Prisha masih merasa setengah melayang di udara kosong, tatkala siuman dari pingsannya. Perasaannya terjebak di ruang hampa ketika menyadari pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Ini bukan mimpi. Aku benar-benar sudah menikah. Padahal, aku belum siap. Khitbah Dokter Salman pun belum kujawab. Trus, gimana kuliahku nanti?
“Prisha, kamu udah siuman?” Suara lembut neneknya terdengar.
Prisha menoleh. “Mami mana, Nek?”
“Mami di sini.” Nalini muncul, mengelus kepala putrinya yang masih tertutup kerudung.
Prisha mengangkat tangan, lalu menyusuti jejak air mata di pipi ibunya. “Mami, maafin Prisha. Harusnya Prisha bantu Mami mencari jalan keluarnya. Nggak mesti menggantikan Mami nikahin Om Gavin. Semua serba terburu-buru. Harusnya—“
“Prisha, sudahlah!” potong Nalini, seraya tersenyum getir.
Tiba-tiba seorang wanita masuk ke kamar. Pakaiannya mewah, terbuat dari bahan bermerk yang mahal. Saat berjalan, suara gemerincing dari gelang-gelang emas di tangan dan kakinya terdengar.
“Prisha, ayo keluar. Kamu ditunggu tanda-tangan buku nikah!” perintahnya, dengan dagu sedikit terangkat.
Prisha menggigit bibir, lalu membuang muka ke arah tembok di sisinya.
Wanita berpenampilan mahal itu melotot. Lalu, memberi isyarat pada Nalini agar membujuk putrinya.
“Prisha, ayo, Nak. Kasian Bu Karina sampai manggil ke sini.” Nalini menyentuh bahu Prisha.
“Nggak mau!”
“Baru setengah jam jadi istri udah berani membangkang!” desis Karina. “Dasar anak lont*!”
Ejekan kasar tersebut, memantik kemarahan Prisha. Ia bangkit duduk. “Siapa yang maksa—“
“Sst!” Nalini menekan tiga jarinya ke mulut Prisha untuk menahan laju kalimat gadis itu. “Jangan menyusahkan Mami,” tegurnya, halus.
Tatapan sedih ibunya, membuat Prisha terenyuh sekaligus gemas. Dengan gerakan setengah menghentak, ia turun dari ranjang.
“Saya bisa mengadukan Ibu ke polisi atas ancaman pemerasan!” serunya ke arah Karina.
Wajah Karina memerah dan menunjukkan ekspresi murka, tapi dalam hitungan tak sampai dua detik, berubah tenang dan lembut. Ia berdeham, lalu mendekat. “Anak baik,” panggilnya halus. “Kita sudah menjadi keluarga, mari bicara baik-baik. Tak ada ancaman pemerasan atau paksaan di sini.”
“Bu Karina mengancam dan memaksa ibu saya!” Intonasi suara Prisha masih tajam, merefleksikan kekecewaan dan penolakan.
“Benarkah?” Mata Karina melebar, menampakkan sorot tak percaya. “Aku malah tidak tahu. Apakah kamu terpaksa menjodohkan Prisha dengan Gavin, Nalini?” tanyanya, dengan nada sedikit meningkat, seolah-olah syok sekaligus prihatin. “Aku kira Prisha suka rela menikah dengan Gavin. Kalo tau begini, kita batalkan sejak awal.” Karina terduduk masygul.
Nalini mengerti kalau Karina sedang berakting playing victim. Akibatnya, kesalahan ditimpakan kepada dirinya. Ia jadi serba salah.
“Ibu jangan memanipulasi Mami saya! Soal utang Mami, saya berjanji akan bekerja keras melunasinya. Silakan sita rumah Mami. Tapi jangan mengancam Mami dengan kekerasan. Itu melanggar hukum! Saya tidak bodoh. Saya ngerti hukum.” Prisha melontarkan kalimat tegas dengan lancar.
“Utang?” Karina memandang, pura-pura keheranan, meski dalam hati mengerti kalau soal utang itu mungkin hanya taktik Nalini agar putrinya menurut. Padahal, alasan sesungguhnya bukanlah itu. Tapi, tentu saja ia tidak ingin terlihat sebagai orang jahatnya. “Itu tidak betul. Silakan saja gugat ke pengadilan kalo kamu mau buktikan. Supaya jelas buatmu, bahwa tidak ada tekanan atau paksaan dalam pernikahan ini. Ibumu suka rela menerima lamaran kami terhadapmu.” Wanita hipokrit itu melembutkan suaranya demi melunakkan hati gadis yang baru setengah jam lalu resmi menjadi menantunya.
Prisha makin gusar. “Ibu mau nuduh Mami bohong? Mami gak mungkin bohong! Iya, kan, Mami? Mami tak mungkin batal menikah dengan Om Gavin kalo tidak ada ancaman!”
Gadis cerdas. Puji Nalini setengah mengeluh dalam hati, antara bersyukur sekaligus bersedih.
Karina menyungkup muka dengan sepasang telapak tangan. Menunjukkan gimik orang terpukul batin. “Berarti Mama salah paham. Mama kira, kamulah yang disukai Gavin, jadi Mama meminang kamu. Mami kamu juga nggak nolak. Jadi Mama kira, kamu juga acc. Apa ini salah Mama?” Demi mempengaruhi emosi Prisha, Karina mengubah sebutan diri menjadi “mama”.
Prisha tiba-tiba pening. Merasa terjebak lingkaran dilematis tiada habisnya. Siapa yang harus ia percaya?
Seorang wanita setengah baya, datang tergopph-gopoh. Agaknya dia salah satu kerabat Nenek Sarah. Ia menjenguk dari balik tirai pengantin yang menutupi ambang pintu. “Prisha ditunggu pak penghulu untuk tandatangan buku nikah.”
Sang dara menggeleng kuat. “Saya minta fasakh! Pembatalan pernikahan! Pengantinnya bukan saya!”
Wanita yang datang memberi info itu terkejut, lalu buru-buru keluar sambil mengusap-usap dada.
Karina dan Nalini terperangah. Nyali Prisha betul-betul di luar dugaan. Karina gemas sekali. Tak terhitung gadis cantik, kaya dan populer, yang berebut menarik perhatian putranya. Prisha yang tak perlu bersusah payah, malah menolak!
Lebih parah lagi, Gavin jatuh cinta pada ibu Prisha yang mantan PSK. Sungguh tidak masuk akal. Karina nyaris kejang-kejang memikirkan itu. Andai tak ada sesuatu yang dikejar, sudah dari dulu ibu dan anak itu dihabisinya.
“Prisha, bukankah kita sudah sepakat?” Nalini gemetar saat mendapati sorot membunuh yang menguar dari mata Karina.
“Prisha berubah pikiran! Bukan hanya Mami yang bisa plinplan. Prisha juga!” tandas si gadis, gelap mata.
“Sha!” Nalini bangkit. Tangannya bergerak secepat kedipan mata.
Plakk!
Prisha terjajar mundur dua tiga langkah. Refleks dipeganginya pipi yang pedas bekas tamparan ibunya barusan. Gadis itu terbelalak. Syok. Perihnya tamparan, tembus sampai ke hatinya. Sakit.
Suasana sekejap hening. Beberapa detik kemudian, sesosok tubuh tinggi tegap menyibak tirai. Tatapan tiga pasang mata dari Karina, Nalini, dan Sarah beralih ke arah seorang pemuda tampan berjas hitam, yang tahu-tahu sudah masuk kamar pengantin.
Wajah elok berhidung bangir tampak muram. Sepasang mata abu-abunya memancarkan aura dingin yang bikin orang merinding hingga serasa suhu tubuh masing-masing turun beberapa derajat. Bibir kemerahan terkatup rapat. Rahangnya membesi, mencerminkan situasi hati yang buruk, yang justru mempertajam garis ketampanannya.
Nalini merasa seakan-akan jantungnya putus dan jatuh ke bawah tatkala sinar mata yang sangat tajam itu menyambar wajahnya. Ada riak protes, kekecewaan, frustrasi, luka, dan tuntutan penjelasan dalam sepasang telaga bening pemuda itu.
Gavin, maafkan aku. Rintih wanita cantik itu dalam hati. Paras sensualnya menyiratkan penderitaan.
“Minta batalkan, heh?” Suara rendah penuh daya magnetik, terkekeh sinis saat fokusnya berputar ke arah gadis muda yang masih belum pulih dari rasa terkejut habis ditampar.
Tiba-tiba, pemuda itu mengayun langkah lebar, setengah melompat maju menuju Prisha. Satu kerling tajam, ia lemparkan ke arah Nalini sebelum menyeringai, lalu meraih pinggang Prisha.
Bagai terbalik dunia Prisha tatkala bibirnya tersengat sentuhan secepat kedipan mata. Menghasilkan efek serupa setruman listrik jutaan kwh. Tiga detik yang sangat gila berlalu. Prisha nyaris lumpuh saat Gavin melepaskannya dengan kasar.
Sementara tiga wanita di ruangan itu, menyaksikan perbuatan tersebut dengan perasaan campur aduk.
Nalini ternganga dan merasa penglihatannya berkunang-kunang. Selama satu tahun menjalin hubungan rahasia dengan Gavin, tak satu sentuhan pun ia terima. Pemuda itu terlalu alim untuk ukuran anak muda milenial. Gavin mengaku, sangat menghargai wanita dan tak berani menyentuh jika belum halal, karena ingat kalau ibunya juga wanita. Itulah yang membuat Nalini merasa tersanjung, karena dicintai bukan semata karena kecantikan fisik. Namun, hari ini, detik ini, tepat di depan mata kepalanya, Gavin melayangkan sentuhan tak terduga terhadap putri Nalini sendiri! Wanita mana yang tak terbakar hatinya? Nalini merasa seluruh darahnya mendidih, sampai ke urat paling kecil. Ia jadi merasa ingin amblas ke dasar bumi atau menjedotkan kepala ke tembok dengan sekuat tenaga. Setengah mati wanita itu mengendalikan diri. Sepasang tangannya dikepal ketat sampai kuku-kukunya melukai telapak tangan. Tapi ia mengerti, tak boleh memperturutkan emosi. Adalah keputusannya, yang membiarkan semua kesalahan itu
Prisha ingin ke depan, mencari neneknya. Otomatis, ia melewati kamar ibunya yang terbuka, hanya dihalangi dua gorden. Dari sela gorden, ia melihat bayangan sepasang manusia berhadapan, berdebat dengan suara rendah.Untuk alasan yang sukar dimengerti, ia merasa tak nyaman melihat ibunya dan Gavin hanya berdua di satu ruangan. Betapa tidak pantas setelah apa yang dilakukan ibu terhadap dirinya. Prisha tak sanggup menoleransinya. Jiwa pemberontaknya meronta-ronta. Gadis itu langsung menerobos masuk."Mami, tahu dirilah!" desisnya, tajam. Nalini terbelalak. Sementara Gavin mengernyit."Kalian sudah terhalang bersama! Dan itu adalah keputusan kalian sendiri! Jadi, berkomitmenlah terhadap keputusan tersebut!"Nalini terkejut dan marah. "Sha, kasar betul mulutmu!""Kasar?" Prisha menatap sinis. "Setelah apa yang Mami lakukan padaku, Mami mau nambah dosa baru?""Sha, Mami dan Om Gavin hanya ingin menyelesaikan masalah di antara kami!""Silakan! Tapi tolong, jangan berdua-duaan begini! Dulu
Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan. Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter. Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda. Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang. Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan m
Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban."Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terlu
Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti
Untuk pertama kali dalam hidup, wanita yang sangat berpengalaman menghadapi pria itu, terkesan menyaksikan sikap santun yang langka. Wajah tampan dan mata abu-abu Gavin yang eksotis, membuat Nalini tertantang menaklukkannya.Mudah ditebak, Nalini yang terampil berkomunikasi dan memiliki wawasan cukup luas, berhasil menarik perhatian Dokter Gavin. Pelan-pelan, ekspresi jijik yang sempat singgah di paras sang dokter menghilang. Tergantikan rasa terima kasih sekaligus kagum, iba, dan respek ketika Nalini menceritakan kisah hidupnya yang dramatis. "Saya berutang budi pada Anda. Izinkan saya membalasnya." Gavin meletakkan parcel di meja. "Katakan apa yang Anda inginkan. Saya akan berusaha memenuhinya."Nada suara Gavin terdengar mantap dan menjanjikan. Hati Nalini bergetar. Takjub dan serasa berada dalam mimpi. Baru kali ini ia menemukan pria yang bersedia memberi tanpa pamrih.Sementara Prisha hanya bungkam seribu bahasa. Ada tiga poin yang meresahkan jiwanya. Pertama, kebohongan yang
Dua pasang mata indah milik Hana dan Keyko bergulir ke kiri ke kanan mengikuti langkah Prisha yang mondar-mandir gelisah dari pintu depan kamar kos ke ranjang tempat mereka duduk.Hana Laili Najwa, yang berparas secantik boneka India, sampai menguap dua kali saking bosannya menanti Prisha bercerita. Sementara Keyko Syifa Nahdhia, si gadis blasteran melayu-Jepang, berkali-kali melirik jam dinding, untuk memastikan ia tak akan terlambat hadir ujian presentasi kasus pukul 10.00 WIB nanti.Prisha memang sengaja mengumpulkan dua sahabat karibnya itu di kamar, untuk dimintai pendapat. Namun, ia tak tahu harus mulai bercerita dari mana. Kejadian kemarin, berpindah naik turun sangat drastis, bagai roller coaster. Prisha sampai-sampai mengira, ia berada di alam mimpi atau delusi, saking depresinya.Tiba-tiba gadis itu berhenti. Hana dan Keyko menegakkan kepala dan punggung, siap menyimak. Akan tetapi, apa yang terjadi? Prisha malah mencubit-cubit lengannya sendiri berkali-kali. Hana dan Key
Prisha mengecek ulang bukti transfer di aplikasi. Tampak jelas nama Gavin Devandra tercantum sebagai pengirim.Bara emosi seketika memanaskan dada sang dara. Nomor asing tersebut lekas diteleponnya. Berkali-kali nada panggil, telepon tak kunjung terjawab. Prisha serasa ingin membanting ponsel saking merasa terhina. Ia menekan dada, lalu menggerung pelan, bagai singa betina terluka.Ternyata seperti ini rasanya ketika berada di puncak ketidak berdayaan. Ingin melawan dan menolak, tapi tidak mampu. Gadis itu tergesa-gesa menelepon ibunya."Mami beneran udah berhenti kerja?""Iya, Sayang. Berkat kamu. Gavin memang marah ke Mami, tapi hanya sebentar. Dia lelaki yang sangat baik.""Mami tau Om Gavin ngirimin Sha uang kuliah dan biaya hidup?""Tau. Gavin bilang ke Mami, kok. Mami juga bakal dikirimin saban bulan. Dia memenuhi janji, nggak akan menelantarkan Mami, apa pun yang terjadi.""Kenapa, Mi? Kenapa kalian nggak memperjuangkan saja hubungan kalian? Kalo tujuan Mami adalah uang, Mami