Share

07. Penjaga Andapan

Suluh menanamkan keberanian, memasuki area Gunung Andapan dengan kewaspadaan. Arah tangga setapak terbuat dari batu sedikit licin sebab kabut masih menyelimuti sekitar, tak dapat melihat apa-apa dan mulai mengandalkan kekuatan internal.

Suara kicauan menyeruak ditemani semilir angin mengibaskan dedaunan, Suluh berusaha konsentrasi dan tak teralihkan. Ancaman bisa berada di mana saja, lengah adalah suatu kelemahan sebab dia kesulitan mengobservasi area.

Indra berperan krusial kali ini, suara semak-semak sesekali meresahkan Suluh, cekatan dalam bertindak. Seperti yang diketahui, ada banyak hewan buas berkeliaran di Gunung Andapan. Harimau, serigala, maupun karnivora lain mungkin sudah mengintainya dalam kegelapan.

"Apakah arwah-arwah itu akan muncul?" batin Suluh mempercepat mendaki, menerobos kabut yang lama kelamaan memudar sebab sinar mentari sudah terlihat di cakrawala.

Embun-embun menempel di berbagai dedaunan, Suluh mulai dapat melihat keindahan alam yang ditawarkan oleh Gunung Andapan. Memilih berhenti sejenak, dia dapat menyaksikan sekolah Cenderawasih di bawah sana beserta desa-desa yang tampak mini, tak terasa bahwa Suluh sudah sejauh ini.

Angin menerpa rambut hitam Suluh, menikmati kesejukan sesaat. "Apakah kalian mau mengakuiku setelah ini?" bisiknya, masih tersirat harapan ke Cenderawasih walaupun menorehkan banyak luka.

Tatapan Suluh nanar lalu membalikkan badan, memperhatikan setapak yang terbentuk dari bebatuan. "Perjalanan masih belum selesai dan aku harus membuktikan bahwa aku tak akan mengecewakan Master Madiarta!" serunya menyemangati, menelusuri kepekatan tumbuhan.

Tak semua kultivator mampu mendaki Gunung Andapan dikarenakan medan berbahaya, tak ayal bila hal ini dapat mengembangkan ranah Penempaan Tubuh ke level lebih dalam. Sudah kali keempat Suluh harus melompat dan hampir terpeleset meraih setapak yang terputus karena longsor, kini dia berhadapan dengan batu besar menghalangi arah.

"Jalan buntu?" Suluh memikirkan opsi untuk melintas. "Apakah tak ada rute lain?"

Benda keras tersebut tertimbun tanah, mustahil bagi Suluh melewati dari atas. "Tidak, inilah satu-satunya setapak menuju altar, tak ada cara lain selain menghancurkannya," Suluh bergumam.

"Dengan tingkatanku saat ini, apakah aku mampu?" Suluh mempertanyakan, meragukan kemampuannya yang baru mencapai ranah ketiga kultivasi. "Tapi tak ada salahnya berusaha."

Suluh berkonsentrasi, merasakan aliran energi merambat ke kepalan tangan, bersiap-siap memberikan hantaman. "Terimalah ini!" teriak Suluh melancarkan serangan.

Saat menyentuhnya dengan keras, Suluh seperti tak memberikan efek apapun, malahan dia sendiri kesakitan. "Argh! Sial, ini tidak berhasil!" keluhnya mengibaskan tangan. "Apa karena aku belum mencapai tingkatan lebih tinggi?"

Suluh kebingungan, Madiarta tak memberitahu apa-apa bagaimana cara menempa ranah ketiga supaya lebih kuat dan memberikan daya rusak luar biasa. "Master mungkin sengaja melakukannya, menyuruhku mencari tahu sendiri," bisik Suluh menunduk, mondar-mandir tak tentu arah. "Berpikirlah, Suluh!"

Mentari sudah bersinar cerah di langit biru, didekorasi oleh awan-awan abstrak yang sempat menyita perhatian Suluh. "Apa karena aku adalah Prana Bayangan memerlukan sinar bulan untuk menjadi kuat?"

Menggelengkan kepala, Suluh tak teryakinkan. "Tidak, selama aku belum mendalami tingkatan ranah ketiga, malam hari tak ada bedanya bila aku belum memperkuat tubuhku."

Isi kepala Suluh berantakan, menemukan suatu celah di tembok bebatuan yang merasuk ke dalam, memutuskan rehat di tempat teduh tersebut. "Kurasa aku harus memberi asupan untuk Prana-ku sebelum malam tiba," Suluh mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan, membawa kapak. "Baiklah, mari kita cari kayu bakar!"

Meninggalkan semua muatan, Suluh bergegas mencari pohon yang sekiranya sudah mati, menuruni setapak dan menerobos ke dalam hutan. Kepekatan daunnya cukup rimbun sampai sinar tak secara maksimal menyinari, berhenti bergerak saat Suluh menemukan yang dicari.

"Kurasa ini cukup baik," kata Suluh membuat kuda-kuda. Alih-alih memakai kapak, Suluh malah meninju batang tersebut, belum sampai menumbangkannya.

Tak berhenti, dia terus melanjutkan sampai Suluh merasakan suatu sensasi aneh dari tubuhnya. Entah kenapa suhunya memanas sampai tangan yang dibuat memukul berkali-kali mengeluarkan asap, menyebabkan Suluh resah dan kelabakan.

"Apa yang terjadi?" Tak sampai di situ, Suluh merasakan aliran energi bergerak dengan kecepatan luar biasa, seakan Prana tengah menggebu di dalam meridian. "Jangan bilang saat ini aku meningkatkan ranah Penempaan Tubuh?"

Sebab demikian, Suluh mencoba memfokuskan seluruh Prana ke satu titik, menarik napas dalam-dalam dan meluncurkan bogeman ke tumbuhan di depan mata. Hanya dengan sekali hantam, pohon yang lumayan tebal itu terbelah dan ambruk di tanah.

Suluh memahami satu hal. "Jadi aku harus latihan fisik seperti biasa?" Suluh tersenyum lebar, semangatnya tumbuh membara. "Menarik."

Tanpa menunggu lama, Suluh mengambil kapak dan segera membelah kayu menjadi beberapa bagian, tak sadar bahwa dia tengah diintai. Makhluk besar bergelantungan, bergerak lambat dalam keheningan, tidak ingin diketahui Suluh yang berada di bawahnya.

Sementara bocah berambut hitam sibuk mengikat kayu bakar menjadi dua bagian. "Baiklah, ini sudah cukup," ucap Suluh, mengangkat semuanya, cepat-cepat kembali sampai telinganya mendengar suara mendesis.

Kekuatan internalnya seketika dipertajam, merasakan kehadiran sesuatu di atas kepala. Tepat waktu, ketika makhluk melata tersebut melancarkan terkaman, Suluh meluncurkan tumpukan kayu bakar ke arahnya, mengenainya sampai berubah haluan.

"Ini ...." Suluh terbelalak, mendapati ular berukuran masif dengan muka seperti kadal. "Apakah siluman yang dimaksud master?"

Tak terima serangannya dihalau, makhluk Andapan dengan cekatan memburu Suluh, membuka mulut dan memamerkan kedua taring dilumuri bisa. Kecepatan luar biasa yang ditorehkan ular itu membuat Suluh kalang kabut, segera mungkin menghunus belati untuk mempertahankan diri.

Namun, semua itu sia-sia dan senjata Suluh sampai hancur menahan sambaran. Sementara dia sendiri terlempar sangat keras, memantul di tanah hingga akhirnya berhenti ketika menabrak salah satu batu raksasa.

"Argh!" Suluh menjerit kesakitan, memperhatikan ular yang semakin mendekat ke arahnya, berdiri di sana dengan mencekam.

"Apa yang dikau lakukan di sini, bocah?" Jantung Suluh hampir copot mendengar suaranya, tak memperkirakan dia dapat berbicara.

Suluh membeku, ketakutan dan rasa kaget masih bercampur aduk dalam benaknya. "Dikau beruntung tiba tepat waktu karena daku sudah lapar," ular tersebut sesekali menjulurkan lidah, melakukannya setiap saat. "Meski hanya santapan sementara, itu lebih dari cukup."

Dia mendesis, mendekatkan kepalanya kepada Suluh. "Daku sudah lama tidak mencicipi darah manusia, terlebih lagi mereka yang dilanda ketakutan sepertimu," membuka mulut, makhluk itu tanpa basa-basi lagi menyambar Suluh. "Matilah!"

Seakan disadarkan oleh sesuatu, tubuh Suluh bergerak dengan sendirinya, lonjakan reflek bertahan hidup telah menyelamatkannya, berhasil menghindar dengan melompat salto di udara. Monster tersebut tak memiliki banyak opsi selain menabrak batu sampai hancur, menggeliat kesakitan.

Entah apa yang merasukinya, Suluh turut tak menyangka, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melawan walau dia mengetahui kekuatannya kali ini belum cukup memberikan dampak signifikan. Suluh sadar betul bahwa makhluk itu telah berkultivasi, bukan lawan yang bisa dikalahkan sendirian.

Tiba-tiba, tanpa diantisipasi, aksi ular tersebut menjadi tak karuan dan kacau, kesal bukan main sampai merusak apapun di dekatnya, merubuhkan tumbuhan hanya sekali hantam. "Daku, Uragah, Penjaga Andapan, tak akan membiarkanmu hidup!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status