Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan semacam itu?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ke
Suara teriakan terdengar keras di suatu ruangan yang teramat luas, dihadiri oleh beberapa murid tengah duduk di sudut-sudut matras. Mereka semua memperhatikan ke depan, menyaksikan dua laki-laki beradu keahlian. "Berdirilah!" seru Guru Mahendra kepada bocah dua belas tahun yang ambruk di atas lantai. "Buktikan bahwa kau layak berada di Cenderawasih!"Suluh, dipenuhi determinasi membara, tak kenal menyerah. Walau tubuhnya merasakan sakit, dia berusaha bangkit untuk melawan salah satu siswa yang memiliki nilai terbaik. Ini akan sangat sulit karena Deandra sudah berkultivasi sampai ranah ketiga, menyebabkan semua serangannya kokoh bertenaga."Kau benar-benar keras kepala," bisik Deandra menautkan alis, semakin kesal karena harga dirinya dihabiskan untuk melawan murid seperti Suluh. "Tak ada yang dapat kau lakukan dengan tubuh lemah seperti itu!"Memahami kendala utama, Suluh tak banyak berkomentar sebab hanya dia murid di kelasnya yang belum berkultivasi. Tidak, bahkan di usianya saat i
Suluh sendirian ditemani kegelapan, tak ada apa-apa melainkan kekosongan. Benturan keras membawanya ke alam bawah sadar, hening tanpa kebisingan sampai suara mulai terdengar samar. Bisikan-bisikan yang semakin lama berubah teriakan memenuhi telinga. "Bertahanlah, anakku," disela-sela kehancuran, Suluh dapat melihat wajah wanita di depan mata, dikelilingi abu dan kobaran api di mana-mana, membumihanguskan rumah. "Kamu harus kuat."Dia terlihat menangis, muka cantik dilengkapi kulit seputih susu itu berantakan, dipenuhi debu dan bercak cairan kemerahan. "Ibu akan melindungimu," ucapnya lirih, sesekali memperhatikan bayi yang berada di dalam dekapan kedua tangan."Ibu?" Suluh bergumam, sempat tak mempercayai kejadian yang menimpanya saat ini. Perempuan tersebut lantas bersembunyi di balik rumah tua terbuat dari kayu, memeriksa keadaan Suluh dengan sayu. "Maafkan ibu kamu harus mengalami ini semua," dia berbisik, menyadari bahwa ada sebuah sekoci di tepi sungai. Tak menunggu waktu lama
Dua hari terlewati, Suluh merasakan bahwa tubuhnya membaik sangat cepat. Bahkan luka sayatan dan lebam tampak memudar setelah dia membuka semua tumbuhan yang melekat di tubuhnya. Sempat terpukau oleh keahlian Madiarta dalam alkimia.Bersemangat, dia keluar dari kamar, mondar mandir ke beberapa ruangan sampai keluar rumah, menoleh ke sana kemari seakan mencari sesuatu. Halaman luas menyapa, ditumbuhi rerumputan liar serta hutan yang mengitari rumah kayu sederhana. Sampai kedua iris emerald Suluh mendapati laki-laki yang tengah duduk bersila di atas batu, berlari mendekat secepat mungkin. "Master, aku sudah siap latihan hari ini!"Masih memejamkan mata, Madiarta membalas, "Bagaimana kondisimu?""Jauh lebih baik, Master," muka Suluh terlihat berseri-seri diterpa cahaya mentari. "Jadi begitu," laki-laki tersebut lantas melompat turun. "Mari mulai dengan latihan bela diri."Suluh mengekori Madiarta sampai dia berhenti di tengah halaman, berbalik ke arah muridnya. "Sebagai siswa Cenderawa
Mentari baru terbit dari ufuk timur akan tetapi di halaman depan rumah, susah ada dua insan yang tengah duduk bersila. Mereka berhadapan, memejamkan mata dengan khidmat seakan tak terusik dengan apa yang ada di sekitar. "Pernah dengar mengenai kekuatan internal?" Madiarta membuka suara di tengah-tengah kesunyian. Suluh tak membalas untuk sementara waktu, familiar dengan istilah itu. "Kalau tidak salah, bukankah kekuatan internal identik dengan insting dan firasat?""Demikianlah latihanmu," Madiarta menarik sudut-sudut bibirnya. "Kau sudah belajar meningkatkan ketangkasan dan daya kerusakan serangan, tapi itu belum maksimal.""Kekuatan internal tak hanya dibutuhkan dalam menghadapi musuh yang banyak, tetapi diperlukan di dalam kondisi berbahaya," dia meneruskan, Suluh memilih mendengarkan. "Apapun bisa terjadi yang mengancam keselamatan nyawa, dan aspek ini sangat krusial untuk membantu kita dalam menjalani kehidupan.""Metode ini mendekati kultivasi karena kita diharuskan menyentuh
Bocah dua belas tahun menelan ludah, tak banyak bicara setelah ditinggalkan Madiarta sendirian di tempat sepi nan berbahaya. Dia sudah bertemu dengan harimau di tepi sungai, hanya berjarak beberapa langkah dari air terjun yang ramai, merupakan sebuah tantangan tersendiri."Ini akan sulit," Suluh berkomentar. "Seperti kata Master, semakin berisik semakin sulit bermeditasi."Suluh tak kenal menyerah, kembali memejamkan kedua mata. "Fokus, rasakan frekuensi yang ada di sekitarmu!" serunya dalam hati, menyemangati. Suara serangga malam dan hembusan angin turut menemani, awas akan kehadiran hewan buas yang mungkin sekadar lewat tanpa permisi. Mengerutkan dahi, dia mencoba meningkatkan konsentrasi, mendeteksi bahaya maupun mencoba masuk ke alam bawah sadar. Madiarta memberitahu bahwa akses masuk kultivasi dimulai saat berada di alam tersebut, tapi apabila dia masih belum membebaskan diri dari Prana Cahaya, mustahil dia dapat merasakan kehadiran Prana. Jadi yang harus Suluh lakukan adalah
"Mengagumkan, bukan?" Muncul suara tiba-tiba, mengejutkan Suluh dan sontak menoleh ke tepian sungai di mana dia menemukan Madiarta."Master?" Suluh berbisik dengan berseri-seri, tak mampu menutupi keceriaan. "Kultivasi sudah menjadi bagian dari manusia yang sulit dilepaskan," Madiarta terlihat duduk bersila. "Tak hanya memberikan kita kekuatan, Prana menghasilkan ketenangan batin tak terlukiskan.""Tidakkah kau merasakannya saat mereka memasuki tubuhmu?" kata Madiarta, dibenarkan oleh Suluh dengan anggukan kepala. "Dulu, sebagian besar manusia berhenti sampai di fase ini, tak berniat memperdalam kekuatan Prana.""Namun sekarang, ambisi menggebu dan kepentingan individu melahirnya sekte-sekte tertentu," dia meneruskan, mengulik seputar sejarah. "Perpecahan dan tumpah darah, apa kau setuju semua itu karena Prana yang hadir memberikan kedamaian?"Suluh mengernyit, dari kesimpulan tersebut sudah salah. "Tidak, Master. Kitalah sebagai manusia yang merusak diri kita sendiri!" Membalas deng
Suluh menanamkan keberanian, memasuki area Gunung Andapan dengan kewaspadaan. Arah tangga setapak terbuat dari batu sedikit licin sebab kabut masih menyelimuti sekitar, tak dapat melihat apa-apa dan mulai mengandalkan kekuatan internal. Suara kicauan menyeruak ditemani semilir angin mengibaskan dedaunan, Suluh berusaha konsentrasi dan tak teralihkan. Ancaman bisa berada di mana saja, lengah adalah suatu kelemahan sebab dia kesulitan mengobservasi area. Indra berperan krusial kali ini, suara semak-semak sesekali meresahkan Suluh, cekatan dalam bertindak. Seperti yang diketahui, ada banyak hewan buas berkeliaran di Gunung Andapan. Harimau, serigala, maupun karnivora lain mungkin sudah mengintainya dalam kegelapan."Apakah arwah-arwah itu akan muncul?" batin Suluh mempercepat mendaki, menerobos kabut yang lama kelamaan memudar sebab sinar mentari sudah terlihat di cakrawala. Embun-embun menempel di berbagai dedaunan, Suluh mulai dapat melihat keindahan alam yang ditawarkan oleh Gunung