“Mas, aku minta maaf. Aku hari ini nggak bisa ke rumah sakit. Elang juga masuk rumah sakit semalam.” Entah kebetulan seperti apa, tetapi ketika Pijar keluar dari sebuah toko baju, dia mendapati Noah baru saja keluar dari sebuah restoran di samping toko. Lelaki itu baru saja meeting dan pertemuan itu akhirnya terjadi. “Elang sakit?” tanya Noah terkejut. “Iya. Dia kena tipes.” Wajah lelah Pijar tak bisa ditutupi. Noah mengajak Pijar masuk ke dalam restoran agar mereka setidaknya bisa mengobrol meskipun sebentar. Pijar tak menolak dan mereka duduk berdua di sebuah meja di sudut restoran. “Kamu terlihat lelah banget, Jar.” Begitu Noah mengawali obrolan. “Kamu semaleman nunggu dia?” Pijar tersenyum. Dia tak mungkin mengatakan secara gamblang apa yang dilakukan oleh Elang yang kekanakan. “Iya, Mas. Kebetulan aku semalem yang bawa dia ke rumah sakit.” “Lho, emang orang tuanya ke mana?” “Dia tinggal di apartemen sendirian. Dia juga nggak bilang kalau sakit, sekretaris pribadin
“Kamu pikir nikah itu seperti beli cabe?” Almeda melototi Elang yang sudah duduk sambil menatap tiga orang di depannya. Perempuan paruh baya itu sepertinya sudah tidak sabar dengan tingkah putranya yang seenaknya sendiri. “Pijar berhak berpikir apa kamu pantas atau tidak diterima menjadi suaminya!” Gema pun ikut angkat bicara. “Kamu itu sudah tua, tingkah kayak anak kecil.” Gema yang sejak tadi membiarkan Elang bertingkah semaunya itu akhirnya mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya Pijar yang dibuat kesal, orang tuanya juga terlihat kesal dengan tingkah Elang. “Papa ini harusnya belain aku. Aku ini anak Papa, lho. Kalau aku diterima sama Pijar, sebentar lagi kalian akan punya menantu,” balas Elang terlihat licik. Pijar tidak menanggapi dan membiarkan lelaki itu berbuat sesuka hatinya. Dia menatap Gema dan Almeda bergantian. “Bu, Pak, terima kasih karena sudah memberikan saya waktu untuk berpikir. Jujur saja, saya masih belum ada keinginan untuk menikah cepat-cepat.” “Nggak usah
“Aku mencintaimu dahulu, sekarang, besok, dan seterusnya.” Kalimat itu terngiang di telinga Pijar. Elang benar-benar tidak berubah. Masih sama seperti dulu ketika mereka masih berpacaran. Lelaki itu tak pernah sungkan mengatakan jika dia mencintai Pijar. Dia memperlakukan Pijar yang utama dibandingkan dengan apa pun dan siapa pun. Elang adalah definisi lelaki yang tidak suka berpindah hati. Jika dibandingkan Aurora dengan Pijar, maka mungkin Aurora lebih cantik dan bersinar. Namun, Elang bahkan tidak sekalipun melirik perempuan itu kecuali dia memanfaatkannya. “Bagaimana keadaan Elang sekarang?” Pertanyaan ibu Pijar membuat perempuan itu terkejut. Dia menoleh dan mendapati ibunya sudah duduk di sampingnya. “Udah mulai kerja?” tanyanya lagi. “Masih belum kerja, Bu. Dia kelihatan udah sehat, tapi capek sedikit aja kemarin badannya panas lagi.” Tabiat tipes memang susah untuk dimengerti. Persis seperti Elang. Lelah sedikit saja, panas tubuhnya meningkat lagi. Pijar benar-benar harus
“Aku akan pergi untuk penyuluhan di desa-desa. Mungkin sekitar satu atau minggu. Bisa juga satu bulan.” Pijar mengatakan itu kepada Elang sebagai penyampaian jika dia akan pergi. Sigma sedang bekerja sama untuk membangun sekolah gratis di desa terpencil dan dia mendapatkan peran sebagai pengawas. Sebagai perusahaan besar, hal semacam itu sering dilakukan oleh Sigma dan Infinity sebagai amal. Elang yang sedang membaca email di tabletnya itu lantas mengernyit. Dia tahu tentang kegiatan tersebut, tetapi tidak berpikir jika Pijar akan ikut serta di dalamnya. Apa-apaan itu. Mereka baru saja resmi menjadi pasangan yang sudah bertunangan, tetapi Elang akan ditinggalkan. “Aku nggak izinkan kamu ikut acara seperti itu. Tugaskan orang lain dan tidak perlu kamu yang melakukannya. Leo yang ajukan kamu?” “Bukan. Aku sendiri yang mengajukan diri.” Pijar berucap santai seolah-olah Elang tidak pernah mempermasalahkannya. Elang meletakkan tabletnya di sampingnya dengan kasar karena merasa kesal.
Pijar tidak tahu orang gila mana yang mendatangi tengah malam begini di saat dia sudah terlelap tidur. Melihat jam, sudah pukul 23.45. Dia tak pernah mendapatkan tamu semalam ini sebelumnya. Namun, bel rumahnya terus saja berbunyi dan membuatnya harus mengalah untuk membukakan pintu. Ketika dia mengintip dari jendela rumahnya, dia mendapati Elang berdiri di sana dengan ekspresi dingin. Hanya berpakaian seadanya menunggu pintu rumah terbuka. “Lang.” Pijar terkejut melihat keberadaan Elang yang sudah tengah malam datang ke rumahnya. Tiba-tiba saja, lelaki itu memeluk Pijar dengan erat. “Selamat ulang tahun, Tuan Putri.” Begitu katanya tepat di telinga Pijar. Lelaki itu mencium pundak Pijar yang terlapis baju. Pijar terkejut. Ulang tahun? Sekarang tanggal berapa? Itulah yang berputar di dalam pikirannya. “Aku ulang tahun?” tanyanya kepada Elang yang kini tengah memeluknya. “Aku lupa.” Elang melepaskan pelukannya, menatap mata Pijar yang sayu khas orang bangun tidur. Senyuman kecilny
Pijar tersenyum ketika melihat kalung yang melingkar di lehernya. Elang tidak pernah berubah. Sikap hangat yang diberikan kepadanya adalah keberuntungan buat Pijar. Setelah sepuluh nyatanya tidak mengurangi perasaan lelaki itu kepadanya. “Ternyata berada di sisi Elang adalah sesuatu yang menyenangkan,” gumam Pijar kepada pantulan dirinya di cermin. “Aku berharap dia tidak pernah berubah.” Pijar tidak pernah membayangkan bagaimana perasaannya jikalau Elang berubah dan bersikap buruk kepadanya seperti sebelumnya. Perempuan itu menggelengkan kepalanya membuyarkan bayangan buruk itu dipikirannya. Tidak mungkin Elang melakukan itu kepadanya. Di tempat lain, Elang pulang ke rumah orang tuanya. Kebetulan keluarganya berkumpul dan itu memudahkan dirinya untuk menyampaikan rencananya. “Nggak ke kantor, Bang?” tanya Permata kepada Elang. Pasalnya, ini adalah jam kerja dan tidak biasanya Elang berada di rumah di jam kerja. “Mau bilang sesuatu, Bun.” “Kenapa? Pijar udah mau diajak nikah?” C
Yang perlu dipersiapkan Pijar saat menikah hanyalah jiwa dan raga. Segala hal yang perlu dilakukan untuk pernikahan sudah ada ahlinya masing-masing yang menangani. Kebaya untuk akad nikah dibuat langsung oleh Crystal, perhiasan di desaign langsung oleh Moza. Pijar hanya perlu datang untuk mencoba dan berkomentar.Tidak terasa hubungan Elang dan Pijar sudah melangkah lebih dekat menuju pernikahan. Mengambil keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah untuk Pijar, tetapi memikirkan kehilangan Elang juga tidak bisa diterima oleh hatinya. Maka dari itu, keputusan untuk menikah dengan Elang akhirnya diambil dan menjadikan Elang sebagai tambatan hatinya yang terakhir.“Bagaimana rasanya setelah mengambil keputusan besar itu?”Malam ini Pijar bertemu dengan Rio dan mengatakan kalau dia akan menikah dengan Elang. Setelah lama tidak bertemu dengan Rio, Pijar muncul dengan membawa serta kabar baik. Rio tidak menanggapi dengan skeptis karena dia tahu jika perasaan Pijar dari awal begitu dalam u
Elang benar-benar gila sore ini. Dia seperti mendapatkan mainan baru sehingga tidak ingin melepaskan Pijar. Yang lebih membanggakan lagi adalaha tidak ada satu pun orang yang mengganggunya. Tidak ada ketukan pintu atau sejenisnya. Kedamaian itu terasa seperti di surga. Elang mengecup pundak Pijar sebelum menggigitnya. “Bangun, Sayang. Kita belum makan dan aku lapar.” Pijar enggan untuk membuka mata. Dia merasakan kantuk yang luar biasa sampai matanya terasa tak bisa dibuka. “Aku ngantuk. Makan saja sendiri.” Mata boleh tertutup, tetapi telinga yang aktif mendengar, membuat bibirnya sanggup bergumam. “Salah siapa nggak sabaran. Tulangku rasanya lepas semua.” Bukannya marah, Elang justru terkekeh. “Makanya jangan suka menggoda. Aku ini kalau udah berurusan sama kamu nggak akan bisa tahan.” Elang menyangga kepalanya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya begitu aktif menjamah tubuh istrinya. Mulai dari perut lalu naik ke pundak. “Lang … ih!” Pijar mendorong suaminya itu den