Share

Fitnah lagi

Fitnah lagi

Yana kembali menekuni jualan Onlinenya, kali ini dengan cara yang berbeda. Yana meminta kurir untuk tidak lagi mengantar paket Yana Ke rumah mertuanya, karena Yana sendiri yang akan menjemput ke kantor Jasa pengiriman.

[Mas, mulai sekarang, jangan antar paket kerumah lagi, ya. Saya akan menjemput paketnya ke kantor sendiri,]

[Kenapa, Mbak? pelayanan kami kurang bagus, ya?]

[Bagus kok, saya cuma pengen jemput ke kantor aja]

[Oke deh, kalau ada paket Mbak Yana, akan saya chat,]

Yana bernapas lega. Ibu mertuanya tidak akan bisa lagi mengusik bisnisnya.

Disisi lain, Bu Wongso merasa heran karena tidak ada lagi tamu yang datang kerumah untuk mengambil paket.

"Sukurin tuh Yana, bangkrut juga akhirnya." gumam Bu Wongso di dalam hati.

Sore itu, Bu Wongso menghadiri acara arisan RT tempat tinggalnya. Bu Wongso melihat ibu-ibu tetangganya berwajah glowing.

"Wah, ibu-ibu wajahnya udah pada glowing aja, perawatan mahal, ya?" tanya Bu Wongso kepada ibu-ibu yang hadir di sana.

"Lah, iya. Kan ada Yana ... jual produk kecantikan yang bikin wajah kami glowing. Gak masalah sih, mahal. Yang penting hasilnya menjanjikan." ujar Bu Wita disertai anggukan ibu-ibu yang lain.

Bu Wongso hanya terdiam, tidak meyangka, jika selama ini Yana masih menjual produk kecantikan tersebut.

"Koq, ibu-ibu nggak pernah ambil paket kerumah saya?" tanya Bu Wongso kepada Bu Wita.

"Owh, udah 2 Minggu ini, Yana sendiri yang ngantar paketnya kerumah saya," ujar Bu Wita.

"Iya, saya juga, Yana sendiri yang ngantar kerumah. katanya supaya pelanggan puas." jawab Bu Dian tersenyum bahagia.

Bu Wongso mengepalkan tangannya. "Awas, ya. Aku akan bikin perhitungan sama kamu," ujar Bu Wongso didalam hati.

Sepanjang perjalanan, Bu Wongso menggerutu di dalam hati. "Pantesan saja, akhir-akhir ini, Yana sering banget pergi bawa motor, ternyata ... ngider jualannya, toh?" Bu Wongso menyunggingkan bibirnya.

Sesampai di rumah, Bu Wongso melihat ke kamar Yana. Sepi, tidak ada siapapun. "hmm, pasti lagi ngider ..." ujar Bu Wongso sembari mencebikkan bibirnya.

"Assalamualaikum ...."

Bu Wongso tersenyum, dia tau betul itu suara siapa.

"Waalaikumsalam, Arif ... kamu pulang, Nak?" ujar Bu Wongso menyambut Arif ke depan pintu.

"Iya, Bu ... " jawab Arif mencium tangan ibunya.

"Bukankah seharusnya kamu pulang beberapa hari lagi?" Bu Wongso mengambil tas dari tangan Arif dan meletakkannya di meja depan televisi.

"Iya sih, Bu ... tapi 3 hari kedepan kan, tanggal merah, Bu ... dari pada bengong di Mes, mending Arif pulang." jawab Arif.

Arif memandang sekeliling, lalu berjalan menuju kamar.

"Yana, Yana ... Mas pulang, nih!" Arif memanggil Yana dan membuka pintu kamar. namun sepi. tidak ada siapapun.

"Yana mana, Bu?" tanya Arif kepada ibunya.

Bu Wongso menundukkan kepalanya, dan meneteskan air mata.

"Bu ... ibu kenapa?" Arif mendekati ibunya. mengusap punggung ibunya yang terisak.

"Ibu itu rasanya serba salah, Rif. kalau cerita ke kamu, ibu di bilang tukang adu. kalau nggak di ceritain, kok rasanya nyesak banget," ujar Bu Wongso menghapus airmatanya.

"Cerita, Bu ... ada apa?" Arif memegang tangan ibunya.

"Tapi, kamu janji, ya ... jangan marahin Yana karena masalah ini," ujar Bu Wongso menatap Arif.

Arif menggangukkan kepalanya. "Ibu cerita aja, Ya!" ujar Arif sembari duduk di samping Ibunya.

"Yana itu setiap hari pergi ngider," Bu Wongso menatap Arif dengan air mata yang berlinang.

"Ngider? ngider apa, Bu?" tanya Arif bingung.

"Ngider produk kecantikan yang dijualnya itu," jawab Bu Wongso.

"Lho, bukannya Yana Nerima paket dan yang beli jemput kesini, Bu?" Arif mengernyitkan keningnya.

"Iya, itu dulu ... tapi semenjak ibu nerima paket Yana dan lupa naruh dimana, Yana marah besar sama ibu. Trus Yana menjemput paketnya ke kantor jasa pengiriman, lalu mengantarnya ke rumah pelanggannya." terang Bu Wongso kepada Arif.

"Astaghfirullah, kenapa ibu nggak jelasin kepada Yana, Bu? kalau ibu lupa naruh?" Arif nampak mulai terpancing emosinya 

"Udah, Rif. Tapi Yana marah-marah sma ibu, dan nuduh kalau ibu sengaja ngumpetin, supaya bisnis Yana bangkrut. Padahal, demi Allah, Rif. Ibu nggak punya niat begitu," Bu Wongso menundukkan kepalanya dan menangis terisak.

"Keterlaluan banget, Yana! berani dia nuduh ibu seperti itu?" Arif mengepalkan tangannya dengan geram.

"Ibu kasian lihat Dila, Rif. Dibawa Yana keliling ngider panas-panas kayak gini, kadang kehujanan juga. Ibu nawarin mau menjaga Dila, Yana juga nggak ngizinin. katanya Ibu nggak becus merawat Dila." Bu Wongso menutup kedua matanya, menangis tersedu-sedu.

"Assalamualaiku,"ujar Yana dari teras rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Wongso dan Arif bersamaan.

"Mas, kamu pulang?" Yana menyongsong Arif dan mencium tangannya.

Arif hanya diam, menatap Dila yang tertidur dalam gendongan Yana. Yana langsung masuk ke dalam kamar, dan membaringkan Dila di atas ranjang.

Yana kembali ke ruang tengah, karena Arif tak kunjung menyusul ke dalam kamar.

"Mas, mau Yana buatin kopi?" tanya Yana menghampiri Arif.

"Nggak perlu," jawab Arif ketus.

Yana merasa ada yang tidak beres. Terlebih, Yana melihat ekspresi Bu Wongso yang terlihat habis menangis.

Yana kembali masuk ke dalam kamar, Yana yakin, ibu mertuanya itu pasti bercerita yang tidak-tidak kepada Arif. Yana mendengar langkah kaki mendekati kamar, benar saja, Arif masuk ke dalam kamar.

"Mana kunci motor?" tanya Arif sembari menadahkan tangannya.

"Ada, Mas, sebentar," ujar Yana merogoh saku jaketnya.

"Cepat!" hardik Arif. Membuat Yana terkejut.

"Mulai sekarang, kunci motor akan mas bawa ke Mes," ujar Arif sembari memperlihatkan kunci tersebut.

"Lho, kenapa mas? kalau aku butuh apa-apa, gimana?" protes Yana, menatap Arid dengan wajah bingung.

"Butuh apa-apa? emang apa sih, yang kamu butuhkan?" tanya Arif seraya bersidekap tangan di dadanya.

"Untuk kepasar, untuk ngantar Dila ke Posyandu." jawab Yana dengan tegas.

"Juga untuk kamu ngider jualan kamu? bawa Dila kepanasan, kehujanan? Gitu?" Arif menatap Yana dengan tatapan tajam.

"Mas, itu ... Ak_" Yana belum menyelesaikan ucapannya.

"Cukup, Dek! kamu tega, ya ... menuduh ibu merusak bisnismu, sampe rela bawak anak ngider jualanmu itu," Arif menunjuk wajah Yana dengan wajah merah padam.

"Mas, apa maksudmu?" Yana berdiri menatap Arif yang terlihat tengah emosi.

"Aku udah tau semuanya. Kalau kamu marah sama ibu, kamu nggak perlu sampai bilang ibu nggak becus ngurus Dila, dong!" Arif mendekati Yana. Lalu mencengkram dagu Yana dengan kasar.

"Mulai sekarang, aku melarang kamu berbisnis, aku melarang kamu bawa motor. Kalau butuh apa-apa, kamu tunggu aku pulang." Arif melepas cengkraman tangannya di dagu Yana.

"Mas, aku nggak pernah melakukan apa yang ibu tuduhkan, itu fitnah ..."

plakkkk

Arif melayangkan tangannya di wajah Yana. 

"Mas, kamu memukul aku, Lagi?" Yana menangis, ini adalah untuk kesekilan kalinya Arif berbuat kasar padanya.

"Itu karena kamu, menuduh ibuku yang bukan-bukan. Berkali-kali Aku katakan, jangan pernah memfitnah ibuku. ibu bukan pembohong!" Arif menatap Yana dengan sorot mata penuh amarah.

Yana mengusap air matanya, lalu mengambil Dila dari ranjang, Yana meraih kain gendongan. Dan membawa Dila pergi dari kamar.

"Yana, mau kamu bawa kemana Dila?" Arif mengejar Yana, dan menahan langkah Yana tepat di hadapan ibunya.

"Arif, ada apa ini, Nak?" Bu Wongso menatap Arif dan Yana secara bergantian.

"Ibu tega, ya! apa yang ibu katakan kepada Mas Arif, sehingga aku mendapat tamparan seperti ini?" ujar Yana memperlihatkan bekas ganbar tangan Arif.

"Ya Allah, Rif ... ini yang ibu takutkan, jika ibu menceritakan kepadamu, Nak. Ibu nggak mau Yana jadi salah paham sama ibu," Bu Wongso menangis dan memegang tangan Arif yang terkepal.

"Tapi, Yana keterlaluan, Bu!" Arif menatap wajah ibunya dengan penuh kasih sayang.

Yana tidak memperdulikan drama ibu mertuanya, Yana terus melangkah, meninggalkan rumah. Di depan gang, Yana memanggil tukang ojek. Yana pergi dengan linangan air mata.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status