"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja."
"Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.
Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati.
"Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA."
"Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri.
"Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istri Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"
Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancing. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka.
"Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."
Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia mengungkapkan cemburu.
"Tentu sayang. Awa adalah hadiah terindah untuk pernikahan Mamah dan Ayah. Mamah masih ingat sekali, ketika Ayah harus duduk sambil menjaga kamu saat bayi."
"Ya ampun, Ayah emang tipe pria yang sangat sayang keluarga. Awa bangga punya Ayah," ucap putriku sambil merangkul Ayahnya.
"I-iya, Nak."
"Oke, kalau gitu, Awa mau dengar kisah masa kecil dulu. Malam ini, Ayah dan Mamah harus bercerita di kamar sama Awa."Zahwa berkacak pinggang. Sambil mengerucutkan maksud. Pertanda kemauannya harus dituruti. Tumben sekali, anak gadisku bermanja-manja pada kami. Pasti ada rencana lain yang siap menyambut kedatangan Nadia.
"Ide bagus, Nak. Kita bisa seru-seruan bareng. Ayah, emak dan anak, cocok. Bagaimana Yah, pasti setuju'kan?" sekilas melirik Nadia. Ayah hanya diam. Nampaknya dilema.
Wajah Nadia muram. keberadaanya sama sekali tak dianggap. Dia hanya bisa diam, gak candi Borobudur. Aku bersorak di hati.
"Ayah kadang mikir, kaya Aristoteles aja. Otw kamar, yuh. Waktunya waktu keluarga."
"Tapi Nak, kita belum bereskan rumah, piring-piring dan lainnya."
"Piring sudah ditumpuk di dapur, yah. Tadi ibu-ibu tetangga sebelah yang sudah bantu, Mamah. Nyucinya bisa besok."
"Karpet depan belum digulung, Mah. Biar Ayah yang beres-beres." Ayah terus beralasan. Dia pasti tak mau membuat pujaan hati cemburu.
"Sudah Rapih, Yah. Tadi Awa sama Ka Fauzi yang beresin." Aku senggol anakku. Dia pasti keceplosan.
"Fauzi?"
"Maksudnya ustad Fauzi."
"Oh ustadz itu namanya Fauzi." Aku dan Zahwa serempak mengangguk. Untung sebelumnya ayah belum sempat bertanya kepada ustaz yang membantu akting kami.
"Udah, Yah. Kalian ke kamar duluan. Awa mau kita cerita bareng, titik." Zahwa mendorongku masuk ke kamar.
"Hai, tunggu. Tidak sopan. Aku tamu kalian. Kenapa malah ke kamar," ucap Nadia tentang langkah kami.
"Ya ampun, aku lupa ada Tante cantik. Silahkan Tante kalau mau pulang," usir Zahwa pada Nadia.
"Aku mau nginap di sini, anak manis."
"Emang rumah Tante kebanjiran? kok nginep di rumah orang, sih."
"Nak, jangan berkata begitu sama Tante Nadia," bela Ayah.
"Ih, Ayah gimana sih, Awa cuman nanya doang."
"Rumah Tante tidak kebanjiran anak manis. Hanya saja, di sana sepi. Tante ingin di sini, bersama anak cantik sepertimu." Nadia berusaha menarik simpati anakku.
"Sudah-sudah. Ela, siapkan kamar untuk Nadia. Kamu sudah mengizinkan dia menginap. Maka, sambutlah dia," ucap suamiku seeak jidat. Kalau bukan karena terpaksa, tak sudi aku menampung pelakor di rumahku.
"Biar Awa yang menyiapkan kamar untuk Tante cantik ini. Mamah dan Ayah, istirahat duluan. Oke?"
"Oke anak Mamah. Makasih. Ayo, Yah. Badan Mamah udah pegel-pegel. Nanti tolong pijitin ples ples, yah," godaku mengerling genit.
Lengan Ayah aku gandeng ke kamar. Tak peduli wajah cemburu dari Nadia. Kasihan sekali, dia yang berusaha membuatku terbakar api cemburu. Malah membalikkan dirinya sendiri.
Aku tak tahu apa rencana Zahwa selanjutnya. Setelah tiga puluh menit, Zahwa masuk ke kamarku. Dia merengek minta diceritakan masa kecilnya, yang belum diceritakan. Entah apa maksudnya.
"Mamahmu ngidam pengen ngelu-ngelus singa. Ayah sampe pusing sama ngidamnya yang aneh."
Suamiku terus menceritakan pengalamannya, saat usia kandunganku masih tiga bulan. Zahwa ada di tengah kami. Dia letakan kepala di atas paha ayahnya. Tangan Ayah diarahkan untuk mengelus kepalanya. Sedangkan aku, di suruh sketsa-nepuk halus pahanya. Beginilah kebiasaan manjanya, yang melekat sejak umur lima tahun.
"Wah, serem amet. Terus terus gimana, Yah?"
"Ya mau gak mau, Ayah ajak dia ke taman safari di Bogor. Parahnya, saat sampai di sana, malah Ayah yang suruh ngelus-ngelus singa."
"Tapi Ayah malah kesenengan. Abis itu selfi-selfi sendiri. Gak ngajak-ngajak Mamah lagi."
"Hahaha, soalnya, singanya lucu, dan penurut. Ayah jadi gak takut."
"Untung singanya gak PMS ya, yah. Kalau PMS, bisa-bisa galaknya melebih Zahwa."
"Ih, Mama." Kami tergelak bersama, karena berhasil meledek putri kami.
Hati kecilku begitu bahagia dengan momen ini. Andai, tak ada penghianatan. Pasti kami adalah keluarga paling bahagia.Anakku, sebenarnya apa maksudmu melakukan semua ini? apa dia sengaja, ingin menikmati keharmonisan keluarga. Sebelumnya, rumah tangga orang tuanya, resmi diporakporandakan. Cepat atau lambat, semuanya memang akan berakhir. Ketika kepalanya sudah mendua, maka perlahan-lahan kebahagiaan keluarga akan runtuh.
"Mah....bangun," bisik Awa.
Dia meletakkan jati telunjuk di tempat, sebagai tempat agar aku diam. Suamiku sudah tidur pulas setelah lelah bercerita. Awa yang tadinya tidur di tengah, sudah berdiri di sampingku.
"Mau ke mana, W*?" bertanya terduduk.
"Kita jailin nenek gayung, Mah. Ayok, ikut Awa."
"Jailin gimana, Nak? mau pindahin dia ke kandang macan?"
"Ih, mamah jangan bercanda. Udah ikutin kata Awa."
Dengan kebingungan, aku turuti kemauan putriku. Melangkah keluar kamar meninggalkan Ayah yang sedang ngorok.
"Astagfirullah!" teriakku saat melihat sepuluh ekor tikus di dalam kandang besi yang biasa dipakai untuk tempat kucing.
"Hust, mamah jangan berisi."
"Kamu mau ngajak mamah bikin bakso tikus malem-malem gini?"
"Bukan, Mah. Gila aja, bikin bakso tikus. Ini tikus kita masuk ke kamar nenek gayung. Terus mamah tolong ambilin minyak sayur."
"Apa lagi?"
"Udah, pokonya beres."
"Oke, deh."
Zahwa mengendap-endap masuk ke kamar Nadia. Aku mengambil minyak sayur. Saat Zahwa sudah keluar, anakku memberi instruksi untuk menyiram minyak ke lantai depan pintu.
"Beres, Nak?"
"Beres, Mah. Ayok, kita pura-pura tidur di kamar Zahwa."
Aku mencari ke kamar Zahwa. Menunggu pertunjukan apa yang akan terjadi. kembali, Nadia harus diberi pelayanan tamu yang terbaik. Biar dia tak kesepian, maka kami hadirkan tikus-tikus lucu, hahaha. Maaf, Nadia. Apa yang aku lakukan, tak sebanding dengan luka yang kau torehkan.
"Arrgh! tikus ....""Tolong ...."Brak!Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil. Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia."Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema."Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan.""Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan.""Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya.""Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan se
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya."Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang. "Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya."Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini."Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya. Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakek
POV IlyasAda yang aneh dari Ela dan Zahwa. Tak biasanya mereka pergi mendadak ke Surabaya. Aku berusaha menepis firasat buruk yang hadir. Mencoba tetap berpikir positif, dan lebih baik memanfaatkan keadaan. Waktunya aku bersenang-senang dengan istri muda. Ada untungnya juga, Ela berlibur ke Surabaya. Aku punya kesempatan bermesraan lebih lama, bersama pujaan hati."Kapan Mas bakal mengakui aku sebagai istri?" tanya Nadia. Kami sedang tidur bersama di rumahku. Nadia yang ingin tidur di sini. Dia takut sendirian di apartemennya."Tunggu Mas, mendapatkan harta Bapak. Baru kita bebas.""Kapan? menunggu bapakmu mati?""Dek, jangan bicara seperti itu.""Lagian, Mas ngeselin. PHP terus sama aku.""Bukan PHP, kamu tentu tahu alasannya.""Ya sudah, beliin aku rumah besar kaya si Ela.""Sabar, Mas belum bisa ngumpulin uang. Nunggu dapet bonus Lagi. Uang penjualan rumah kamu, kenapa gak di pake dulu, nanti Mas tambahin.""Gak mau. Ngapain aku punya suami, kalau rumah aja beli pake duit sendiri.
"Pak, Bu, buka pintunya." Dini hari menjelang subuh, aku sampai di Surabaya. Beruntung masih ada penerbangan malam hari. Setelah menyusun rencana dengan Nadia, aku segera melakukan perjalanan menuju rumah Bapak.Ela sudah berbuat licik. Maka, aku akan bertindak demikian. Perlakuannya yang semena-mena tak bisa dibiarkan. Aku baru sadar, Ela bukan perempuan biasa. Dia pintar memanipulasi keadaan."Ayah ....""Zahwa, maafkan Ayah, Nak." Aku peluk putriku. Supaya dia ikut bersimpati. Agar aktingku lebih meyakinkan.Maafkan Ayah, Nak. Perasaan ini begitu rumit. Ayah menyayangimu, tapi tidak dengan Mamahmu. Cinta tak bisa dipaksakan. Kadang membuat orang yang merasakan, harus egois dalam mengambil tindakan. Begitulah posisi Ayah sekarang."Ih, peluk-peluk segala. Mana bau apek lagi. Ayah kaya drama India, aja. Lagian, ngapain ke sini? Mbah uti dan Mbah Kakung, gumoh alias eneg liat Ayah.""Ayah mau memperbaiki semuanya, Nak. Ayok, kita masuk.""Halah, jambu, yah.""Jambu?""Janjimu, janji
POV Ela"Tapi apa, La? pikirkan baik-baik. Kebahagian anak adalah hal yang utama. Jangan mengandalkan ego," ceramah Ibu mertua. Cukup nyelekit di hati. Kenapa aku yang dia ceramahin? harusnya anaknya sendiri. Ayah yang sudah menyakiti istri dan anaknya. Aku ragu dia tulus. Pasti ada udang dibalik rengginang."Tapi, Zahwa tak akan mengizinkan, Bu. Perselingkuhan Ayahnya, yang dia saksikan di depan mata. Pasti membuat trauma tersendiri. Percuma toh, rumah tangga ini dilanjutkan. Belum tentu Mas Ilyas tulus. Yang ada, malah menambah luka batin buat aku dan Zahwa," cerocosku tak mau kalah."Soal Zahwa, kamu harus kasih dia pengertian. Ibu lihat, dia mulai lancang sama Ayahnya sendiri. Kamu harus mendidiknya dengan baik. Jangan gitu, Ndok."Ya ampun, pantas saja calon mantan suamiku, punya sikap egois yang tinggi. Ternyata, ibunya juga demikian. Tak mau tahu siapa yang salah. Seenaknya melempar bola panas. Tanpa intropeksi diri."Hehehe, Maklum Bu. Ayahnya aja eror. Ela sebagai istri 'kan
"Zahwa, jangan durhaka. Dia tetap Ayahmu," bentak nenek Zahwa.Aku hanya bengong, menyaksikan adegan ini. Zahwa pasti sudah menahan diri berlaku kurang ajar. Dia anak yang baik. Selalu mencintai kedua orang tuanya di atas segalanya. Namun, perbuatan Ayah memang begitu menancap di relung hati. Meninggalkan jejak luka yang tiada tara kuantitas sakitnya."Awa udah coba menahan sakit ini, Yah. Mamah selalu minta, biar Awa memaafkan Ayah. Tapi gak bisa, Yah. Gak bisa."Perlahan aku dekap anakku. Menguatkan pundaknya, agar tetap tabah. Jangan sampai Zahwa melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri. Posisiku cukup sulit. Perbuatan Zahwa memang tak elok. Sebagai anak, seharusnya dia tetap bersikap sopan. Akan tetapi, Zahwa juga punya hati. Dia harus meluapkan emosinya. Kalau terus diipendam, takut berakibat fatal. Jadi, aku tak tega kalau harus melarangnya dengan amarah juga."Ma-maafkan, Ayah, Nak. Ayah sayang sama kamu.""Hahaha, Ayah bilang Sayang sama aku? tapi, Ayah malah menyakiti Ma