Daffa bersikap layaknya dirinya, dia berbincang dengan wartawan mengenai perusahaannya serta hal lain, tentu kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh wartawan karena kapan lagi bisa mewawancarai Daffa Anderson.
Pak Sony meminta Daffa untuk mempromosikan restorannya, dan tentu Daffa menyaggupinya meski enggan. Melihat sikap Daffa yang seperti itu membuat Rosella puyeng, entah bagaimana jadinya sandiwaranya malam ini. "Mas ganteng, cukup sudah, akting kamu benar-benar over, ingat woy kamu bukan Daffa Anderson," bisik Rosella sembari menyenggol kaki Daffa. "Tenang, biar semua percaya memang harus seperti ini Rose," bisik Daffa balik. Acara sudah usai, Rose dan Daffa berpamitan pulang. Di dalam mobil Rosella terus diam, dia mengingat kembali sandiwara over Daffa, dia benar-benar pasrah jika besok muncul berita hoax, dan juga juga akan menerima konsekuensinya apalagi Daffa yang asli marah. "Apa yang kamu pikirkan Rose?" tanya Daffa. "Nasib aku besok Mas," jawab Rosella dengan lemas. Daffa hanya tertawa melihat Rosella sungguh dia benar-benar puas melihat Rosella cemas seperti ini. "Sudah tenang saja," hibur Daffa. Dia menghela nafas dalam-dalam. Tak berselang lama, mobil Daffa telah tiba di rumah Rosella, dia rencananya ingin langsung pulang namun panggilan alam membuatnya harus numpang sebentar ke kamar mandi. Entah mengapa tiba-tiba bayangan Daffa menciumnya hadir, dia juga mengingat bagaimana Daffa memeluknya dengan erat. "Aku kok kepikiran hal itu ya," sambil senyum-senyum sendiri. Daffa yang sudah selesai buang hajat, merasa heran karena melihat Rose senyum-senyum sendiri. "Rose are you okay?" tanya Daffa. "Eh, iya mas" jawabnya. "Sebenarnya aku memikirkan akting kamu tadi Mas, bisa-bisanya memeluk dan mencium aku." Daffa tertawa, sebenarnya bisa jadi dia berakting biasa tapi entah mengapa dia melakukan hal itu. "Biar lebih menjiwai saja Rose," ungkap Daffa. "Lalu selanjutnya bagaimana ini mas, biaya buat semua ini." Inilah moment yang ditunggu Daffa, Rosella mulai kebingungan bagaimana membayar semua, dan kemungkinan untuk melunasi semua dia mau menjual tanahnya. "Ntah lah Rose, aku juga tidak bisa membantu. Hutang makan bakso ku kapan hari saja belum bisa aku bayar." Daffa berakting kembali, dia benar-benar menyakinkan Rosella jika dirinya miskin. "Ngapain sih mas mikir hal itu, baksonya juga udah jadi kotoran," timpal Rose. Lagi-lagi Daffa hanya tersenyum, kini keduanya saling diam, Rosella bingung dengan biaya sedangkan Daffa puas dengan semuanya. "Oh ya mas, tadi barang-barang branded nya juga menyewa?" tanya Rose yang tiba-tiba memecah keheningan "Iya Rose. Semua aku memakai barang branded, orang sekelas Daffa Anderson pasti selalu memakai barang branded jadi aku mengikutinya," jawab Daffa Mendengar jawaban Daffa membuat Rosella semakin frustasi, dia dapat uang dari mana untuk melunasi hutang itu. "OMG mas ganteng, bagaimana ini." Beban pikiran Rose semakin bertambah, dia sungguh bingung akan hal ini. "Memangnya biaya menyewa mobil dan lain-lain berapa mas" tanya Rosella "Jujur aku tadi disuruh bawa dulu, masalah biaya nanti diberitahukan mengingat apa yang aku bawa sangat banyak," jawab Daffa. "O begitu." Walaupun terkesan licik namun hanya ini satu-satunya cara untuk membuat Rosella menjual tanahnya. Dengan memanfaatkan jiwa sosial Rosella dan juga memanfaatkan rasa bersalahnya. "Kasian juga dia, kamu pasti tidak ada cara lain selain menjual tanah mu pada kami Rose," batin Daffa penuh kemenangan. Malam semakin larut, Daffa pamit pulang karena dia harus mengembalikan mobil, jika terlalu lama biayanya akan terus bertambah. Selepas kepergian Daffa, Rose merebahkan diri di kamar kecilnya, dia berpikir keras, apa perlu dia menjual tanah untuk membayar biaya sewa luxury car dan lain-lainnya? Arrrgggg "Mas ganteng ini juga karena kamu, menyewa barang-barang branded tanpa berdiskusi dulu padaku." Sampai tengah malam Rosella tidak dapat memejamkan matanya, pikirannya tertuju pada biaya sewa mobil dan lain-lain. "Tapi kalau dipikir-pikir kasian juga mas ganteng harus ikut memikirkan biayanya semua." Dia terus bermonolog dengan diriku sendiri. Meskipun sulit tidur namun Rosella tetap memejamkan matanya hingga akhirnya dia terlelap juga. Keesokan harinya, setelah puas memikirkan semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk menjual tanahnya pada Anderson Grup. "Tak ada cara lain lagi untuk mendapatkan uang selain menjual tanah ini, maafkan Rosella ibu dan ayah karena Rosella tidak bisa menjaga amanat ibu dan ayah." Hanya gara-gara akting, Rose akhlhirnya menjual tanah peninggalan kedua orang tuanya. Pagi ini dia pergi ke Anderson Grup untuk menjual tanahnya langsung, namun sebelumnya dia sudah meminta ijin untuk off kerja hari ini. Ketika dia sampai di Aderson Grup, bola matanya tak berhenti memandang kemegahan bangunan itu. "Pasti Daffa Anderson adalah orang yang sangat kaya," gumamnya lalu masuk. Dia bertanya pada resepsionis, meminta ijin untuk bertemu dengan Daffa/atau Ray. "Apa sudah buat janji?" tanya Resepsionis. "Apa memang harus buat janji dahulu?" "Iya dong mbk." Rosella menggaruk kepalanya yang tidak gatal, untuk bertemu saja harus ada janji. Karena Ray melintas lobi saat melihat Rosella dia segera mendekat. "Nona?" panggilnya. Rosella menoleh, melihat Ray dia begitu senang. "Eh Mas cakep," teriaknya. Semua memandangi Rose karena memanggil Ray dengan sebutan Mas ganteng. "Ada urusan apa kesini?" tanya Ray. Rosella menceritakan alasan dia kemari, hal ini membuat Ray tersenyum penuh kemenangan. "Finally, minggu depan proyes terealisasi." batinnya. "Jadi kamu berubah pikiran sekarang nona?" tanya Ray "Iya," jawab Rosella dengan tersenyum. Ray mulai penasaran siasat apa yang membuat Daffa berhasil menggoyahkan kekerasan hati Rose. Tak ingin lama-lama Daffa segera membuat surat jual beli mereka, kebetulan Rosella juga sudah membawa surat tanahnya. Setelah deal, Ray meminta sertifikat tanahnya setelah itu dia memberikan cek pada Rosella dengan nominal yang sudah disepakati sebelumnya. "Terima kasih nona, keputusan anda kali ini tepat sekali," kata Ray. "Sama-sama, semoga saja," sahutnya. Rosella pamit undur diri, saat keluar dari ruangan Rey, Rosella langsung menelpon Daffa untuk diajak ketemuan pagi ini juga. Tut, Tut Panggilan tersambung namun tidak diangkat, karena sibuk dengan ponselnya akhirnya Rosella tak sengaja menabrak seseorang dan orang yang ditabraknya mengumpat. "Kalau jalan pakai mata," umpatnya Rosella menatap kesal laki-laki yang ditabraknya, "Dimana-mana jalan tu pakai kaki pak, bukan pakai mata," sahutnya kesal. Pria itu pergi dengan rasa kesalnya, begitu pula dengan Rose. Saat di parkiran Rosella tanpa sengaja melihat mobil yang persis dipakai oleh Daffa. "Bukankah ini mobil mas ganteng kemarin?" batin Rosella. Rosella mendekat untuk mengamati mobil itu namun tiba-tiba Petugas keamanan segera mengusir Rosella karena mereka curiga pada Rosella yang terus melihat mobil Daffa. "Saya cuma lihat saja kok Pak," protesnya lalu menjauh. Sebelum meninggalkan gedung perkantoran Daffa, Rose kembali mengirim pesan, tapi Daffa tidak membalasnya. "Aneh, apa mas ganteng sakit ya karena memikirkan hal ini." Di sisi lain Daffa yang sudah tahu Rose telah menjual tanahnya segera menghubungi Ray untuk membahas proyek mereka. "Kenapa dia tiba-tiba menjual tanahnya Pak?" tanya Ray yang penasaran. "Kepo," sahut Daffa. "Ceritalah," pinta Ray. Daffa tersenyum penuh kemenangan, "Aku hanya memanfaatkan jiwa sosial serta rasa bersalahnya." Tak ingin membahas Rose, Daffa meminta Ray untuk mengadakan meeting. "Baik Pak." ###### Di rumahnya Rosella berkali-kali mengecek ponselnya, dia mengharpkan notofikasi dari Daffa yang tak kunjung muncul. "Apa yang terjadi dengannya ya, apa mas ganteng terlibat masalah dengan pemilik mobil kemarin?" Rosella bermonolog dengan dirinya sendiri merasa khawatir dengan Daffa.Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa. "Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk d
Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
Melihat Sean yang sedikit kesal membuat Putri gugup, dia takut kalau Sean akan marah pada Daffa.Seusai makan malam Sean mengajak Putri untuk ke kamar karena dia ingin membahas ada masalah sehingga adiknya menghubunginya."Apa yang kalian obrolkan, apa kalian menjalin kasih di belakangku?" tanya Sean kesal"Mana mungkin aku melakukannya sayang, kan kamu sendiri tahu betapa sayangnya aku padamu," jawab Putri dengan menatap Sean berharap Sean percaya padanyaSean terdiam lalu dia membawa Putri dalam pelukannya, dia mengecup kening istrinya seraya berkata"Maafkan aku sayang karena telah meragukan cintamu, aku hanya cemburu ketika kamu dekat dengan Daffa karena Daffa sangat mencintaimu," kata Sean dengan lirihPutri hanya mengangguk,"Kamu bisa tanyakan pada Daffa sendiri, kelihatannya kamu nggak udah terlalu takut pada adikmu karena dia telah menemukan cintanya, kamu ingat kan berita yang beredar tentangnya akhir-akhir ini,"
"Mas Daffa jadi ke Amerika?" Pertanyaan sang asisten membuat pria itu menghentikan aktivitasnya. "Jadi Ray, besok aku akan berangkat. Aku titip perusahaan," jawabnya dengan tersenyum "Dengan senang hati mas, salam ya buat keluarga di sana." Hari pun semakin sore, Daffa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena dia harus bersiap untuk perjalanan ke Amerika besok. Saat di lampu merah Daffa memandang di luar jendela sambil menunggu lampu hijau, berbeda dengan CEO yang lebih senang menggunakan jasa sopir, Daffa malah sebaliknya, dia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Tepat di samping kiri mobilnya, tampak seorang wanita yang mengendarai sepeda motor bututnya kemudian wanita itu memarkir motornya dan turun dari aspal. Hal yang membuat Daffa tak melepas pandangannya adalah saat sang wanita berlari menolong nenek-nenek yang hendak menyebrang jalan. "Jaman sekarang ternyata masih ada yang memiliki jiwa sosial tinggi," gumam Daffa lalu melajukan mobilnya karena sudah lampu h
Rose melajukan motornya namun sebelum pulang dia mampir dulu ke mini market untuk membeli makanan dan minuman, daripada nanti harus keluar lagi. Begitu pula dengan Daffa, setelah meeting dengan klien dia mampir ke mini market untuk membeli rokok dan minuman. Melihat ada seorang pengemis membuat Rosella iba, "Kasian sekali nenek itu, kira-kira sudah makan atau belum ya?" batin Rosella sambil melihat isi dari kantong plastik yang dibawanya. Rosella berniat untuk memberikan separuh makanan yang dia beli untuk pengemis itu. Dengan senyuman yang mengembang di bibirnya, Rosella melangkahkan kaki menuju tempat dimana nenek itu duduk. "Sedikit rejeki buat nenek." Rosella menyodorkan makanan dan minuman. "Terima kasih nak, semoga Tuhan membalas kebaikanmu." Nenek pun berdoa atas kebaikan Rosella. Meski hanya doa kecil yang diucapkan sang nenek, Rosella begitu bahagia. Setelah itu Rosella mengendarai motornya dan berlalu. Melihat Rosella, Daffa pun menyunggingkan senyuman, dia sungguh s
Malam itu saat Rosella bersantai dia mendapat pemberitahuan dari grub yang ia ikuti terkait lowongan pekerjaan. Dia teringat akan pria yang menemuinya tadi di restoran alias Daffa Anderson. "Aku save ah nomornya, siapa tau dia berminat dengan pekerjaan ini," gumam Rosella lalu menyimpan nomor si pemberi pekerjaan. Pagi ini di Anderson Group, Daffa ada meeting dengan para petinggi perusahaan serta investor terkait tertundanya proyek mereka. "Bagaimana bisa proyek kita tertunda pak, padahal kami sudah berinvestasi untuk proyek ini." Protes salah satu kliennya. "Mohon maaf pak untuk hal itu, ada sedikit kendala, namun jangan khawatir secepatnya akan saya selesaikan supaya proyek kita segera terealisasi," ucap Daffa mencoba menenangkan para investor Seusai rapat, Daffa kembali ke ruangannya lalu dia melemparkan tubuhnya di sofa. Dia sungguh bingung harus bagaimana, jika tertunda maka keberangkatannya ke Amerika juga akan tertunda. "Mau nggak mau aku harus membujuknya sendiri untuk m
Semenjak pertemuan kedua itu, Daffa dan Rosella sering bertemu, bahkan Daffa memberanikan diri meminta alamat dan berkunjung ke rumah Rosella, dia semakin gencar mendekati Rosella mengingat deadline dari investor sudah semakin dekat. Meski keduanya semakin dekat tapi Daffa masih belum bisa membahas ke arah tanah dengan Rosella. "Bagaimana ini pak, investor sudah mulai mengoceh, mereka menuntut proyek agar segera di realisasi?" Ray melaporkan keadaan lapangan pada Daffa. Daffa memijat pelipisnya, dia sungguh bingung, selama dua minggu dekat dengan Rosella, dia belum bisa menemukan cara untuk mengobrol ke arah situ. "Temui mereka Ray, bilang ke mereka dua Minggu lagi, proyek sudah bisa di mulai." Daffa nekat memberikan titah yang belum pasti. "Anda yakin Pak?" tanya Ray penuh penekanan, karena dia merasa tidak yakin dengan Daffa. "Yakin, aku tak akan menunda lagi, aku harus mendapatkannya dengan cara apapun," jawab Daffa. Mereka berdua kalut dengan pikiran mereka masing-masing, Ra