Share

03. Latihan Bela Diri

Dua hari terlewati, Suluh merasakan bahwa tubuhnya membaik sangat cepat. Bahkan luka sayatan dan lebam tampak memudar setelah dia membuka semua tumbuhan yang melekat di tubuhnya. Sempat terpukau oleh keahlian Madiarta dalam alkimia.

Bersemangat, dia keluar dari kamar, mondar mandir ke beberapa ruangan sampai keluar rumah, menoleh ke sana kemari seakan mencari sesuatu. Halaman luas menyapa, ditumbuhi rerumputan liar serta hutan yang mengitari rumah kayu sederhana.

Sampai kedua iris emerald Suluh mendapati laki-laki yang tengah duduk bersila di atas batu, berlari mendekat secepat mungkin. "Master, aku sudah siap latihan hari ini!"

Masih memejamkan mata, Madiarta membalas, "Bagaimana kondisimu?"

"Jauh lebih baik, Master," muka Suluh terlihat berseri-seri diterpa cahaya mentari.

"Jadi begitu," laki-laki tersebut lantas melompat turun. "Mari mulai dengan latihan bela diri."

Suluh mengekori Madiarta sampai dia berhenti di tengah halaman, berbalik ke arah muridnya. "Sebagai siswa Cenderawasih, kerahkan seluruh kemampuanmu," ucapnya mempersiapkan kuda-kuda. "Supaya aku dapat menilai sejauh mana kau berada."

Menghela napas, dada Suluh mendadak sesak sampai dia menekan keraguan serta ketakutan, menumbuhkan kepercayaan diri untuk menghadapi rintangan. "Baik, Master!”

"Jangan sesekali menahan diri," tutur Madiarta kepada Suluh yang membuka kedua kaki, mengulurkan tangan ke depan. "Jauhkan rasa segan dalam dirimu."

Mengatur napas sejenak, Suluh mulai bergerak. Konsentrasi sepenuhnya terarahkan kepada Madiarta yang turut mengikuti arah dia melangkah sampai akhirnya Suluh melesat, memberikan serangan cepat.

Madiarta sama sekali tak terpana, ekspresinya santai dan terencana. Hantaman telapak tangan Suluh dengan mudah dihindari, bahkan bila dia mau, dia bisa melancarkan serangan balik tanpa celah.

Lompatan diimbuhi tendangan, berbagai teknik dikerahkan, Suluh sama sekali tak memberikan dampak signifikan. Gerakan Madiarta dalam mengelak dan menepis mendekati sempurna, kesulitan ditembus yang menyebabkan Suluh kewalahan.

"Masih belum," seru Madiarta tatkala menyaksikan muridnya sudah terengah-engah. "Kecepatanmu masih belum maksimal."

"Itulah latihanmu kali ini," imbuhnya, masih berdiri di sana. "Memperkuat ketangkasan ke tingkatan lebih dalam."

Suluh tak menyerah, malahan, ambisi dan semangatnya berapi-api. Menyeka keringat, dia berdiri, memantaskan hati untuk mencoba berkali-kali. Tak mau mengecewakan Madiarta yang mau menerimanya sebagai murid dan membantunya berkultivasi.

Latihan di antara master dan murid terus berlanjut sampai mentari lengser ke barat, walaupun tidak banyak, Suluh memperlihatkan bahwa dia sudah cukup berkembang dan membaik. Bahkan di satu kesempatan, Suluh mengerahkan tendangan ke depan begitu cepat sampai telat diantisipasi Madiarta, berhasil ditahan akan tetapi hampir kehilangan keseimbangan.

"Bagus, Suluh," Madiarta tersenyum lebar. "Gerakanmu lebih teratur dan akurat. Aku terkesan kau cepat beradaptasi."

Pujian itu bagaikan hadiah besar yang diterima Suluh karena selama dia berada di Cenderawasih, hampir tak ada yang memberikan apresiasi kepadanya. Kecuali hanya satu, teman sekelas yang sempat menengok keadaannya saat diperiksa oleh tabib.

"Kita istirahat dulu," saran laki-laki berambut keperakan tersebut, melangkah ke kobaran api unggun. "Aku sudah mempersiapkan ini saat kau latihan."

"Terima kasih banyak, Master!" Suluh cepat-cepat membungkuk dalam-dalam ke arah Madiarta dengan tempo teramat lama, menunjukkan apresiasi besar kepada masternya.

Madiarta merasa iba, memahami bagaimana Suluh diperlakukan di Cenderawasih. "Sudah kemarilah, mari kita membakar ikan-ikan ini disaat malam sudah hampir tiba."

Suluh menaati, buru-buru mempersiapkan makanan berupa ikan yang ditaruh di dekat api. Hari berubah malam, cuacanya cerah dihiasi awan-awan sekadar melintas. Kedua mata Suluh terpaku ke daratan yang mencuat di balik hutan, tampak dekat dan mengagumkan.

"Master, apakah benar bahwa di Gunung Andapan ada arwah bergentayangan?" tanya Suluh tiba-tiba, tak diekspektasi oleh Madiarta disaat tengah makan.

Terkekeh, dia merespons, "Gurumu telah memberitahu banyak hal mengenai itu, bukankah demikian?" Madiarta memakan makanannya. "Bahkan tak sebatas arwah, ada seekor siluman di atas sana."

"Itulah mengapa aku melatihmu untuk mampu menghadapi mereka," imbuhnya, sontak menyebabkan Suluh menoleh dan terbelalak.

"Maksud Master?" tanya Suluh kebingungan.

"Pusaka Bayangan tersimpan di Gunung Andapan," Madiarta dapat mengerti suasana hati Suluh yang masih membisu. "Jangan takut, ketakutan membuatmu merasa kecil dan lemah."

"Kuasai dan dengarkan apa yang kukatakan, kau akan baik-baik saja," dia meneruskan, sedikit menenangkan Suluh meski bocah dua belas tahun itu resah. "Aku tak meragukan kemampuanmu."

Suluh seakan mendapatkan harapan besar yang menyinari kehidupannya. Master Madiarta mempercayai dan tak sekalipun meragukan, dukungannya tak akan disia-siakan. Terutama mengetahui bahwa Suluh memiliki keterkaitan dengan sosok yang Madiarta hormati, semakin meningkatkan determinasi.

Dua hari berlatih di bawah sinar mentari, keahlian Suluh bertambah. Madiarta sedikit kesulitan menahan dan mengelak semua hantaman, membuktikan Suluh kini terbentuk dengan baik. Gerakan tangan dan kakinya tumbuh cepat dengan daya yang cukup berpotensi, akan lebih terasa bila dia sudah berkultivasi.

"Semakin baik dari kemarin, kau dapat diandalkan, Suluh," kata Madiarta, mengakhiri sesi kali ini. "Karena ini masih sore, kau kuberi tugas memancing di sungai untuk makan malam, biar aku mengurus kayu bakarnya."

"Baik, Master!" Suluh memberikan rasa hormat, buru-buru mengambil alat dari dalam rumah dan menuju ke sungai.

"Kau tidak lupa arahnya, bukan?" laki-laki berbusana serba hitam itu bercanda disertai tawa.

Sementara Suluh tersenyum lebar, menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Master! Serahkan kepadaku!"

Kepercayaan diri telah kembali ke dalam dirinya, menerobos semak-semak dan mengikuti setapak. Suara burung berkicauan memenuhi hutan disertai angin semilir menerpa dedaunan, menenangkan Suluh setelah hari-hari berat.

Tak lama kemudian dia mendengar aliran air, melangkah sedikit dipertemukan oleh sungai yang di sudut sana terdapat air terjun mengagumkan. "Jadi ini tempat master mencari makanan?" Suluh bergumam. "Ini sangat indah."

Suluh menggelengkan kepala, menyadarkan diri dari daya tarik pemandangan yang ditawarkan. Tidak ingin membuang-buang waktu, Suluh menaruh keranjang rotan dan mulai memasangkan kail di sebuah tongkat. Baru saja dia melempar alat tersebut ke dalam sungai, Suluh mendengar sesuatu.

Berbalik, dia memperhatikan lamat-lamat di balik kegelapan hutan, muncul harimau yang terlihat kurus, mulut terbuka memamerkan taringnya. Sudah dipastikan dia keroncongan, melirik Suluh dengan nafsu makan tak tertahankan.

"Gawat!" anak itu terkesiap, menghunus belati yang ada di balik baju cokelatnya. "Apa dia mengikutiku sedari tadi?"

Berbekal senjata kecil yang diperuntukkan keperluan dapur, Suluh mau tidak mau harus melawannya. Melarikan diri hanya akan menambah masalah sebab harimau memiliki kecepatan lari melampaui Suluh.

"Ingatlah latihanmu, Suluh!" Dia mematangkan diri, mencoba mengatur napas yang tak karuan untuk tidak kalang kabut. "Kau harus selamat untuk menjadi Pendekar tangguh!"

Binatang buas itu tiba-tiba terdiam, tubuhnya membungkuk, membuat ancang-ancang sebelum menerjang. Suluh tahu dan segera mengantisipasi, merentangkan tangan sembari mengacungkan belati. Jantungnya berdetak begitu kencang, khawatir bilamana ini adalah momen terakhir untuk Suluh.

Sekali hentakan, harimau di hadapan mata berlari mendekati Suluh dengan suara menyeramkan, horor yang dapat membuat manusia biasa berteriak ketakutan. Namun, amanat Madiarta meresap ke lubuk hati Suluh karena rasa takut hanya akan menghentikanmu menjadi kuat.

"Kau harus berani!" Adrenalin Suluh bergejolak, melompat tinggi melewati harimau yang harus memutar arah. "Kau tidak boleh mati di sini!"

Suluh mendarat akan tetapi disambut oleh hewan karnivora di depan, meluncur dengan mulut menganga. Secara tangkas Suluh melayangkan tebasan dari bawah ke atas, melukai muka mengerikan harimau yang sepertinya sudah sering berkelahi.

Tak cukup menghentikan, Suluh menghindari cakarannya, menerima serangan bertubi-tubi yang sulit dihindari maupun ditangkis. Bahkan lengannya sempat tergores dan membuahkan bercak kemerahan, melemparkan belati beserta dirinya ketika Suluh berusaha keras menahan terkaman harimau.

Mendarat keras di atas kerikil, Suluh merintih, cepat-cepat meraih belati yang berada di dekatnya saat hewan itu menyusulnya dengan nafsu memburu. Sepersekian detik tatkala taringnya hampir menyentuh Suluh, suatu energi luar biasa menjalar seperti aliran listrik, menyuruh Suluh bergerak dan dengan tepat belatinya mendarat di kepala harimau, melindungi diri dengan tangan kiri.

Sempat menggeliat tak karuan, hewan buas tersebut akhirnya terdiam lemas, menyudahi kehidupannya. Suluh dapat bernapas lega, membebaskan diri karena tertimpa badan hewan dengan ukuran tiga kali lipat dari dirinya.

"Suluh! Apa yang terjadi?" Madiarta berlari menuju muridnya. "Demi Prana, dia sudah sangat kelaparan sampai berkelana sejauh ini."

Dia lantas menoleh ke arah Suluh. "Apakah kau tidak apa-apa?"

Bocah berambut hitam ikal melihat lengannya. "Hanya luka kecil, Master."

Madiarta menilik Suluh lama sekali, tak mengira bahwa dia akan tumbuh cepat sampai di level ini. Menguatkan anggapan bahwa Suluh benar-benar adalah keturunan masternya, memiliki bakat alami dalam bela diri.

"Ayo kembali dan bersihkan lukamu," seru Madiarta. "Sudah saatnya kau berlatih ke tingkatan selanjutnya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status