Plak! plak!
Dua kali Mas Azzam menampar wajahku. Selama ini, Mas Azzam jika marah hanya sekedar membentak. Tetapi, kali ini. Dia sudah berani main fisik. Oke, suamiku ini sudah menabuh gendrang perang. "Maksud kamu apa? menemukan alat pengaman." Tanya Mas Azzam terlihat panik. "Aku menemukan ko**om di saku celana kamu," dengan tegas aku menjawab. Si gundik pun berlari keluar. Setelah aku berkata demikian. Sungguh, sepertinya banyak sekali rahasia yang Mas Azzam sembunyikan. "Kayla ... puas kau?" teriak Mas Azzam murka. Aku hanya menyunggingkan senyuman penuh dengan kebencian seraya memegangi pipi yang terasa panas karena tamparan kuat Mas Azzam. Aku melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Untuk melihat Daffa yang tadi sempat terlihat tidur di lantai karena kelehan bermain sendirian. Cukup lama aku terdiam di kamar. Aku memandangi wajah tampan bocah itu. Wajah yang sangat mirip sekali dengan Mas Azzam. Menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Azzam rasanya banyak sekali cobaan. Ada rasa lelah dan ingin menyerah saja. 'Ayah, apa benar yang ayah katakan dulu, jika Mas Azzam hanyalah jodoh singgahan untukku?' Batinku bergumam. Mengingat almarhum ayah pernah berkata. Aku harus sabar menjalani pernikahan dengan Mas Azzam karena ayah melihat gelagat Mas Azzam berbeda dari Mas Yusuf mantan kekasihku. Saat aku masih terlena dalam lamunan. Sayup-sayup aku dengar suara isak tangis perempuan. Lekas aku keluar kamar setelah memastikan Daffa tidur dengan aman. Sesampainya di luar rumah. Aku melihat pemandangan yang sangat-sangat, ah ... entah lah. Aku harus berkata apa? Hatiku merasa luluh lantah, hancur sehancur-hancurnya. Bagaikan kaca terjatuh pecah berkeping-keping. Mataku sangat jelas melihat Mas Azzam tangah memeluk, mendekap wanita itu begitu erat. Dan ... mirisnya, ada ayah mertua pula dihadapan mereka. Sumpah, aku bingung harus berbuat apa. Haruskah aku melabrak keduanya? Ataukah aku memaki keluarga suami yang aku curigai tahu semua rahasia yang di sembunyikan Mas Azzam selama ini. Aku terus berdiri terpaku di tempat. Mataku terus mengawasi kedua insan yang bagaikan sedang dimabuk cinta. Seakan tak perduli banyak orang lewat menyaksikan percumbuan keduanya. Ayah mertua pun hanya diam membisu. "Mas! Aku tak mau jadi yang kedua. Hiks .... " ucap wanita itu sangat jelas di pendengaranku. "Tia! Tolong mengertilah! Mas harus mempertanggung jawabkan status Mas untuk anak dan istri pertama Mas," ujar Mas Azzam. Aku terus menguping sembari memperhatikan keduanya tanpa tahu harus berbuat apa? Andai aku memilih pisah dengan Mas Azzam. Lalu, bagaimana kelanjutan hidupku juga Daffa. Aku ingin bekerja. Tetapi, dengan siapa anak itu tinggal? Berbagai macam pertimbangan terus aku pikirkan. Bukan kali ini saja Mas Azzam berkhianat. Saat aku hamil Daffa di bulan ke enam. Aku memergoki Mas Azzam menggandeng wanita lain. Dan, ketika aku bertanya. Jawaban yang didapat hanyalah ketidak tahuan. Namun kali ini, mungkin sudah saatnya Tuhan menggerakan hati aku untuk memikirkan langkah apa yang harus aku ambil. Hidup dengan keluarga toxic serasa hidup tak berpijak di bumi. "Kay, kamu kenapa diam saja? Lawan mereka! Bila perlu, jambak rambut dan siksa saja pelakor gatal kaya gitu!" bisik tetangga yang tiba-tiba hadir di belakangku. Aku pun tersenyum kecut meanggapinya. Merasa miris saja dengan nasibku sendiri. Bukan takut melakukan perlawanan, aku merasa percuma memperjuangkan lelaki yang sudah semakin banyak menyimpan rahasia dariku. "Biarkan saja, Teh. Mungkin Mas Azzam mau cari yang lebih dari aku." Berpura-pura tegar meski faktanya hati serasa hancur lebur. "Ya Allah, Kay. Kamu sabar banget jadi orang. Asal kamu tahu, sewaktu Azzam belum menikah dengan kamu, sudah banyak perempuan yang meminta pertanggung jawaban Azzam. Tapi, Azzam itu pandai bersilat lidah. Ia tak mengakui apa yang dia lakukan," tutur tetanggaku itu. "Apa Teteh juga tahu waktu kami baru menikah dan aku mengajak Mas Azzam ke kampungku. Lalu, Ayah Dody bilang ada tamu mencari Mas Azzam?" selidikku ingin tahu. "Ya, Kay. Teteh tahu itu. Ceweknya orang kampung sebelah. Sekarang udah lahiran dia. Anaknya cewek, udah besar. Beda berapa tahun lah sama Daffa," jawabnya lagi. Hatiku mencleos mendengar itu. Rupanya Mas Azzam mafia kelamin. Miris sekali dengan nasibku yang mendapatkan jodoh lelaki petualang seks. 'Astaghfirullah Al'adziim,' ucapku dalam hati. "Kay, Teteh pulang dulu ya. Kamu yang sabar. Ingat! Ada Daffa yang harus kamu pikirkan." Katanya lagi. Aku hanya mengangguk lemah. Kembali aku fokus dengan dua manusia durjana yang semakin gila menunjukan kemesraan di depan umum. Ayah yang sedang membetulkan sepeda anak ke tiganya seolah tak perduli melihat apa yang dilakukan anak pertamanya. "Kamu pulang dulu ya, Sayang! Maaf, Mas nggak bisa anterin. Mas ada janji sama teman Mas soal bisnis barunya Mas," kata Mas Azzam yang masih aku dengar. "Apa kamu akan menceraikan istri pertamamu itu, Mas? Aku nggak mau kalau terus-terusan jadi yang kedua. Aku pengen kamu sama aku selamannya," kata Tia. "Nanti Mas pikirkan lagi ya, Sayang. Sekarang kamu pulang dulu!" kata Mas Azzam lagi. Bibirku tersenyum kecut mendengar pertanyaan maduku dan juga jawaban Mas Azzam. Dia yang hadir dalam rumah tanggaku. Dia pula yang menginginkan di posisi pertama. Sungguh, aku mungkin wanita terbodoh. Tiga tahun menjalani rumah tangga dengan Mas Azzam. Bukan sebuah kebahagiaan yang aku dapatkan. Melainkan kepahitan yang tak berkesudahan. Mungkin, aku sendirilah yang harus menghentikan semua rasa sakit ini. "Jangan pernah berharap aku akan melepaskanmu, Kayla!" ucap Mas Azzam tiba-tiba mengejutkan aku yang sudah melangkah pelan masuk ke dalam rumah. Apa dia bilang?Aku memilih diam saja sembari terus melangkah menuju kamar. Mendengar ucapan Mas Azzam, aku sudah tak ingin perduli apapun kata dia. Yang katanya tak akan melepaskan aku. Mungkin dia belum puas sebelum melihat hidupku benar-benar hancur lebur. "Kay ... buatkan Mas kopi!" pinta dia dengan santainya. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Meskipun hati tak mau. Terpaksa aku melakukan tugas sebagai istri. Aku buatkan kopi pesanan mafia kelamin sebelum membuat hati semakin sakit dengan segala hinaan dan siksaannya. Setelah selesai membuat kopi. Aku lekas membawa ke kamar. Karena Mas Azzam masih di dalam menemani Daffa yang masih terlelap dalam tidur siang. Padahal hari sudah semakin sore. Aku lirik jam sudah menujuk di angka 15.15menit WIB. "Kay, Mau mandi? Mandi bareng Mas yuk!" ajak Mas Azzam ketika melihatku mengambil handuk dan membawa baju ganti. Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur tanpa mau menjawab pertanyaan Mas Azzam. Tetapi ..
"Keylaaa ... !!! Dari tadi brisik terus. Ada apa sih?" sentak Mama. Kepalanya menyembul dibalik pintu kamarku. Aku hanya melirik sinis pada Mama. Hatiku sudah benar-benar sakit sekali. Aku raih Daffa dan kugendong keluar kamar melewati Mama yang masih berdiri dekat kamarku dengan sorot mata kebenciannya. Sedangkan Mas Azzam entah sudah kabur kemana. "Cucu, Bun," pinta Daffa menunjuk kotak susu yang biasa aku taruh di atas meja kecil samping rak piring. Segera saja kubuatkan susu agar tangisnya mereda. Memar dikeningnya membiru. Aku lekas mengambil es batu yang kebetulan tak di gembok untuk meredakan nyerinya setelah selesai membuat susu. "Maafin Bunda ya Nak!" ucapku seraya menggosok-gosokkan es batu ke luka memarnya meskipun Daffa merintih kesakitan.Setelah tangis Daffa mereda. Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menidurkan Daffa yang tertidur lagi dalam dekapanku. Aku raih koper yang ada di atas almari. Kemudian, aku membereskan baju-baju milik aku dan Daffa lalu aku masukan k
Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik. "Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi."Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?" Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka."Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.Hatiku mencelos m
Sesuai petunjuk Nani yang lebih tahu alamat itu, Kayla menaiki mobil bus sampai ke terminal yang ada di kota tersebut. Nani yang lumayan baik itu hanya mengarahkan saja, jalan apa dan naik kendaraan apa lagi nantinya. Nani tidak bisa mengantar Kayla karena ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Ia juga ngeri jika bermasalah dengan keluarga Azzam. Tetapi bagi Kayla tak masalah. Yang paling penting dia sudah mengantongi alamat yang diberikan mertuanya. Tekad dia hanya ingin mengambil Daffa dari Azzam. Kayla tak rela jika anaknya dirawat madunya. Hampir 1 jam Kayla naik mobil bus dan akhirnya berhenti di terminal yang di maksud Nani. Kayla bergegas turun. Tetapi karena dia bingung selanjutnya naik apa lagi, Kayla pun bertanya kepada kondektur bus yang ia tumpangi tadi. "Kang, punten. Kalau ke alamat ini naik apa lagi dari sininya, ya?" Tanya Kayla sembari menunjukan kertas alamat yang dia ambil dari dalam saku sweater yang ia kenakan. "Oh ... ini naik
Berjalan di perbukitan yang terjal membuat Kayla merasa sedikit kesulitan. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti itu, tentu saja merasakan sebuah pengalaman yang cukup menantang. Ia berjalan di antara tebing-tebing curam yang cukup mengerikan. Terpeleset sedikit saja, bisa membuatnya terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam dan menelan tubuhnya yang mungil itu. Hamparan kebun teh yang terdapat di bawah perbukitan tampak begitu indah menghijau dengan bunga-bunganya yang mulai tumbuh. Kayla takjub dengan keindahan alamnya, tetapi tidak dengan salah satu penduduknya. Wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga dirinya bersama Azzam, tinggal di tempat yang begitu indah dengan udara yang sangat sejuk. "Neng, jalan-nya hati-hati licin. Semalam teh habis hujan." Pak RT mengingatkan kepada Kayla yang berjalan mengekor di belakangnya. Kayla hanya mengangguk saja menanggapi seraya tersenyum sopan. Ingatan wanita itu terus me
Ternyata Azzam dan Tia tidak membawa Daffa ke kampung halaman Tiara. 'Entah kemana perginya kedua manusia itu?' batin Kayla. Kayla berusaha menelan saliva yang terasa getir ketika Kepala Desa juga pak RT berkata. Lebih baik Neng pulang saja. Sungguh ... andaikan Kayla boleh meminta atau pun ia memiliki uang banyak, ingin rasanya ia menyewa rumah untuk beberapa hari saja di kampung tersebut. Kayla belum rela meninggalkan daerah itu sebelum menemukan Daffa, putranya. Tetapi ia tak kuasa untuk memberontak di kampung halaman orang. Meskipun kini warga kampung sudah tahu jika Kayla bukan pelakor. Semua yang mendukung Kayla hanya mampu berkata iba dan mencoba menguatkan Kayla dengan segala nasehat yang cukup menyejukkan hati meskipun hanya sesaat saja. Dengan bekal uang yang tersisa tak seberapa banyak. Kayla terpaksa harus pergi dari kampung halaman Tiara dengan tangan hampa. Tak seorang pun yang berbaik hati menawarkan untuk menginap di sana barang sema
Sebulan sudah berlalu. Azzam kembali ke rumah ibunya dengan membawa serta Daffa dan juga istri barunya. Entah bersembunyi di mana lelaki itu selama ini. Lelaki yang bekerja hanya sebagai security disalah satu pabrik tekstil di kota Bandung, tetapi tingkahnya mampu membuat Kayla mengelus dada. Baru sebulan Daffa bersama Azzam, Sang Ayah, tetapi badan bocah itu terlihat kurus kering. Bukan hanya itu saja, sekujur tubuhnya pun penuh luka lebam, serta ada benjolan di kepala. Yang paling mencolok adalah lebam di pelipis mata dan luka bekas cakaran kuku di bawah kelopak mata. Entah apa yang terjadi dengan Daffa. Andaikan saja Kayla melihat itu semua, sudah pasti perasaannya hancur lebur. Permata hati yang dia sayangi, kembali dalam keadaan tubuh penuh luka lebam serta kurus kering. "Allah Yaa Robb ... Daffa kamu kenapa, Sayang?" Tanya Nani ketika bocah itu diajak main oleh adik keduanya Azzam yang masih sekolah SMP. "Di ukul Ate Ia," jawab Daffa polos. N
Hari pun telah berganti petang. Sebelumnya Kayla sudah meminta izin kepada saudaranya yang bernama Yulia untuk pergi ke Bandung. Selama di Jakarta, Kayla memang tinggal di rumah sepupunya. Karena hanya itulah saudara Kayla yang lumayan dekat. Meskipun sikap Yulia agak ketus dengan Kayla, tetapi Kayla sabar saja menghadapinya. Suami Yulia sendiri cukup baik dengan Kayla. Dan hal itulah yang membuat Yulia tak suka Kayla menumpang di rumahnya. "Mbak Yuli, Mas Bayu, aku berangkat ke Bandung dulu, ya!" pamit Kayla yang sudah menenteng tas selempang. "Ada ongkos?" tanya Yulia dingin. Meskipun ia terkadang jutek, Tetapi wanita itu masih sedikit memberi perhatian terhadap adik sepupunya tersebut. Pikir Yulia, mau siapa lagi yang bisa menolong Kayla selain dirinya. "Masih ada, Mbak. Insya Allah masih cukup untuk bekal aku sama Daffa," jawab Kayla. "Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, cepat kabari ya!" timpal B