Share

Terpaksa Tidur Bersama

"Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" 

"Kamarnya di atas!" 

"Kamarnya di bawah!" 

Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. 

Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" 

"Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. 

"Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."

Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!

***

"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. 

"Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. 

"Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur di kamar yang sama dan hanya diberi sekat guling. 

Orang tua Mas Arfan sudah tidur di kamar yang lain. Setelah kami menikmati makan malam dan mengobrol, kami memutuskan tidur. 

Tapi aku tidak bisa tidur sama sekali. Pun dengan dia sepertinya sama. Jujur, aku takut. Hawatir dia macam-macam. 

"Ini kamarku. Kamu jangan protes." 

"Tapi, Mas, jangan seenaknya juga. Masa aku sempit?" 

"Kalau tidak mau, tidur di sofa sana." Mas Arfan berkata cuek dan memunggungiku. Ada sofa panjang di dekat jendela. Tapi, masa aku yang harus tidur di sana sedangkan dia enak di tempat tidur nyaman? Tega kamu, Mas. Dimana-mana, suami yang ngalah. 

Aku menghela napas menyingkirkan rasa tak tenang dan sama membelakanginya. Berharap hari segera pagi agar bisa keluar dari kamar ini.

Menit-menit berlalu tak jua bisa terlelap. Pun dengan lelaki itu. Kurasakan ranjang beberapa kali bergerak karna dia. Aku membiarkan dan terus mencoba tidur walau susah. 

Aku terkejut saat merasakan perut tiba-tiba dipeluk. Menoleh, mendapati Mas Arfan sudah menempel di belakangku. Hangat tubuhnya terasa di punggungku. Wajahnya dekat sekali dengan matanya yang terpejam. Apa dia tidak sadar? Dan ke mana guling yang jadi pembatas kami? Sendiri aku jadi panik.

Melepaskan tangan itu, aku menggeser tubuh ke sisi tempat tidur untuk menjaga jarak. "Diam, Nabila." Aku hampir berteriak dia meraih tubuhku lagi dipeluk seperti tadi. Ternyata lelaki ini dengan sadar melakukannya.  

"Jangan begini, Mas." 

"Kamu melarang suamimu sendiri menyentuhmu?" Dia mulai lagi. 

"Aku membutuhkanmu, Nabila," bisiknya lembut di telingaku. Seketika tubuhku meremang dibuatnya. Dan jantungku berdegup kencang. "Aku tidak bisa tidur, kamu harus melayaniku dulu." 

"Ti-tidak, Mas!" Sontak aku menjauh. Lelaki itu sama beranjak bangun. Kami duduk berhadapan. 

Mas Arfan memandang dengan sorot mata bergairah seperti yang sudah-sudah. Mendekat menyingkirkan rambutku dari kening. "Kamu cantik." Bukan senang yang mendominasi setelah dipujinya, melainkan takut dan cemas. Aku berpaling dan turun. Tapi dia menahan bahuku. "Jangan pergi." 

"Lepas, Mas. Biar aku tidur di sofa saja." 

"Terlambat. Kamu harus tetap di sini."

"Kumohon, Mas." 

"Tidak, Nabila." Mas Arfan merengkuh tubuhku. Menyentuh wajah dan menciumi pipi. Aku memejam dan menggeleng. "Jangan, Mas!" Aku mendoro-ngnya, tapi lelaki itu mendekat lagi. Tidak segan menyentuh tubuhku yang lain. Membuat aku menjerit seketika. "Hentikan, Mas!" Menyingkirkan tangan itu dari dadaku. Dan menyilangkan tanganku sendiri menutupi. Lelaki itu tersenyum menyeringai, membuatku semakin takut dan ngeri. 

"Saskia sudah tidak ada dan kamu senang atas kepergiannya, bukan? Kamu harus mau menggantikannya, menghangatkan tubuhku di ranjang ini." 

Aku terus menggeleng. "Layani aku sekarang juga." Tepat ketika Mas Arfan hendak memelukku kembali aku menggelosor cepat dari ranjang. Hingga lelaki itu hanya memeluk angin dan tubuhnya telungkup jatuh di kasur. "Nabila!" geramnya. Kemudian menyusulku turun. 

Aku harus bagaimana? Keluar? Tidak mungkin. Akhirnya masuk kamar mandi. Mengunci. Aku tersentak Mas Arfan menggedor-gedor pintu karna tidak bisa membukanya. 

"Nabila, buka!" Dia terus menggedor-gedor dan berusaha membuka. Aku diam meringkuk di sudut. "Jangan sembunyi. Keluar!" Telinga kututup dan menunduk. Maaf, Mas. Tubuhku ini tidak bisa kuberikan begitu saja apa lagi dengan niat yang salah. 

"Nabila, Buka! Si-al!" 

*** 

"Bagaimana tidur kalian, nyenyak? Kehadiran kami tidak mengganggu kan?" Mama berkata sambil menikmati sarapan yang telah kusediakan. 

"Oh, ya, nyenyak seperti biasanya," jawab Mas Arfan terpaksa dan berusaha menunjukkan wajah baik-baik saja. Padahal aku tahu dia sedang jengkel dan marah terhadapku. Setelah semalam tidak mendapatkan keinginannya. 

Aku hanya diam, kurang enak badan dan mata perih karna kurang tidur. Aku tidak berani keluar dari kamar mandi. Meringkuk menahan dingin sampai pagi. Takut dipaksa Mas Arfan. 

Saat lelaki itu masih tidur barulah aku keluar. Pergi ke kamar di lantai atas untuk mandi dan ganti baju. Kini setelahnya badanku kurasakan meriang. 

"Sekarang kamu bisa ke kantor kan? Bareng sama Papa." 

"Iya, Pa. Bisa." 

"Kamu harus lebih rajin dan cekatan, tapi jangan lupa jaga kesehatan. Bagaimana pun kamu adalah penerus Papa nanti di perusahaan."

"Iya, Pa." Mas Arfan menjawab sumringah. Tiba-tiba semangat Papa mengatakan itu. 

Artinya kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, Mas? Mengelola perusahaan orang tua dan saham berganti kepemilikkan atas namamu. Kamu akan dapat warisan itu, dan setelah itu kamu akan menyingkirkanku, Mas? Entah kenapa, memikirkannya membuatku sedih. Semakin tidak enak badan ini rasanya dan lemas. 

"Nanti, Papa akan adakan rapat. Kamu harus siap saat waktu itu tiba." 

"Arfan bersedia dan siap, Pa. Akan mengusahakan yang terbaik." 

"Bagus." Papa tersenyum puas melihat kesungguhan putra semata wayangnya. Lalu melahap sarapan kembali mengunyah sangat menikmati. Mas Arfan juga melakukan hal sama. Pun dengan mama. 

"Nabila, kamu kenapa?" Aku sedikit terperanjat dari diamku mama menanyakan itu. Beliau menatap heran, papa juga kini terarah padaku, hanya Mas Arfan yang tak acuh tetap fokus makan. 

"Nggak apa-apa kok, Ma. Silahkan, teruskan makannya. Bila mau ke belakang dulu." Ruangan itu kutinggalkan. Kebetulan makananku sudah habis karna hanya sedikit. 

Ke dapur mencuci barang kotor. Juga merendam baju dalam mesin cuci. Mama kemudian menghampiriku hendak pamit. "Mama pulang dulu, ya. Nanti gantian kamu menginap di rumah Mama sama Arfan." 

"Iya, Ma." Aku mengekorinya mengantar ke luar rumah. Mas Arfan sudah lebih dulu masuk mobilnya dan berlalu meninggalkan halaman. Sudah biasa pergi tanpa pamit. Papa masuk mobil dikuti mama. Aku melambaikan tangan saat keduanya menjauh.

***

"Assalamualaikum." Pintu di hadapan kuketuk kemudian merapatkan blazer panjang yang membungkus gamis di dalamnya. Semoga orang rumah belum tidur. Ingin segera masuk dan merebahkan tubuh yang menggigil ini. Dingin tapi juga panas, serta pegal. 

"Waalaikumsalam ... Nabila? Ya Allah, Ibu kira siapa malam-malam ke sini." 

"Ibu." Aku langsung memeluk Ibu tanpa peduli keheranannya. Satu tetes air mata lolos didera kerinduan dan oleh rasa sesak di hati.

Mas Arfan tidak pulang. Aku tidak mau sendirian di saat kondisi tubuh tidak baik seperti ini. Jam sepuluh malam nekat ke luar rumah menyambangi kediaman orang tua karna tidak bisa tidur. 

"Bila, badan kamu panas gini. Kamu sakit?" Ibu mengurai pelukan. Memindai wajahku, menyentuh pipi dan kening. Menatap hawatir. 

"Bila nggak apa-apa. Bila udah minum obat."

"Masya'allah, Nak ... Ayo, masuk." 

"Maaf, Bu, kalau kedatangan Bila mengganggu." 

"Tidak, Bila. Ibu memang belum tidur."

Ibu langsung membuatkan teh hangat juga membawakan sepiring kue setelah mengantarku ke kamar. "Tidak usah repot-repot, Bu."

"Biar badan kamu lebih enak dan ada tenaga. Besok kalau masih begini kita ke dokter." Aku mengangguk terharu atas segala perhatian ibu.  

"Bapakmu sudah tidur sejak satu jam lalu. Sekarang kamu istirahat. Ibu bantu kompres, ya." 

"Jangan, Bu." Aku menunda gelas teh di nakas yang baru kuminum. 

"Kalau begitu Ibu bantu pijitin. Demam biasanya suka pegal." 

"Bu." Bergetar bibirku rasa ingin menangis. Betapa ibu sangat menyayangiku selama ini. Aku menggeleng dengan mata mengembun. Tidak mau merepotkannya. Ke sini karna sangat rindu keluarga. Bukan minta dimanja.

"Ibu sudah biasa mengurusi kamu sejak kecil. Saat kamu tidak enak badan begini, tidak bisa Ibu biarkan. Kamu jangan sungkan dan jangan ngelarang-larang. Ini mau Ibu sendiri." 

Akhirnya kubiarkan ibu memijiti kaki dan tanganku. Kami mengobrol, melepas rindu lebih banyak, sampai tak terasa aku menguap karna mengantuk. Ibu lalu ke luar kamar setelah membantu menyelimuti. 

Saat aku hendak hanyut dalam mimpi, tiba-tiba dering ponsel nyaring terdengar. Aku meraihnya di sisiku. Menerima panggilan itu sambil memaksakan duduk bersandar. 

"Halo."

"Nabila, kamu pergi ke mana malam-malam begini?" Mas Arfan yang menelepon langsung mencecar dengan pertanyaan.

"Aku sudah mengirim pesan tapi kamu tidak membacanya, Mas?"

"Jadi, kamu benar pergi ke rumah orang tuamu?" 

"Menurutmu? Aku bukan pembohong sepertimu." 

"Nabila, kamu jangan bilang macam-macam sama orang tua kamu di sana." Dia berbicara menekan dan terdengar hawatir. 

Aku tersenyum miris pikirannya selalu buruk sangka. Betapa dia takut rahasianya aku bongkar. "Kamu tidak usah pikirkan aku. Urusi saja Saskiamu itu."

"Cukup. Aku akan segera menemuimu!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
penulis sampah menghasilkan tokoh sampah juga. g ounya akal sehat buat berpikir dan g punya harga diri. kayak binatang aja.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status