Joan memeriksa tiap ruangan yang ada di rumah besar itu, saat ia membuka pintu kamarnya. Kiana ternyata sedang tertidur di samping Jona, masih memeluk bayi itu, Mereka seperti ibu dan anak.
"Pantas saja suaraku tak di dengar, rupanya tertidur," ujar Joan dengan nada ketus perlahan mendekati mereka berdua.Cukup lama Joan menatap keduanya dengan intens, lalu beralih ikut berbaring di samping Jona."Apa ini gambaran ketika kita menikah, Kiana?" Joan lalu membalikkan badannya menatap Kiana yang tertidur seperti putri salju.Tak ingin membuang- buang waktu, Joan lalu mengambil ponselnya beralih memotret mereka berdua bak keluarga cemara."Kau sedang apa, Joan? Baru pulang?" tanya Kiana tiba-tiba terbangun dari tidurnya, membuat Joan terkejut."Tanya saja pada rumah ini, untung saja pintu belakang tak terkunci. Apa Jona rewel?" Joan dengan nada ketus, sedikit mengoceh."maaf semalam aku begadang, Jona anak yang pintar. Dia tidak rewel sama sekali," ujar Kiana sembari mengucek- ngucek matanya."Mana belanjaan mu?" sambungnya langsung dengan nada ketus."Ada di mobil, tunggu aku akan mengambilnya. barangnya cukup banyak, " Joan lalu kembali keluar, berjalan menuju pintu depan."Sebanyak apa, sih? Apa kedua tangan kekarnya itu tak bisa membawanya sekaligus?" gerutu Kiana berjalan mengikuti Joan keluar.Awalnya Kiana santai saja menatap Joan satu persatu mengeluarkan kotak kardus dari bagasi mobilnya.Namun kotak kardus yang di bawa Joan lama- kelamaan semakin banyak, bahkan hampir 20 kotak mengisi bagasi dan bagian depan mobilnya."Kau membeli seisi swalayan, Joan!?" pekik Kiana menatap Joan tak percaya."Hanya membeli beberapa saja, Kiana …," ujar Joan dengan santai."Sudah selesai, bukalah, "pinta Joan pada Kiana, gadis itu mematung untuk sementara waktu."Kau membeli semua ukuran popoknya, Joan?" Kiana melongo, hampir semua kardus itu berisi popok dengan segala ukuran."Ukuran? Aku pikir itu semua sama, lagi pula popok merek itu hampir mirip dengan wajah jona. Kurasa ia cocok memakainya, " celetuk Joan dengan nada santai, menjatuhkan dirinya ke sofa lalu mengehela nafas panjang.Kiana menepuk jidak melihat kelakuan Joan, lelaki itu kadang pintar kadang juga dongo."Berapa jumlah belanjaan mu? Ku tebak 2 juta, kan?" Kiana mencoba menebak-nebak total belanjaan lelaki tampan itu."Benar, tapi salah. Total belanjaan ku tadi hanya 10 juta," ujar Joan dengan wajah datar. Lelaki itu berharap mendapatkan pujian dari Kiana karena berhasil membeli semua barang yang ada di secarik kertas itu."Hanya? Belanjaanku saja hanya 10 juta setiap bulannya,"ujar Kiana masih dengan ekspresi tak percaya menatap wajah datar sahabatnya itu."Aku mandikan jona saat dia sudah bangun, aku tak tega jika harus membangunkannya," Kiana lalu mengambil beberapa barang-barang yang ada di kotak kardus itu lalu melangkah menuju kamar Joan."Kau ingin kemana?," tanya Joan mengerutkan keningnya menatap Kiana."Menaruh barang-barang jona di kamarmu," jawab Kiana dengan santai."Kenapa di kamarku? Di rumah ini ada banyak kamar, Kiana …," tegas Joan dengan nada lembut."Tenang saja, aku sudah merapikan kamarmu. dan menyingkirkan barang-barang yang bisa melukai jona kecil.""Lagi pula belum saatnya jona tidur sendiri, kau masih harus menemaninya. setidaknya sampai ia berumur 5 tahun" jelas Kiana."Menyingkirkan barang-barang ku?"pekik Joan."Iya! Seperti botol alkohol, pajangan pistol dan beberapa hiasan dinding yang memiliki sudut tajam,"ujar Kiana dengan santai melanjutkan langkahnya ke kamar Joan."sebentar lagi mungkin rumah ini akan berubah menjadi semua taman bermain," Joan menepuk jidatnya merasa putus asa.Beberapa jam berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 terik matahari yang panas mulai menerpa.Kiana memutuskan untuk memasak makan siang, di kulkas memang banyak bahan. namun kebanyakan sudah layu."Apa anak ini tidak pernah memasak? Di kulkas banyak sekali bahan makanan yang sudah rusak," gerutu Kiana sembari membereskan dapur yang cukup kotor itu.Ia memasak dengan bahan yang seadanya, padahal di dekat rumah Joan ada swalayan kecil yang menyediakan bahan makanan walau tidak lengkap.hanya saja Kiana sangat malas melangkahkan kakinya keluar di tengah terik matahari yang mungkin bisa membakar kulitnya.Joan terbangun karena mencium wangi masakan yang lezat, perutnya keroncongan sedari tadi."Hm … wangi masakan ini persis seperti masakan nenek, " Joan mengendus-endus dari mana arah datangnya wangi itu."Kiana? Kamu pintar masak? Pasti belajar di internet ya?, "ujar Joan mengagetkan Kiana."astaga Joan! Kau mengagetkan ku, "pekik Kiana memukul bahu joan." aduh! Sakit …, "Joan memegangi tangannya, padahal lelaki itu sama sekali tidak merasakan sakit. Hanya ingin mencari perhatian dari Kiana."eh, beneran? Maaf, yang mana sakitnya?" Kiana tersentak, ia segera mengecek tangan kekar Joan dengan seksama."Hahaha … bercanda kiana, ini yang aku sukai darimu, " Joan tertawa puas lalu mengacak-acak rambut Kiana."Tidak lucu!" pekik Kiana dengan ekspresi kesal bukan main.Suara tangisan jona membuat mereka panik, bayi kecil itu sepertinya terbangun karena kelaparan."Joan, coba cek jona dulu, tuh," pinta Kiana pada Joan yang sedang mengambil air."Tunggu jona! Papa datang!" Joan segera berlari menuju kamarnya karena suara tangisan jona semakin keras."Shut … papa di sini sayang, jona kenapa? Lapar ya? Mau dibuatin susu?" Joan terus saja mencerca banyak pertanyaan pada bayi kecil itu."Jona kenapa, Joan?"tanya Kiana dengan raut wajah khawatir."Sepertinya dia lapar, tolong buatkan susu,"pinta Joan pada Kiana yang masih memegang centong sayur." tunggu sebentar, aku akan mencuci botol susunya dulu," Kiana segera berlari menuju dapur, berhenti sebentar untuk mengambil botol susu yang masih baru dan kotak susu.Kiana bahkan hampir terjatuh karena terlalu panik."Hati-hati Kiana," Joan sedikit tertawa saat melihat Kiana hampir terpeleset karena kaos kakinya sendiri.Akhirnya Kiana pun selesai membuat susu, gadis itu kembali berlari masuk ke kamar Joan."Ini susunya, semoga saja jona tidak menolak di beri susu formula," Kiana menyerahkan botol itu pada Joan dengan tangan gemetar, baru kali ini ia sepanik itu."Jona suka, Kiana! Lihat, jona meminumnya cepet sekali," Joan dengan wajah sumringah menatap jona."Eh iya! Jona laper banget ya, maafin kakak Kiana ya," Kiana lalu mengelus-elus rambut jona lalu mencium kening bayi itu."Kiana, makasih sudah mau bantu merawat jona. Kalo kamu mau pulang sekarang juga boleh, pasti mama Dania nyariin," Joan lalu mengelus kepala Kiana lembut.Lelaki itu tiba-tiba bersikap manis, namun kali ini membuat Kiana cukup nyaman."Iya, santai aja. Sekarang jona juga sudah jadi bagian terpenting buat aku," jelas Kiana, ia lalu balik mengelus lembut pipi Joan."Makan sana, kamu lapar. Kan? Jonanya biar aku yang jaga, kita gantian," suruh Kiana, padahal ia juga sangat lapar."Kita makan bersama saja, aku akan tetap menggendong jona. Tapi sebagai gantinya kamu suapi aku,"pinta Joan dengan wajah sumringah."Agak ngelunjak ya, tapi gak papa, deh. Aku juga lapar," Kiana tertawa kecil di akhir kalimatnya."Ayo let's Go … akhirnya papa mau di suapin karena kamu jona," goda Joan membuat Kiana tersipu malu."Apasih, gak jelas!" jawab Kiana ketus."Baper ya? Kamu bawa perasaan, kan? Itu wajah kamu merah semua, "Lagi-lagi Joan menggoda Kiana membuat gadis itu tak bisa berkata-kata lagi."Gak jelas apanya? Hubungannya, kan? Mau di perjelas gak?" Joan sangat suka melihat Kiana tersipu malu, tingkah gadis itu terlihat sangat menggemaskan dimatanya saat sedang malu-malu."Aku pulang!" Kiana berbalik melangkah menuju pintu depan namun langsung di tahan oleh Joan."Jangan, ki-kita makan dulu ya. Nanti jona nangis kalo kamu pergi, iya kan jona?" celetuk Joan yang akhirnya menghentikan langkah Kiana."Makanya jangan berbicara yang sembarangan," celoteh Kiana."Iya janji, aku gak akan bicara yang sembarangan lagi. Tapi jangan pergi dulu, ajarkan aku cara membuat susu jona. baru kamu boleh pulang,"Joan dengan wajah memelas. Tangan kirinya menggengan tangan Kiana cukup erat."udah yuk, makan. Aku cuma becanda,"Kiana lalu membalas genggaman tangan kekar sahabatnya berjalan menuju dapur."mau lauk apa aja? Ini ada telur balado, mau gak? Maaf ya, aku cuma bisa masak ini," suara Kiana tampan merendah."Gak masalah, kamu tau sendiri aku dari kecil lebih suka makanan rumahan, kan? It's okey dear …, " Joan dengan mengusap kepala Kiana lembut."No problem, kitakan sahabat. Sahabat itu harus saling melengkapi satu sama lain," Kata-kata Kiana seperti menampar keras Joan.Dada lelaki tampan itu terasa sesak, namun coba ia tutupi dengan senyuman tipis. Sikap lembut Kiana kadang membuatnya terbang jauh ke langit ketujuh.Namun kadang-kadang perkataan gadis itu terasa sangat pedih di hatinya. Walau joan tau itu hanya sebuah candaan di luar batas."Ayo buka mulutnya, aaa … pesawat datang," Kiana mulai mengarahkan sendok di tangannya ke mulut Joan.Lelaki itu perlahan membuka mulutnya, sebelum itu menatap Kiana cukup lama. Entah mengapa sekarang rasanya sangat berbeda ketika dekat dengan gadis itu."Matanya kenapa lihat aku kayak gitu? Biasa aja, jangan pakai perasaan natapnya!" Kiana menyadarkan Joan yang melamun. Pandangan lelaki tampan itu tiba-tiba sayu, entah apa yang baru saja terlintas di dalam pikirannya."Ah, ti-tidak aku hanya … berpikir apa Jona akan bahagia di bawah asuhan ku?" Joan membuat Kiana kebingungan, kalimat yang di lontarkan lelaki tampan itu membuat pikirannya buntu sejenak."Maksudmu apa? Jona pasti akan bahagia, dia di rawat oleh lelaki tampan dengan bergelimang harta,"Kiana dengan jawaban simple yang terlintas dalam benaknya."Bagaimana bisa pria dengan masa kecil yang buruk ingin membangun masa kecil yang indah untuk seorang anak perempuan, Kiana …?"suara lelaki tampan itu merendah, matanya berkaca-kaca. dadanya terasa sesak menahan tangis, Ia kini Hanya bisa tertunduk dengan bibir gemetar.Mendengar itu Kiana langsung memeluk Joan, ingin membiarkan lelaki itu menangis dalam dekapannya.Kiana tahu, Joan tidak akan pernah mau menangis di depan seorang w
"Astaga Joan, bisa-bisanya kau berharap Kiana mengucapkan kalimat seperti itu padamu,"batin Joan merasa bodoh telah menghayalkan hal itu, sahabat tetaplah sahabat bagi gadis itu.Kiana segera melajukan motornya, meninggalkan Joan dengan bayi kecil yang ada di dalam dekapan pria bertubuh kekar itu."Ayo Jona, kita masuk. Panas ya?" Joan menggendong jona kembali ke dalam rumah, mendapati rumahnya yang cukup berantakan."Jona, sepertinya bunda Kiana lupa memandikanmu ya? Tidak apa-apa, kamu mandi saat sore saja ya?" Joan menatap wajah mungil Jona dengan gemas, ia beralih mencium kening Jona berulang kali saking gemasnya ia pada tubuh kecil bayi itu."Rumah kita berantakan sekali ya? Papa akan menelfon jasa pembersih, tunggu di kamar sebentar ya," Joan membawa tubuh Jona ke dalam kamarnya, membaringkan tubuh mungil itu ke atas tempat tidur.Baru saja ingin menelfon jasa pembersih, tiba-tiba sebuah panggilan telfon masuk."Ayah? Semoga bukan hal buruk yang akan terjadi,"Joan mengangkat telf
Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran."Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania me
"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Bukan begitu! Ini … untuk anak teman mama, mama sibuk. Jadi memintaku untuk berbelanja ini semua," Kiana mengelak dengan membuat cerita lain, meski Jona bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ia tidak mau kelak bayi kecil itu akan di olok-olok dan dianggap anak pembawa sial, jadi di buang oleh kedua orangtuanya."Oh, begitu. Aku pikir kau memiliki seorang bayi,"Alen bernafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari Kiana."Tidak mungkin! Gila kamu!"pekik Kiana lalu memukul bahu Alen. Ia dan Alen cukup akrab tapi tidak sekarang seperti Joan, Alen hanya sebatas teman dekat."Hati-hati di jalan.""Iya, aku pamit dulu. Kamu juga hati-hati," Kiana berjalan menuju motornya yang terparkir di luar, cukup susah membawa itu semua dengan motor.Sesampainya di depan rumah Joan, Kiana tidak langsung masuk. Ia masih berusaha menyiapkan diri untuk bertemu Joan tanpa rasa canggung."Aku pulang …," sapa Kiana saat sudah berada di ruang tamu, ia mendapati rumah besar itu hening dan sunyi. Mungkin Joan