Share

04. Kekuatan Internal

Mentari baru terbit dari ufuk timur akan tetapi di halaman depan rumah, susah ada dua insan yang tengah duduk bersila. Mereka berhadapan, memejamkan mata dengan khidmat seakan tak terusik dengan apa yang ada di sekitar.

"Pernah dengar mengenai kekuatan internal?" Madiarta membuka suara di tengah-tengah kesunyian.

Suluh tak membalas untuk sementara waktu, familiar dengan istilah itu. "Kalau tidak salah, bukankah kekuatan internal identik dengan insting dan firasat?"

"Demikianlah latihanmu," Madiarta menarik sudut-sudut bibirnya. "Kau sudah belajar meningkatkan ketangkasan dan daya kerusakan serangan, tapi itu belum maksimal."

"Kekuatan internal tak hanya dibutuhkan dalam menghadapi musuh yang banyak, tetapi diperlukan di dalam kondisi berbahaya," dia meneruskan, Suluh memilih mendengarkan. "Apapun bisa terjadi yang mengancam keselamatan nyawa, dan aspek ini sangat krusial untuk membantu kita dalam menjalani kehidupan."

"Metode ini mendekati kultivasi karena kita diharuskan menyentuh harmoni alam, frekuensi yang ada di mana-mana," imbuh Madiarta bernapas dengan teratur dan lemah lembut. "Bermeditasi adalah cara mudah mengkoneksikan diri kepada mereka."

Suluh melakukan hal seperti yang dicontohkan, menarik napas dalam-dalam, ditahan, lalu dihembuskan melalui mulut. Kenyamanan hati ditemani angin berhembus membuat suasana menjadi sejuk serta memanjakan. Tak terkira Suluh akan larut ke dalamnya dan mulai mendengar suara-suara aneh.

"Kau merasakannya, bukan?" tanya Madiarta tak sesekali membuka kelopak mata. "Kehadiran mereka, nada yang mereka ciptakan."

Suara stagnan aneh memenuhi telinga Suluh yang semakin lama semakin keras. Membuahkan suatu kesimpulan, "Master, apakah mereka berkomunikasi?"

"Ya, tumbuhan berbicara satu sama lain melalui frekuensi," Madiarta menjelaskan. "Semua ini memungkinkan karena tak ada yang mengusik ketenangan."

"Bila kau dapat mendalami bahkan di tempat ramai maupun kacau, kau dipastikan telah menguasai kekuatan internal," Madiarta lalu berdiri dari duduknya. "Terapkan hal serupa saat melawan musuh, latihan untuk mempertajam indra."

Tiba-tiba, sesuatu muncul dari tanah. Awalnya Suluh kira sebatas bayangan akan tetapi dia salah. Bayangan itu membentuk suatu manusia dan kini telah bangkit. Jumlah mereka tak hanya satu melainkan delapan makhluk, mengitari Suluh yang kelabakan.

"Manfaatkan unsur ini maka kau tak akan tersentuh oleh serangan," Madiarta menyilangkan tangan di depan dada. "Fokus dan berkonsentrasilah."

Bulu kuduk Suluh berdiri, ketakutan dan disaat bersamaan takjub dengan kemampuan Madiarta yang luar biasa. Lupa bahwa masternya berada di tingkatan kultivasi teramat tinggi sampai mampu menciptakan bayangan-bayangan yang dapat bergerak sesuai keinginan.

Tak seperti spekulasi, ternyata mereka sangat cepat dalam bergerak, Suluh dilanda kaget bukan main ketika diserang beramai-ramai, memutuskan melompat ke atas seraya mengamati. Tingkah laku tak beraturan mengakibatkan Suluh kesulitan memprediksi aksi mereka, mendarat mulus di atas tanah.

"Apakah ada celah bagiku membalas?" batin Suluh merencanakan sesuatu.

Terlalu fokus memperhatikan ke depan, dia tak sadar bahwa di belakangnya muncul bayangan yang tumbuh, makin lama makin terbentuk. Suluh telat menyadari seketika berbalik, menerima hantaman dari makhluk tersebut dan terpental sampai terkapar.

"Jangan terpaku ke satu titik," suara Madiarta beresonansi, tak terlihat batang hidungnya. "Lebarkan tatapanmu ke sekitar. Rasakan segala eksistensi."

Suluh bangkit, lebih berhati-hati dari sebelumnya. Di situasi menegangkan seperti ini sangat sulit untuk menajamkan insting, mencoba menenangkan diri dan membersihkan semua hal yang mengusik kepala. Suluh memejamkan mata, memasang telinga baik-baik.

Merasakan segala eksistensi alam, Suluh baru memahami sekarang bahwa mereka semua memancarkan frekuensi, tak terkecuali bayangan-bayangan itu. Suara mereka lebih aneh dan abstrak, di satu kesempatan Suluh mendapati secara mendadak nada teramat keras di sebelahnya.

Buru-buru Suluh menghunus belati dan menebas di sebelah kanannya, ternyata benar bahwa monster tersebut berada di sana. "Jadi ini yang dimaksud master?" Suluh berdiri, mempersiapkan diri. "Bukankah ini kemampuan yang teramat berharga?"

Makhluk di sana berlarian, menyerbu Suluh serentak. Tak ada keraguan sama sekali, bocah tersebut menyambut mereka dengan suka cita, mengerahkan serangan dengan cekatan. Suluh memutar, menghindar, menebas ke atas, dan bahkan mengerahkan tendangan kepada mereka, mulai dikalahkan satu-satu.

Sampai Suluh melancarkan tusukan ke depan dan ditahan oleh klon tersebut, dihantam oleh rekan-rekannya dari berbagai arah. Namun, insting Suluh yang meningkat, melepaskan belatinya dan membungkuk, mengelak, kemudian menendang makhluk di belakangnya.

Tak sampai di sana, Suluh memberikan bogeman telapak tangan ke bayangan yang berada di sisi kanan kirinya, disusul dengan sepakan salto mengenai tangan monster yang menahan senjata Suluh, menyebabkan benda tersebut terlempar ke atas.

Di momen itulah semuanya ditentukan tatkala satu-satunya bayangan yang bertahan meluncur ke arah Suluh, secara bersamaan dia menangkap belatinya kembali. Mereka sama-sama menyerang akan tetapi Suluh lebih cepat, menebas klon itu terlebih dahulu sampai akhirnya sirna tak tersisa.

"Menarik," Madiarta berkomentar, sedang duduk bersila di tempat yang sama seperti sebelumnya. "Kau cepat belajar."

"Terima kasih, Master!" Membungkukkan badan, Suluh merasa bahagia.

"Kemarilah," titah Madiarta yang tak dapat ditolak oleh Suluh. "Kau sudah mempelajari aspek krusial dalam bela diri, namun, semua itu akan berantakan bila kau tak mampu menahan emosimu."

Suluh duduk di hadapan Madiarta, mendengarkan segala hal yang keluar dari mulutnya. "Sama halnya dengan berkultivasi, bila emosi tidak stabil, maka kau akan sulit merasakan kehadiran Prana."

"Ia adalah unsur alam, anugerah terbesar dunia untuk kita semua, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan," dia melanjutkan, menatap ke arah Suluh. "Apakah kau tahu bahwa Prana memiliki dua macam?"

Suluh mengernyit. "Tidak, Master. Aku sama sekali tidak diberitahu soal itu selama di Cenderawasih."

Menghela napas, Madiarta mendesis, "Sudah kuduga, mereka tak akan mengakuinya."

"Alasan mengapa kau tidak dapat berkultivasi dikarenakan kau melakukan metode Prana Cahaya," fakta terbeberkan, kebenaran yang menyebabkan Suluh membisu. "Sementara kau berasal dari keturunan Prana Bayangan."

"Ibarat matahari dan bulan, Prana memiliki dua sisi bertentangan," Madiarta meneruskan. "Dan cara mereka berkultivasi berbeda. Kau harus bermeditasi saat malam tiba."

"Selama bertahun-tahun berada di sana, ini akan sulit dan memakan waktu untuk membersihkan sisa Prana Cahaya yang menempel di tubuhmu," kata laki-laki tersebut dengan serius.

"Bukankah berarti aku telah menerima Prana, Master?" Suluh bertanya-tanya.

"Lebih awal dari yang kau kira," Madiarta lantas beranjak. "Namun, itu semua tak ada artinya bila Sukma-mu tak terkoneksi dengan mereka."

"Ada satu cara yang dapat kau lakukan," kedua mata mereka tertaut sama lain. "Yaitu dengan berpuasa."

Hari terlewati, master dan murid tampak berada di dekat air terjun yang tinggi nan indah ketika bulan menggantikan mentari. Suluh naik di salah satu batu terbesar di sana, berada tepat di depan aliran air yang terjatuh, menimbulkan suara teramat keras mengacaukan konsentrasi.

"Ingat betul latihanmu selama ini," Madiarta memperingatkan. "Karena kau di sini tak hanya berpuasa, namun akan ada hal yang mengusik meditasi baik itu hal sederhana maupun suatu ancaman."

"Aku mengerti, Master," Suluh mengangguk, duduk bersila.

"Kau akan tahu Sukma-mu telah murni bila merasakan keberadaan Prana," kata Madiarta menaruh kedua tangan di belakang badan. "Selama itu, secara natural, kau akan membuka diri menerima mereka."

Laki-laki berambut keperakan lantas berbalik, hendak meninggalkan muridnya. "Semoga berhasil, Suluh.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status