Share

Bab 7. Suami dingin dan Aneh

Panggilan tidak terjawab. Sesaat setelah melihat nama pemanggil, Ravin termangu dengan benak yang berputar. Menebak-nebak asal siapa pria bernama Tigor itu. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya Belva masih membutuhkan waktu untuk berganti pakaian.

Namun, saat akan beranjak, ponsel sang istri kembali menyala. Kali ini sebuah pesan masuk dari nama yang sama. Ravin melirik singkat dan sempat membaca sebagian pesan itu.

Tigor : Dua jam lagi aku tiba di Bali. Aku akan langsung menuju lokasi.

Ravin mengeryit. Sepertinya pria itu telah melakukan janji temu dengan istrinya. Tak lama kemudian, Belva yang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dan kembali terkejut saat melihat Ravin masih berada di dalam kamarnya.

“Loh, kamu masih di sini?” tanya Belva seraya mengeringkan rambutnya.

Ravin tak langsung menjawab. Sejenak ia memperhatikan istrinya yang pagi ini terlihat lebih segar dan cantik. Mengenakan blouse hitam dan celana jeans dengan rambut coklatnya yang masih basah. Ia tertegun.

“Aku sedang melihat-lihat saja kamar ini. Semenjak pindah, aku paling jarang mengunjungi tempat ini. Memastikan saja kalau semuanya masih tampak baik.” Ravin mencari-cari alasan. Ia tidak terus terang bahwa alasan yang membuatnya masih terpaku adalah saat ponsel istrinya bergetar karena panggilan dari seorang pria.

Belva mengerucutkan bibir. Kemudian pandangannya seolah menyelidik pada sang suami.

“Kamar kamu masih baik-baik aja, kok. Emangnya bakal aku rusak-rusakin gitu seluruh properti di tempat ini, pake di pantau segala!” ketus Belva. Saat melihat istrinya seperti itu, justru membuat Ravin tiba-tiba sangat bergairah.

“Bukan gitu. Hm ... by the way, kok kamu keramas? memangnya habis ngapain?” Spontan Ravin bertanya seperti itu. Mengalihkan pembicaraan.

Belva menghentikan aktivitas mengeringkan rambutnya. Kemudian menoleh penuh tanya pada Ravin yang tiba-tiba bersikap sangat aneh.

“Pertanyaan macam apa itu? emangnya ada yang salah kalau aku keramas pagi-pagi?” Belva bertanya balik.

Ravin tertawa kecil kemudian melangkah ke arah Belva. Senyuman manis terukir di wajah rupawan itu.

“Sejak dulu kamu sangat menggemaskan kalau sedang marah, Belva. Tiba-tiba aku merindukan masa-masa itu!” ujarnya dengan lembut.

Belva semakin terheran. Kesambet setan apa Ravin tiba-tiba menjadi begitu hangat dan sok romantis? lebih tepatnya terkesan gombal.

“Kamu kenapa, Rav? kamu ... baik-baik aja, kan?” Belva menaruh punggung tangan di dahi Ravin. Mengecek barangkali saja suaminya itu sedang sakit.

Namun, dengan cepat Ravin meraih tangan Belva. Sentuhan yang lembut dan hangat itu menciptakan desiran aneh dalam diri Belva. Ia susah payah menelan ludah saat Ravin begitu erat menggenggam jemarinya. Semenjak mereka menikah, terhitung hanya satu kali tangannya disentuh oleh Ravin. Itu pun saat penyematan cincin. Setelahnya semua tampak biasa saja. Ravin cenderung cuek dan dingin.

“Kamu cantik, Belva.” Ravin mengecup telapak tangan istri mudanya. Sementara Belva semakin terheran. Dan, sontak menarik tangannya.

“Bukankah katanya tadi ada yang ingin kamu sampaikan sama aku?” Belva berdeham kecil kemudian tak ingin berbasa-basi. “Ayo, katakan! karena aku juga tidak punya waktu banyak.”

Seketika, Ravin kembali tersadar. Sesaat ia memang terpukau dengan pesona istri mudanya itu. Namun, ia teringat akan janjinya pada Alana. Yaitu untuk tidak memberikan kesempatan untuk Belva mengisi hatinya.

“Hm, iya. Sebenarnya hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Ravin mengusap hidung. Menghilangkan kecanggungan.

“Suatu tempat? ke mana?” tanya Belva.

“Rumah barumu. Aku sudah menyiapkannya. Tapi sekarang masih tahap pembangunan. Mungkin sekitar dua bulan lagi akan rampung. Paling tidak, kamu harus melihat dulu. Barangkali ada request darimu,” ujar Ravin.

Belva terdiam beberapa detik. Hari ini rencananya ia akan bertemu dengan seseorang.

“Kenapa gak bilang dari kemarin?”

Ravin menatap serius. “Kenapa? hari ini kamu gak bisa dan mau bertemu orang lain?”

Tepat sasaran. Ravin berhasil membuat Belva lagi-lagi termangu dan bertanya-tanya. Darimana dia tahu?

“Iya. Aku ada janji sama seseorang!” jawab Belva lugas. Ekspresinya pun begitu serius namun santai.

“Dengan Tigor?” Ravin bertanya spontan. Membuat Belva melebarkan mata.

Belva langsung menoleh pada ponselnya yang masih tergeletak di atas nakas. Sudah bisa menebak, pasti Ravin sempat melihat ponselnya.

“Iya.” Belva berkata jujur.

“Siapa dia?” tanya Ravin serius.

“Managerku!” kata Belva. Ravin menaikkan alis seolah merespon kata “Oh”.

Kemudian Belva kembali bertanya, “Ada apa?”

Ravin bergeming. Sebenarnya tidak masalah kalau saja pria itu hanya rekan kerjanya. Toh, selama ini Ravin memang tidak banyak tahu tentang latar belakang karir Belva.

“Kamu ada projek di tempat ini atau gimana?” tanya Ravin lagi.

“Iya.” Belva mengangguk. Dari tadi ia hanya menjawab singkat.

“Ya sudah. Kalau kamu sibuk, kita bisa pergi lain kali saja!” ujar Ravin. Ia tersenyum kemudian beranjak keluar. Tak lama, ia kembali berbalik badan.

“Oh ya, pulangnya jangan kemalaman. Kalau bisa maksimal jam 4 sore kamu sudah kembali ke rumah. Aku gak suka wanita yang keluyuran malam-malam!” seru Ravin serius.

Setelah sang suami pergi dan menghilang dari pandangan, Belva hanya menggeleng pelan. Siap Ravin memang sangat aneh.

“Tadi dia dingin, tiba-tiba jadi hangat, sampe cium-cium segala. Terus jadi dingin lagi. Ihh...” Belva bergidik geli membayangkan tingkah Ravin barusan. Apalagi ia kembali teringat kejadian tadi malam saat mendengar aktivitas suami istri di kamar utama itu.

“Tidak sudi aku berbagi badan! itu sangat menjijikan.” Belva mengesah lelah. Berhubungan intim dengan Ravin seperti hal yang menggelikan saat ini. Rasanya ia sudah tidak peduli dengan ikatan pernikahan itu.

Dua jam kemudian. Belva sudah menunggu kedatangan Tigor di sebuah kafe besar di dekat pantai. Sembari menunggu, Belva mendapatkan sebuah telepon. Cepat-cepat ia melihat layar ponsel dan seketika matanya melebar saat Oma Tarra tengah membuat panggilan video dengannya.

“Astaga. Oma! duh, pasti dia mau cerewetin aku!” gumam Belva. Ia tiba-tiba menjadi sangat gelisah. Menimbang-nimbang akan menjawab atau tidak. Terlebih pasti neneknya itu akan menanyakan keberadaan Ravin.

Dengan ragu, Belva akhirnya menjawab panggilan. Ia menarik napas dalam dan memasang senyuman yang merekah.

“Hai, Oma.” Layar menampilkan seorang wanita tua yang tersenyum lebar.

“Hallo, sayang. Gimana bulan madunya? seru, kan? Oh iya, Ravin mana? kok gak ada?”

Benar saja. Itu yang paling pertama ditanya oleh neneknya. Duh, Belva bingung mau menjawab apa.

Ia hanya tersenyum dan tertawa. “Seru banget kok, Oma. Ravin lagi ke toilet. Oma lagi ngapain?”

“Oma lagi di perkebunan. Biasalah, sedang mengurus surat-surat untuk pergantian nama ahli waris.” Oma Tarra menyipitkan mata, saat melihat seseorang di belakang Belva. Kemudian wanita tua itu tersenyum semringah.

“Hai, Ravin...”

Sontak, Belva melebarkan mata dan melihat dari layar ponsel dibelakangnya sudah ada Ravin tengah berdiri dan melambai ke arah Oma.

Belva terkejut dan spontan menutup layar ponsel tetapi panggilan video tetap berlangsung. Ia memelotot ke arah Ravin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.

“Kok kamu di sini?” bisiknya.

Respon Ravin hanya tersenyum. Membuat Belva semakin terheran dengan sikap pria aneh dan dingin itu.

“Belva ....” Oma Tarra memanggil lagi. Belva langsung kembali mengarahkan ponsel untuk melakukan panggilan video.

“Oma ganggu kalian ya?” kata wanita tua itu.

“Oh, nggak ....”

“Mohon maaf, Oma. Sebenarnya sih benar mengganggu, hehe!” Ravin langsung menyambar. Senyuman jenaka pun terpancar diwajahnya. Membuat Oma Tarra terkekeh di seberang panggilan.

“Oke, oke, Oma mengerti. Baiklah, lanjutkan saja bulan madunya ya. Oma hanya ingin memastikan  keadaan kalian saja, kok.”

Belva hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah berbasa-basi, panggilan telepon pun berakhir.

“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Belva menoleh dengan tatapan kesal pada suaminya. “Apa kamu membuntuti aku?”

Ravin menyeringai kecil. Kemudian dengan santai berujar, “Aku hanya sudah menduga hal ini akan terjadi. Oma pasti akan menanyakan aku! kamu beruntung, karena kebetulan aku benar-benar ada di sini!”

Belva mendengus kesal. Tidak terlalu peduli alasan Ravin benar atau tidak. Tetapi menurut instingnya, pria itu pasti sengaja mengikutinya ke tempat ini.

“Memangnya kamu gak kerja?” tanya Belva.

“Aku big bos! aku bisa bekerja di mana saja,” jawab Ravin.

Dari arah lain, Tigor rupanya sudah datang sejak Belva menerima panggilan video dari neneknya. Tak lama kemudian, Ravin langsung menghampiri Belva dan dari pandangan jarak jauh terlihat mereka itu sangat serasi dan bahagia.

Tigor memilih duduk di tempat lain. Menunggu sampai Ravin beranjak. Atau mungkin Belva sebenarnya memang mengajak suaminya?

Tigor tidak mau menerka-nerka. Ia langsung mengirimkan sebuah pesan singkat pada Belva.

Kamu bawa suamimu, kah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status