Aku memilih diam saja sembari terus melangkah menuju kamar. Mendengar ucapan Mas Azzam, aku sudah tak ingin perduli apapun kata dia. Yang katanya tak akan melepaskan aku. Mungkin dia belum puas sebelum melihat hidupku benar-benar hancur lebur.
"Kay ... buatkan Mas kopi!" pinta dia dengan santainya. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Meskipun hati tak mau. Terpaksa aku melakukan tugas sebagai istri. Aku buatkan kopi pesanan mafia kelamin sebelum membuat hati semakin sakit dengan segala hinaan dan siksaannya. Setelah selesai membuat kopi. Aku lekas membawa ke kamar. Karena Mas Azzam masih di dalam menemani Daffa yang masih terlelap dalam tidur siang. Padahal hari sudah semakin sore. Aku lirik jam sudah menujuk di angka 15.15menit WIB. "Kay, Mau mandi? Mandi bareng Mas yuk!" ajak Mas Azzam ketika melihatku mengambil handuk dan membawa baju ganti. Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur tanpa mau menjawab pertanyaan Mas Azzam. Tetapi ... ternyata ada Mama yang baru masuk ke kamar mandi. Karena kamar mandi cuma satu, terpaksa harus menunggu untuk bergantian. Setelah Mama keluar tanpa melirikku yang berdiri tak jauh dari pintu. Aku lekas berlari masuk kamar mandi. "Kayla! Mas ngomong sama kamu bukan sama patung kan? kamu sudah tuli?" sentak Mas Azzam sembari menggebrak pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat dan aku kunci. Sekitar 15 menit menyelesaikan ritual mandi. Aku segera ganti baju di dalam saja karena takut berpapasan dengan ayah mertua yang kerap menatapku dengan tatapan mesumnya. Karena pernah aku tak sengaja. Lepas mandi tidak membawa baju ganti ke kamar mandi dan hanya memakai handuk saja. Ayah memergoki dan menatapku tanpa berkedip. Saat itu aku lekas berlari masuk ke kamar dan mengunci diri. "Mandinya cepat amat, Sayang?" kata Mas Azzam mungkin coba merayu. Aku melihat Daffa sudah tak ada di kamar entah dibawa kemana anak itu. Aku masih tetap membisu. Rasanya sudah muak melihat wajah laki-laki yang ada di hadapanku. Apa lagi jika teringat beberapa jam yang lalu. Bagaimana pria bejad itu berciuman bersama madunya tanpa mengehiraukan perasaan aku yang hadir di sana. "Sayang! Kamu pakai sabun apa sih? baunya harum kaya gini," katanya lagi. Saat aku sedang menyisir rambut. Mas Azzam menciumi punggung serta merayap ke leherku. Aku berusaha menghindar. Tetapi, dengan cepat Mas Azzam menarik paksa lenganku hingga terjatuh tepat dipangkuannya. Lekas aku beranjak dari sana dan berusaha lari keluar. Tetapi, tangan kekar itu kembali menarik paksa tubuh mungilku. "Layani Mas, Sayang. Lihat kamu seger kaya gini bikin juniornya Mas langsung meronta pengen dimanjain, Yank." Kata Mas Azzam membuatku serasa ingin muntah. Membayangkan miliknya masuk ke beberapa lubang, sekarang mau masuk ke milikku. Oh no ... !!? "Aku lagi datang bulan, Mas." Kataku memberi alasan. Bodo amat mau dikatain durhaka juga. Aku masih bertahan karena memikirkan bagaimana caranya agar bisa lepas dari Mas Azzam juga Daffa bisa jatuh ke tanganku sepenuhnya. "Hhmm ... yakin?" "Kay, Maafin Mas ya. Mas menduakan kamu bukan berarti Mas sudah tidak cinta dan tidak sayang lagi sama kamu. Bukan kah dalam agama Islam di perbolehkan suami memiliki istri lebih dari satu?" Aku tak mau perduli apapun yang dia katakan tentang pernikahan dia yang entah ke berapa kali.Toh faktanya aku sudah terjebak dalam kepalsuan cintanya.Tetapi setelah makin ke sini, aku ingin terbebas dari lelaki mafia kelamin ini. "Meskipun dalam hati Mas sudah ada Tia. Tetapi kamu di hati Mas tetap yang terbaik, Sayang," rancaunya lagi. Sebelum menjawab, aku tatap wajah lelaki yang sudah membersamaiku selama 3 tahun itu. "Sepertinya pernikahan kita harus segera kita akhiri saja, Mas." Aku memotong ucapannya. "M-maksud kamu?" tanya Mas Azzam singkat. Wajahnya terlihat menggelap dengan sorot mata yang sudah tajam menatapku. "Maksud aku sudah jelas, Mas. Kita sudahi saja pernikahan kita ini. Kamu sudah banyak membohongiku. Harus sabar bagaimana lagi aku menghadapi kelakuan kamu, Mas?"Sengitku yang kali ini benar-benar ingin mengeluarkan segala uneg-uneg di hati. Mas Azzam berjalan mendekat. Tatapannya sangat tajam dan mengerikan. Lelaki itu mengepalkan tinjunya kuat-kuat dengan rahang yang sudah terlihat mengetat pula. "Jangan macam-macam kau Kayla. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Kau tau apa alasannya? kau punya hutang banyak sama aku, Kay. Kau lupa? pengobatan ayahmu menggunakan uangku sebesar hampir 20 juta. Jadi, anggap saja kamu itu pengganti uang yang ayah kau pakai meskipun dia pada akhirnya mati. Kau ibarat pel**ur pribadiku, Kayla," sarkas Mas Azzam. Mendengar itu, mulutku ternganga tak percaya. Jadi, selama ini aku di ibaratkan barang gadai ataukah semacam pel**ur untuk suamiku? "Hehehe ... kau memperhitungkan uang yang sudah kau berikan untuk pengobatan ayahku, Mas? Lalu, apa kabar uang tabunganku yang terpakai untuk biaya persalian Daffa benih kau, darah daging kau sendiri?" Aku terkekeh meski dalam dada menahan gemuruh yang serasa ingin meledak. "Kau tau berapa biaya persalinan Daffa? hampir 13juta, Mas. Dan ... uang tanah warisan almarhum ibu, kau jual dengan merayu kakak sepupu aku yang memegang sertifikatnya. Kemana uangnya?" imbuhku tak kalah sengit untuk mengungkit masa yang telah terlewati dan tak berati. Grek Aku terkejut saat tangan kekar itu mencekik leherku begitu kuat. Mataku melolot tak percaya melihat Mas Azzam berbuat kasar seperti ini. "L-lepas-in!" Sekuat mungkin tanganku menarik lengan kekar itu yang semakin kuat mencecik leher. "Bundaaa ... " Beruntung Daffa masuk dan memeluk sehingga Mas Azzam melepaskan cengkraman tangannya. Aku terengah-engah mengatur pernafasan yang nyaris kehabisan. Sakit sekali rasanya cengkraman itu. "Sekali lagi kau minta cerai, aku bu*uh kau!" sentak Mas Azzam mengancam sebelum ia berlalu keluar kamar. Dugh! Brakkk! Kembali aku tersentak mendapati Daffa ditendang Mas Azzam hingga kepalanya membentur sudut almari baju.Seketika Daffa menangis kecang. sedangkan Mas Azzam keluar dengan membanting pintu begitu kasar. Lekas aku meraih dan kugendong Daffa yang sedang menangis memegangi kepala yang ternyata benjol di keningnya. "Astaghfirullah.""Keylaaa ... !!! Dari tadi brisik terus. Ada apa sih?" sentak Mama. Kepalanya menyembul dibalik pintu kamarku. Aku hanya melirik sinis pada Mama. Hatiku sudah benar-benar sakit sekali. Aku raih Daffa dan kugendong keluar kamar melewati Mama yang masih berdiri dekat kamarku dengan sorot mata kebenciannya. Sedangkan Mas Azzam entah sudah kabur kemana. "Cucu, Bun," pinta Daffa menunjuk kotak susu yang biasa aku taruh di atas meja kecil samping rak piring. Segera saja kubuatkan susu agar tangisnya mereda. Memar dikeningnya membiru. Aku lekas mengambil es batu yang kebetulan tak di gembok untuk meredakan nyerinya setelah selesai membuat susu. "Maafin Bunda ya Nak!" ucapku seraya menggosok-gosokkan es batu ke luka memarnya meskipun Daffa merintih kesakitan.Setelah tangis Daffa mereda. Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menidurkan Daffa yang tertidur lagi dalam dekapanku. Aku raih koper yang ada di atas almari. Kemudian, aku membereskan baju-baju milik aku dan Daffa lalu aku masukan k
Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik. "Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi."Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?" Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka."Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.Hatiku mencelos m
Sesuai petunjuk Nani yang lebih tahu alamat itu, Kayla menaiki mobil bus sampai ke terminal yang ada di kota tersebut. Nani yang lumayan baik itu hanya mengarahkan saja, jalan apa dan naik kendaraan apa lagi nantinya. Nani tidak bisa mengantar Kayla karena ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Ia juga ngeri jika bermasalah dengan keluarga Azzam. Tetapi bagi Kayla tak masalah. Yang paling penting dia sudah mengantongi alamat yang diberikan mertuanya. Tekad dia hanya ingin mengambil Daffa dari Azzam. Kayla tak rela jika anaknya dirawat madunya. Hampir 1 jam Kayla naik mobil bus dan akhirnya berhenti di terminal yang di maksud Nani. Kayla bergegas turun. Tetapi karena dia bingung selanjutnya naik apa lagi, Kayla pun bertanya kepada kondektur bus yang ia tumpangi tadi. "Kang, punten. Kalau ke alamat ini naik apa lagi dari sininya, ya?" Tanya Kayla sembari menunjukan kertas alamat yang dia ambil dari dalam saku sweater yang ia kenakan. "Oh ... ini naik
Berjalan di perbukitan yang terjal membuat Kayla merasa sedikit kesulitan. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti itu, tentu saja merasakan sebuah pengalaman yang cukup menantang. Ia berjalan di antara tebing-tebing curam yang cukup mengerikan. Terpeleset sedikit saja, bisa membuatnya terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam dan menelan tubuhnya yang mungil itu. Hamparan kebun teh yang terdapat di bawah perbukitan tampak begitu indah menghijau dengan bunga-bunganya yang mulai tumbuh. Kayla takjub dengan keindahan alamnya, tetapi tidak dengan salah satu penduduknya. Wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga dirinya bersama Azzam, tinggal di tempat yang begitu indah dengan udara yang sangat sejuk. "Neng, jalan-nya hati-hati licin. Semalam teh habis hujan." Pak RT mengingatkan kepada Kayla yang berjalan mengekor di belakangnya. Kayla hanya mengangguk saja menanggapi seraya tersenyum sopan. Ingatan wanita itu terus me
Ternyata Azzam dan Tia tidak membawa Daffa ke kampung halaman Tiara. 'Entah kemana perginya kedua manusia itu?' batin Kayla. Kayla berusaha menelan saliva yang terasa getir ketika Kepala Desa juga pak RT berkata. Lebih baik Neng pulang saja. Sungguh ... andaikan Kayla boleh meminta atau pun ia memiliki uang banyak, ingin rasanya ia menyewa rumah untuk beberapa hari saja di kampung tersebut. Kayla belum rela meninggalkan daerah itu sebelum menemukan Daffa, putranya. Tetapi ia tak kuasa untuk memberontak di kampung halaman orang. Meskipun kini warga kampung sudah tahu jika Kayla bukan pelakor. Semua yang mendukung Kayla hanya mampu berkata iba dan mencoba menguatkan Kayla dengan segala nasehat yang cukup menyejukkan hati meskipun hanya sesaat saja. Dengan bekal uang yang tersisa tak seberapa banyak. Kayla terpaksa harus pergi dari kampung halaman Tiara dengan tangan hampa. Tak seorang pun yang berbaik hati menawarkan untuk menginap di sana barang sema
Sebulan sudah berlalu. Azzam kembali ke rumah ibunya dengan membawa serta Daffa dan juga istri barunya. Entah bersembunyi di mana lelaki itu selama ini. Lelaki yang bekerja hanya sebagai security disalah satu pabrik tekstil di kota Bandung, tetapi tingkahnya mampu membuat Kayla mengelus dada. Baru sebulan Daffa bersama Azzam, Sang Ayah, tetapi badan bocah itu terlihat kurus kering. Bukan hanya itu saja, sekujur tubuhnya pun penuh luka lebam, serta ada benjolan di kepala. Yang paling mencolok adalah lebam di pelipis mata dan luka bekas cakaran kuku di bawah kelopak mata. Entah apa yang terjadi dengan Daffa. Andaikan saja Kayla melihat itu semua, sudah pasti perasaannya hancur lebur. Permata hati yang dia sayangi, kembali dalam keadaan tubuh penuh luka lebam serta kurus kering. "Allah Yaa Robb ... Daffa kamu kenapa, Sayang?" Tanya Nani ketika bocah itu diajak main oleh adik keduanya Azzam yang masih sekolah SMP. "Di ukul Ate Ia," jawab Daffa polos. N
Hari pun telah berganti petang. Sebelumnya Kayla sudah meminta izin kepada saudaranya yang bernama Yulia untuk pergi ke Bandung. Selama di Jakarta, Kayla memang tinggal di rumah sepupunya. Karena hanya itulah saudara Kayla yang lumayan dekat. Meskipun sikap Yulia agak ketus dengan Kayla, tetapi Kayla sabar saja menghadapinya. Suami Yulia sendiri cukup baik dengan Kayla. Dan hal itulah yang membuat Yulia tak suka Kayla menumpang di rumahnya. "Mbak Yuli, Mas Bayu, aku berangkat ke Bandung dulu, ya!" pamit Kayla yang sudah menenteng tas selempang. "Ada ongkos?" tanya Yulia dingin. Meskipun ia terkadang jutek, Tetapi wanita itu masih sedikit memberi perhatian terhadap adik sepupunya tersebut. Pikir Yulia, mau siapa lagi yang bisa menolong Kayla selain dirinya. "Masih ada, Mbak. Insya Allah masih cukup untuk bekal aku sama Daffa," jawab Kayla. "Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, cepat kabari ya!" timpal B
"Gimana di busnya Kay, aman?" tanya Nani. Keduanya terlibat obrolan dan saling melepas rindu setelah sebulan tak bertemu. Dua sahabat yang terbiasa saling menguatkan satu sama lain, tetapi pada akhirnya harus terpisah karena Kayla tak mungkin lagi tinggal kota yang sama dengan Nani."Alhamdulillah aman, Teh. Tapi ada yang lucu," ucap Kayla dengan senyuman yang tersungging dari bibir ranum itu.Seketika Nani menatap wajah sahabatnya. Penasaran dengan apa yang membuat Kayla tersenyum."Apa tuh? Dapat kenalan, ya? Hehe ... " Nani terkekeh dan menebak apa yang sudah membuat Kayla nampak bahagia.Sebelum menjawab, Kayla celingukan mencari suami Nani yang ternyata sudah tak ada di ruang tamu."Nggak, Teh. Tadi di bus 'kan aku ketiduran. Pas bangun aku tuh baru inget belum bayar tiket bus. Aku kasihlah ongkos ke kondektur. Tapi ... kata kondektur, udah dibayar sama cowok yang duduk disebelahnya Mbak tadi. Katanya gitu, Teh." "Aku kaget dong. Kataku, ya Allah ... mana orangnya udah turun du