Embun kembali mendapati pesan singkat di ponsel suaminya. Pesan yang selalu datang tiap awal bulan. Keluarga suaminya selalu meminta jatah bulanan tanpa peduli kabar anak dan menantunya di perantauan. Padahal bulan ini, Embun dan suaminya yang bernama Bumi, berencana meminjam uang di bank untuk dipergunakan membeli sebidang tanah. Mereka ingin membangun kos-kosan sekaligus tempat tinggal mereka. Kelak, itu akan menjadi sumber penghasilan kedua mereka. Tapi apakah mimpi itu bisa terwujud? Jika sebagian besar gaji Bumi dikuasai oleh ibunya?
Lihat lebih banyakSatu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana
“Sayang … Sayang, kamu dimana sih? Laras … Mas datang, Sayang. Kamu dimana?”Anton seperti orang kesurupan. Dia datang membawa keributan ke rumah sakit. Bagaimana tidak? Saat dia tengah bekerja, ponselnya tiba-tiba berdering dan memberi kabar mengejutkan tentang musibah yang menimpa sang istri. Tanpa pikir panjang, saat itu juga Anton membawa angkot yang dia kendarai ke rumah sakit.“Tenang, Mas … tenang! Biar aku yang cari tahu ke bagian informasi, ya,” ucap Ilham.Beruntung Ilham masih berada di sisi Anton saat ini, hingga dia mampu menemani serta memberi ketenangan pada teman sekaligus bos-nya itu.Ilham pun mencari tahu tentang keberadaan Laras melalui pusat informasi. Mereka pun diarahkan untuk bertemu Laras yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.Ketika melihat tubuh sang istri terbaring di ranjang rumah sakit dengan tangan yang telah dipasang ja-rum infus, hati Anton ter-i-ris. Dia langsung mendekat ke arah sang istri dan memeluknya.“Ya ampun, Sayang. Kamu gak apa-apa, ‘kan? An
“Mas, antar aku ke pasar, yuk! Hari ini aku pengen banget buat bolu pisang.”Laras merengek di hadapan suaminya. Di trimester akhir kehamilannya ini, Laras benar-benar mengidamkan makanan manis. Seperti kali ini, air li-ur nya menetes jika membayangkan bolu pisang.“Nanti, ya, Sayang. Mas harus narik dulu hari ini.”Anton tak mau ongkang-ongkang kaki begitu saja sebagai mandor angkot. Dia juga ingin bekerja dengan peluhnya sendiri sebagai salah satu supir angkot milik Bastian yang telah dipercayakan pada dirinya. “Tapi kamu pulangnya pasti sore, Mas. Apa gak bisa kamu libur dulu hari ini? Atau narik agak siangan?” tanya Laras, masih terus membujuk sang suami.“Tapi Ilham sudah datang, Sayang. Gak enak kalau harus menyuruh dia pulang lagi.”Ilham adalah kernet angkot yang biasa diajak Anton untuk bekerja. “Atau gini aja deh. Biar nanti aku yang beliin bahan-bahannya di pasar. Kamu gak perlu ikut! Di rumah saja, ya! Cukup kasi aku catatan belanjaan saja.”Anton mencoba mencari jalan t
“Ya ampun, Nak. Kalian semua sudah besar. Tante seneng kalian baik-baik saja,” ucap Embun. Dia menc1um dan memeluk anak-anak Bella satu per-satu. Semua orang di rumah Pak Salim terlihat sangat bahagia dan penuh haru. Pada akhirnya, semua orang bisa berkumpul dengan lengkap, kecuali Bastian. Bu Retno juga mulai pulih dan mau berbicara kembali saat melihat cucu-cucunya kembali dan berkumpul lagi dengan keluarga. Hanya ada dua orang yang terlihat berdiri di pojok ruangan, melihat momen ini dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak berani mendekat, walaupun perasaan bahagia juga terpancar dari wajah mereka. Bella menyadari akan hal ini. Dia lantas mendekati pasangan suami istri itu.“Anton … Laras, maafin, Mbak, ya. Mbak terlalu keras pada kalian. Mbak telah menyakiti hati kalian dengan perkataan Mbak. Hari ini, Mbak sadar kalau kalian adalah saudara—adik-adikku.” Bella memeluk Laras dengan erat. Pecah tangis di antara keduanya. Semua orang yang semula sibuk menyambut kedatangan anak-anak B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.