimu benar-benar sudah tertutup gara-gara kehadiran perempuan itu. Ibu tak sudi bertukar menantu, dari yang awalnya berlian malah turun kasta menjadi batu kerikil." Aku melongo mendengar ucapan wanita tua itu. Sialan! Dia benar-benar sialan. Seenaknya saja membandingkan aku dengan Aluna. Mana aku diibaratkan seperti batu kerikil lagi!

Kulihat Aluna dan Mbak Ike saling menahan tawa. Ku lempar tatapan tajam pada keduanya. Kesal sekali aku, keliatan sekali mereka ingin menjatuhkanku dihadapan Mas Hanan. Dari pada berlama-lama disini, lebih baik aku mengajak Mas Hanan pergi.

"Sudahlah, Mas. Ngapain kita disini coba? Kedatangan kita tidak disambut baik, kita tak dianggap. Malah lebih dianggap orang asing dibanding anak sendiri. Lebih baik kita pergi saja, Mas," sindirku sambil menarik lengan Mas Hanan. Lelaki itu mengangguk, kami siap melangkahkan kaki, hingga suara Ibu Mas Hanan kembali menghalangi langkah kami.

"Bagus itu. Ternyata kamu sadar diri juga tak dianggap disini. Pergilah, pergi yang jauh. Jangan pernah berpikir untuk kembali kesini. Aku lebih baik kehilangan anakku yang bodoh itu, dibanding harus menerima kamu di rumah ini. Kalian berdua cocok, sama-sama bodoh dan tak punya hati," tandas Ibu Mas Hanan. Dia berbalik dengan menggandeng tangan Aluna, sedang Mbak Ike menyempatkan diri melempar tatapan mencemooh padaku sebelum benar-benar masuk mengikuti langkah Ibunya dan Aluna.

Arrrghhh! Aku kesal sekali dengan mereka semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status