Malam itu saat Rosella bersantai dia mendapat pemberitahuan dari grub yang ia ikuti terkait lowongan pekerjaan. Dia teringat akan pria yang menemuinya tadi di restoran alias Daffa Anderson. "Aku save ah nomornya, siapa tau dia berminat dengan pekerjaan ini," gumam Rosella lalu menyimpan nomor si pemberi pekerjaan. Pagi ini di Anderson Group, Daffa ada meeting dengan para petinggi perusahaan serta investor terkait tertundanya proyek mereka. "Bagaimana bisa proyek kita tertunda pak, padahal kami sudah berinvestasi untuk proyek ini." Protes salah satu kliennya. "Mohon maaf pak untuk hal itu, ada sedikit kendala, namun jangan khawatir secepatnya akan saya selesaikan supaya proyek kita segera terealisasi," ucap Daffa mencoba menenangkan para investor Seusai rapat, Daffa kembali ke ruangannya lalu dia melemparkan tubuhnya di sofa. Dia sungguh bingung harus bagaimana, jika tertunda maka keberangkatannya ke Amerika juga akan tertunda. "Mau nggak mau aku harus membujuknya sendiri untuk m
Semenjak pertemuan kedua itu, Daffa dan Rosella sering bertemu, bahkan Daffa memberanikan diri meminta alamat dan berkunjung ke rumah Rosella, dia semakin gencar mendekati Rosella mengingat deadline dari investor sudah semakin dekat. Meski keduanya semakin dekat tapi Daffa masih belum bisa membahas ke arah tanah dengan Rosella. "Bagaimana ini pak, investor sudah mulai mengoceh, mereka menuntut proyek agar segera di realisasi?" Ray melaporkan keadaan lapangan pada Daffa. Daffa memijat pelipisnya, dia sungguh bingung, selama dua minggu dekat dengan Rosella, dia belum bisa menemukan cara untuk mengobrol ke arah situ. "Temui mereka Ray, bilang ke mereka dua Minggu lagi, proyek sudah bisa di mulai." Daffa nekat memberikan titah yang belum pasti. "Anda yakin Pak?" tanya Ray penuh penekanan, karena dia merasa tidak yakin dengan Daffa. "Yakin, aku tak akan menunda lagi, aku harus mendapatkannya dengan cara apapun," jawab Daffa. Mereka berdua kalut dengan pikiran mereka masing-masing, Ra
Daffa bersikap layaknya dirinya, dia berbincang dengan wartawan mengenai perusahaannya serta hal lain, tentu kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh wartawan karena kapan lagi bisa mewawancarai Daffa Anderson. Pak Sony meminta Daffa untuk mempromosikan restorannya, dan tentu Daffa menyaggupinya meski enggan. Melihat sikap Daffa yang seperti itu membuat Rosella puyeng, entah bagaimana jadinya sandiwaranya malam ini. "Mas ganteng, cukup sudah, akting kamu benar-benar over, ingat woy kamu bukan Daffa Anderson," bisik Rosella sembari menyenggol kaki Daffa. "Tenang, biar semua percaya memang harus seperti ini Rose," bisik Daffa balik. Acara sudah usai, Rose dan Daffa berpamitan pulang. Di dalam mobil Rosella terus diam, dia mengingat kembali sandiwara over Daffa, dia benar-benar pasrah jika besok muncul berita hoax, dan juga juga akan menerima konsekuensinya apalagi Daffa yang asli marah. "Apa yang kamu pikirkan Rose?" tanya Daffa. "Nasib aku besok Mas," jawab Rosella den
Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa. "Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk d
Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
Melihat Sean yang sedikit kesal membuat Putri gugup, dia takut kalau Sean akan marah pada Daffa.Seusai makan malam Sean mengajak Putri untuk ke kamar karena dia ingin membahas ada masalah sehingga adiknya menghubunginya."Apa yang kalian obrolkan, apa kalian menjalin kasih di belakangku?" tanya Sean kesal"Mana mungkin aku melakukannya sayang, kan kamu sendiri tahu betapa sayangnya aku padamu," jawab Putri dengan menatap Sean berharap Sean percaya padanyaSean terdiam lalu dia membawa Putri dalam pelukannya, dia mengecup kening istrinya seraya berkata"Maafkan aku sayang karena telah meragukan cintamu, aku hanya cemburu ketika kamu dekat dengan Daffa karena Daffa sangat mencintaimu," kata Sean dengan lirihPutri hanya mengangguk,"Kamu bisa tanyakan pada Daffa sendiri, kelihatannya kamu nggak udah terlalu takut pada adikmu karena dia telah menemukan cintanya, kamu ingat kan berita yang beredar tentangnya akhir-akhir ini,"
"Mas Daffa jadi ke Amerika?" Pertanyaan sang asisten membuat pria itu menghentikan aktivitasnya. "Jadi Ray, besok aku akan berangkat. Aku titip perusahaan," jawabnya dengan tersenyum "Dengan senang hati mas, salam ya buat keluarga di sana." Hari pun semakin sore, Daffa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena dia harus bersiap untuk perjalanan ke Amerika besok. Saat di lampu merah Daffa memandang di luar jendela sambil menunggu lampu hijau, berbeda dengan CEO yang lebih senang menggunakan jasa sopir, Daffa malah sebaliknya, dia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Tepat di samping kiri mobilnya, tampak seorang wanita yang mengendarai sepeda motor bututnya kemudian wanita itu memarkir motornya dan turun dari aspal. Hal yang membuat Daffa tak melepas pandangannya adalah saat sang wanita berlari menolong nenek-nenek yang hendak menyebrang jalan. "Jaman sekarang ternyata masih ada yang memiliki jiwa sosial tinggi," gumam Daffa lalu melajukan mobilnya karena sudah lampu h