Hai, apa kabarmu? Kuharap sehat-sehat saja. Saat ini aku sudah berada di Ibukota. Kamu sudah tahu kan alasanku jauh-jauh datang kemari? Iya benar, itulah tujuanku. Apa kamu kecewa akan keputusanku?
Sudah kuduga, kamu orang yang baik. Harusnya kamu tidak perlu memedulikan orang sepertiku. Sayang sekali, sepertinya kamu orang yang penuh rasa simpati, sehingga sulit untuk tidak peduli. Untuk mengurangi rasa bersalahku padamu, aku akan menjelaskanmu akan beberapa hal yang ada dalam pikiranku.
Yang pertama, jika aku bertahan hidup, aku hanya akan menjadi beban seumur hidup bagi Paman, Bibi dan juga Rafa. Dan yang kedua, saat aku mati, aku terbebas dari segala penderitaan. Dunia ini kejam, sama sekali tidak ada tempat untuk orang lemah sepertiku. Maka dari itu, aku akan pergi untuk selamanya.
***
Green melangkah perlahan. Ternyata tidak sulit mencari jembatan layang di ibukota. Lokasinya sangat sepi, karena jembatan ini biasanya hanya dilewati pada malam hingga dini hari oleh tanker-tanker minyak. Cukup jauh Green berjalan hingga akhirnya dia melihat tiang pembatas yang cukup tinggi pada jembatan layang itu. Ditatapnya bangunan tiang itu, sangat kokoh dari dasar hingga ujungnya. Ah, dia berniat memanjat tiang itu. Dia berpikir bahwa dia akan mati seketika jika jatuh dari ketinggian itu. Maka dia pun segera memanjat tiang itu. Terus dan terus memanjat. Dan sampailah dia di atas, di ujung tiang bangunan itu.
•
•
Green menghela nafas beberapa kali, memanjat itu saja rasanya lelah sekali. Dasar lemah. Sepatutnyalah dia merasa tak berguna. Green berdiri tegak, lalu tak berapa lama dia melihat ke bawah. Sungguh curam! Tetapi tidak ada rasa takut sedikit pun di hatinya. Karena apa? Karena dia memang sudah tidak ingin hidup lagi. Green lalu mengalihkan pandangannya, menatap jauh lurus ke depan.
"Paman Budi, Bibi Mirna, Rafa. Terima kasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan padaku. Selama ini kalian sudah bersikap seperti keluargaku sendiri. Sementara keluarga kandungku sendiri menganggapku telah mati. Tak ada satu orang pun yang tahu kalau aku bermarga Williams. Karena mereka telah melarangku untuk menggunakannya. Padahal, seandainya mereka ingin tahu, aku sendiri juga enggan memakai marga itu. Terima kasih, karena Paman sudah mau meminjamkan marga Paman padaku selama ini hingga detik ini. Biarkan aku mati sebagai Green Assa. Bukan sebagai Green Williams. Aku menyayangi kalian bertiga. Maafkan aku karena harus mengakhiri semuanya dengan cara seperti ini. Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa."
Green memejamkan mata dan siap untuk terjun ke bawah, membawa semua luka, penderitaan dan rasa kecewa yang teramat dalam. Ingin mengubur semua itu bersama dengan kematiannya.
***
Williams Global Corporation adalah perusahaan raksasa ternama di skala internasional. Tidak hanya bergerak dalam bidang industri, tetapi juga bergerak dalam bidang jasa, properti, retail perdagangan, kesehatan, logistik, manufaktur, konstruksi, dan produksi film, bahkan pendidikan.
Untuk di negara ini, Williams Global Corporation telah membentuk berbagai bidang perusahaan. Semua orang cerdas dan berbagai perusahaan ternama berbondong-bondong, berkompetisi dan bersaing ketat agar bisa menjadi bagian ataupun bekerjasama dengan perusahaan raksasa Williams Global Corporation. Bahkan dalam skala terendah, menjadi satpam dan office boy di perusahaan ini saja sudah sangatlah membanggakan, karena mereka mendapatkan gaji jauh di atas upah minimum negeri ini.
Tetapi sekali lagi, tidak sembarangan orang yang bisa masuk di perusahaan ini. Banyak syarat yang harus dipenuhi dan persaingannya sangat ketat. Selain cerdas, kamu harus memiliki rupa yang menarik. Ya, kecerdasan dan rupalah yang menjadi syarat mutlak perusahaan tersebut, bukan ijazah, yang hanya dijadikan sebagai syarat lampiran saja. Jadi, Williams Global Corporation memiliki keunikan tersendiri. Jika seseorang yang berparas menarik, bisa membuktikan dirinya cerdas dalam bidang tertentu saat melewati berbagai tes rumit, walaupun ia tidak memiliki ijazah sekalipun, selamat, ia pasti akan bisa menjadi salah satu pegawai di Williams Global Corporation. Dia juga akan mendapatkan pendidikan singkat untuk menunjang kecerdasannya agar menjadi semakin berguna di bidang keahliannya itu.
Sayangnya, kebanyakan manusia hanya memiliki ijazah saja tetapi tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Untuk orang-orang yang seperti ini, mereka hanya bisa mengelus dada. Mereka tidak akan pernah bisa masuk menjadi bagian dari Williams Global Corporation, kecuali di dalam mimpi!
Keluarga besar Winata, yang notabene adalah orang-orang cerdas, beberapa di antara mereka, mampu menjadi bagian dari Williams Global Corporation. Bahkan menjabat di bagian yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.
Keluarga besar Winata juga memiliki perusahaan besar tersendiri, yang bernama PT Andalan Winata. Tuan Anton Winata dipercayakan langsung oleh Nyonya besar Erina Winata, untuk mengelolanya. Perusahaan yang berkembang di bidang alat rumah sakit ini memerlukan waktu hampir 20 tahun untuk mendapatkan pasar dalam lingkup global Asia. PT Andalan Winata begitu mengandalkan sektor marketing dalam meningkatkan penjualannya, seperti turun langsung pada pameran-pameran asia untuk memperkenalkan diri. Salah satunya adalah pameran hospital equipment di Singapura. Tercatat setidaknya 90 produk telah menjadi kebanggaan PT Andalan Winata, yang disalurkan ke berbagai rumah sakit ternama di Asia.
Melalui persaingan yang keras, Tuan Anton Winata akhirnya berhasil menjalin kerjasama dengan Williams Global Corporation sehingga menjadi pemasok produk-produk alat kesehatan yang dikonsumsi langsung oleh Williams Hospital, baik yang di dalam negeri maupun yang di luar negeri. Keluarga besar Winata selama dua tahun ini sangat bangga dan salut terhadap Tuan Anton Winata beserta istrinya, Jihan Winata.
Tuan Anton Winata dan Jihan Winata memiliki seorang putri bernama Hana Winata, gadis yang sangat cantik. Hana Winata adalah cucu kebanggaan Nyonya besar Erina Winata, ibu kandung dari Anton. Dari tiga cucu perempuan yang ia miliki, Hanalah yang paling ia sayangi. Kenapa? Karena selain cantik, Hana juga cerdas. Ketika kecil, Hana selalu bercerita tentang cita-citanya dengan mata yang berbinar! Cita-cita masa kecil untuk menjadi seorang psikolog, dan nantinya ia ingin bekerja sebagai HRD di perusahaan besar, atau menjadi dosen di universitas ternama. Sungguh cita-cita yang cukup spesifik untuk seorang anak kecil. Hana adalah pribadi yang bersemangat dan ceria. Dari kecil hingga sekarang dia beranjak SMA, orang-orang selalu menaruh hati padanya. Siapa yang tidak suka pada Hana? Hanya orang-orang yang memiliki rasa dengkilah yang tidak suka padanya.
Sayangnya sifatnya yang impulsif, penolong dan ramah membuat kecerdasan yang ia miliki sepertinya menjadi sia-sia, sehingga terkadang dia bisa berada dalam situasi yang sangat menekan. Ayah dan ibunya selalu mengingatkannya akan kekurangannya itu. Tetapi Hana terkadang lupa begitu saja.
Bersambung..
Sebuah mobil bewarna hitam melaju kencang. Di mobil itu bunyi ponsel sedari tadi terus berdering membuat sang empunya merasa kesal. Si pengemudi mencari tempat untuk menghentikan mobilnya. Begitu berhenti, ia melihat siapa yang menelepon. "Papa?" gumamnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Pa," sapa Hana. "Hana, kenapa kamu malah membawa mobil Papa? Kan kamu bisa diantar sama supir," ucap Anton, ayah dari Hana. "Iya, Pa. Tadi aku buru-buru," jawab Hana sambil melirik ke kursi belakang, di sana ada kue dan minuman. "Apa kamu sudah sampai di tempat acara?" tanya Anton Winata memastikan. Hari ini akan ada acara peluncuran film oleh Williams Entertainment, salah satu perusahaan milik Williams Global Corporation. Dan Hana akan menjadi pasangan Marcell Williams di sana. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga Winata, karena Marcell Williams adalah cucu kandung dari Reyhans Williams, pemilik Williams Global Corporation.
Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa.""Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu."Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.Krek, tap, krek, tap.."Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.Krek, tap, krek, tap.."Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-a
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams