Share

Bab 4

Aku zoom cincin yang dipakai oleh pria tersebut. Namun, tidak terlalu kelihatan persis, aku teringat cincin yang dipakai oleh Mas Sandi, cincin pernikahan kami berdua, melingkar di jari manis sebelah kanannya.

Masa iya itu Mas Sandi? Aku mulai berpikir sambil duduk dan tangan menahan dagu ini. Tiba-tiba ada yang datang, seorang laki-laki dan perempuan.

"Assalamualaikum," ucap keduanya. Aku pun mengusap layar untuk keluar dari galeri foto, lalu meletakkan ponselku di atas meja.

"Waalaikumsalam, ya sebentar!" teriakku dari dalam.

Aku buka pintu itu lebar-lebar. Ternyata tamu dekat, tetangga blok yang memang sering berkunjung ke sini, mereka berdua akrab denganku dan suami. Namanya Rosa dan suaminya Gilang.

"Loh kamu nggak kerja, Gilang?" tanyaku pada suaminya Rosa, berhubung mereka lebih muda dariku, jadi panggilannya juga hanya nama saja.

"Nggak Mbak Caca, kemarin saya ngundurin diri," sahutnya.

"Iya, makanya aku ke sini, Mbak. Mau minta tolong sama Mas Sandi, siapa tahu bisa memperkerjakan Mas Gilang di kantornya," susul Rosa.

"Kemarin sih butuh karyawan, tapi nggak tahu deh kalau sekarang, nanti Mbak tanyakan ya," ujarku padanya.

"Iya, mumpung kami belum memiliki anak, jadi nyari kerjaan yang lebih terjamin, di tempat kemarin kerja rodi, Mbak," keluh Gilang.

"Iya, nanti Mbak tanyakan pada Mas Sandi, ya. Kalian mau minum apa?" tanyaku sambil bangkit dari duduk.

"Ah Mbak, kayak sama siapa aja, biasanya juga kan kami ambil sendiri kalau haus." Aku terkekeh, lupa bahwa mereka sudah kuanggap seperti adik sendiri. Bahkan memang sering main ke rumah ini kadang seminggu sekali.

Aku tetap mengambilkan mereka minum, karena pikiran ini sedang tertuju pada Amara, aku jadi lupa kalau mereka juga sering main ke sini. Sebaiknya aku tanyakan pada mereka saja, pernah tidak melihat kecurigaan pada Amara. Namun, ketika aku menyuguhkan minuman, tak sengaja mataku menyorot ke arah jari manis Gilang. Ia memakai cincin emas putih, agak mirip dengan yang di foto. Tangannya, bentuk tubuhnya, mirip sekali dengan yang di foto.

Masa iya Gilang? Memang mereka berdua sering ke sini, tapi masa iya Gilang ada hubungan dengan Amara. Rosa kan agak galak padanya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ia melakukan itu, sebab Rosa belum dikaruniai anak dengan usia pernikahan 3 tahun.

"Em, Gilang, cincin kawin kalian itu mirip dengan cincin temanku." Aku sengaja memancingnya.

"Masa iya, Mbak? Ini limited edition loh, ada namanya pula di dalam cincin, nih lihat aja!" Gilang menyodorkan cincin miliknya.

"Mbak Caca, kenapa sih? Kok seperti sedang banyak pikiran, dari tadi ada saja yang aneh," celetuk Rosa, istrinya. Kenapa dia tidak mencurigai suaminya ya? Apa aku salah tuduh? Atau jangan-jangan memang suamiku?

"Eh iya, Rosa, aku mah tanya, sahabatku yang namanya Amara, kamu kenal, kan?" tanyaku.

"Iya, dia pernah main ke rumah kami, Mbak. Orangnya supel banget ya, sama siapa aja cepat akrab," tutur Rosa. Kulihat Gilang tak bicara apapun ketika Rosa membicarakan tentang Amara. Apa jangan-jangan ....

Aku tepis perasaan menuduh suamiku, kini ada yang mencurigakan dari Gilang. Lalu kalau Gilang yang menghamili Amara, apa urusanku? Kan urusan mereka, malah bagus bukan Mas Sandi tertuduhnya. Itu artinya rumah tanggaku aman sentosa.

"Mbak, kok kamu bengong?" tanya Rosa membuyarkan lamunanku.

"Nggak, Amara itu ternyata sudah cerai dengan suaminya," celetukku mulai bergosip.

"Apa? Cerai?" ucap Gilang dengan amat terkejut. Tubuhnya sampai berpindah posisi setelah mendengar penuturanku.

"Iya, cerai. Aku juga baru tahu dari Alfa, temannya yang mengenalkan Amara pada suaminya," cetusku. Kemudian, Rosa mendekati, dan menjadi serius membahas ini. Ya, kami jadi ghibah tentang Amara.

"Lalu Mbak, anak yang dikandung Mbak Amara anak siapa?" tanyanya ikut penasaran.

Aku sontak menyorot mata Gilang, ia agak canggung dan malu ketika aku menatapnya.

"Aku juga nggak tahu siapa laki-laki yang menghamili Amara, tapi aku memiliki foto mereka dari belakang ketika ijab kabul, mereka menikah siri. Di jari laki-laki aku lihat juga ada cincin emas putih," terangku sambil bangkit untuk mengambil ponsel.

Mereka berdua saling bertatapan, aku harap jika memang ini adalah Gilang, Rosa dapat mengenalinya, dan segera menindak lanjuti ini semua, sebab rumah tanggaku yang menjadi imbas dari ini semua, itu dikarenakan Amara sering menginap di sini.

Setelah kuambil ponsel, segera kuperlihatkan pada mereka. Mata mereka pun terus memandang foto kedua mempelai saat ijab kabul.

Mereka berdua menghela napas, lalu memberikan ponselnya padaku, mata Rosa dan Gilang tak lepas beradu pandang, aku jadi merasa bersalah, Jangan-jangan setelah ini, ada perang dunia ketiga di rumah mereka. Sudah kehilangan pekerjaan, masa iya Gilang kehilangan Rosa juga.

"Sebelumnya saya minta maaf, Mbak," ucap Gilang mengejutkan aku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status